Rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pemerintah dan DPR RI dalam waktu dekat ini menuai pro dan kontra.
KPK menilai apabila RUU yang saat ini masih dalam pembahasan, disahkan, maka terindikasi akan memangkas berbagai kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya menghapus korupsi di Indonesia.
Untuk itu, Ketua KPK Abraham Samad, mengusulkan 4 rekomendasi agar keluar dari polemik tersebut. Pertama, menunda pembahasan kedua RUU tersebut.
"Kedua, agar delik korupsi dan delik luar biasa lainnya tetap diatur dengan UU tersendiri agar lex specialis-nya kelihatan," ujarnya di kantornya, Jalan HR. Rausan Said, Jakarta Selatan, Rabu (19/2/2014).
Ketiga, RUU KUHAP sebagai hukum pidana formil, menurut Abraham, sebaiknya dibahas setelah dilakukan pembahsan setelah dibahas RUU KUHP sebagai hukum materil.
"Keempat, pemberlakukan 2 RUU tersebut menurut KPK sebaiknya diberikan masa transisi 3 tahun sebagai masa transisi RUU Tindak Pidana Korupsi dan UU lainnya yang terkait," tandas Abraham. (Tya/Riz)
KPK menilai apabila RUU yang saat ini masih dalam pembahasan, disahkan, maka terindikasi akan memangkas berbagai kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya menghapus korupsi di Indonesia.
Untuk itu, Ketua KPK Abraham Samad, mengusulkan 4 rekomendasi agar keluar dari polemik tersebut. Pertama, menunda pembahasan kedua RUU tersebut.
"Kedua, agar delik korupsi dan delik luar biasa lainnya tetap diatur dengan UU tersendiri agar lex specialis-nya kelihatan," ujarnya di kantornya, Jalan HR. Rausan Said, Jakarta Selatan, Rabu (19/2/2014).
Ketiga, RUU KUHAP sebagai hukum pidana formil, menurut Abraham, sebaiknya dibahas setelah dilakukan pembahsan setelah dibahas RUU KUHP sebagai hukum materil.
"Keempat, pemberlakukan 2 RUU tersebut menurut KPK sebaiknya diberikan masa transisi 3 tahun sebagai masa transisi RUU Tindak Pidana Korupsi dan UU lainnya yang terkait," tandas Abraham. (Tya/Riz)