Sukses

Migrant Care: MoU Indonesia-Arab Langkah Tidak Strategis

Migrant Care berpendapat TKI akan sulit mendapat haknya pasca-penandatanganan perjanjian itu.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah bersama anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka menemui Wakil Ketua DPR Pramono Anung terkait ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) dengan Arab Saudi mengenai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ditandatangani Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar pada Rabu 19 Februari.

Anis mengatakan, kendati langkah tersebut suatu kemajuan setelah 31 tahun belum ada kesepakatan di antara dua negara ini, namun ada hal yang dikhawatirkan Migrant Care. Sebab, kedua negara belum melindungi buruh migran.

"Bagaimana bisa memastikan bahwa kalau di dalam MoU ada hari libur, ada gaji yang dia harus bayar tiap bulan, ada akses berkomunikasi bagi keluarga, paspor dipegang oleh yang bersangkutan," kata Anis di ruang kerja Wakil Ketua DPR Pramono Anung di Senayan, Jakarta, Kamis (20/2/2014).

Tetapi, menurut Anis di Arab Saudi masih berlaku yang namanya kafalah system, bahwa dokumen TKI masih dipegang majikan dan kalau mau pergi atau pindah majikan, harus atas izin majikan. "Tanpa itu, Imigrasi tidak bisa berbuat apa-apa," sambungnya.

Sementara di Indonesia, sambung Anis, sistem penempatan TKI orientasinya masih bisnis. Jadi, dalam dua kutub negara pengirim dan negara penerima tidak melindungi. Maka itu, dia tak sepakat, bila penandatanganan moratorium dikatakan sebagai jalan terbaik untuk perlindungan buruh migran.

"Saya kira, (penandatanganan MoU) ini langkah tidak strategis, karena dengan hadirnya MoU, mestinya diberikan masa transisi sejauh mana ini akan diimplementasikan, mengingat Arab Saudi sendiri kultur kebijakannya masih sangat patriarkis terhadap perempuan mereka sendiri. Apalagi, terhadap perempuan asing sebagai pekerja rumah tangga (PRT)," paparnya. 

Anis pun berkeyakinan, TKI di Arab Saudi akan sulit mendapat haknya pasca-penandatanganan perjanjian itu, seperti hari libur. Akibatnya, dengan pencabutan moratorium bersamaan pengesahan MoU akan menempatkan buruh migran di posisi rentan.

"Sehingga pada posisi itu, Migrant Care tegas memang menolak moratorium sampai ada kondisi di mana kedua negara punya platform yang serius melindungi buruh migran," tegasnya.

"Apalagi, dulu moratorium diberlakukan mulai 1 Agustus 2011, ketika Ruyati dieksekusi mati dan ribuan TKI juga menghadapi eksploitasi dan saat ini moratorium dicabut saat Satinah tanggal 3 April nanti akan dieksekusi mati. Kalau pemerintah tidak mampu bayar diyat (uang ganti rugi) Rp 31 miliar yang katanya, saat ini baru punya uang Rp 12 miliar dan kita bisa membayangkan, bapak yang di depan kita yang sedang menanti jenazah keluarganya pulang dan ratusan yang lain," pungkas Anis. (Han/Sss)

Baca Juga:

MoU Indonesia-Arab Saudi, Rieke PDIP: Utamakan TKI, Bukan Riyal
Kirim TKI ke Arab Saudi, Rieke PDIP: SBY Langgar Undang-undang
Pesan TKI Satinah yang Divonis Mati kepada Anaknya
Kisah TKI Ati Dituduh Sihir dan Diancam Mati di Arab Saudi