Liputan6.com, Jakarta: Ada sepasang remaja berpacaran dua tahun lamanya. Sang cewek, Desi (diperankan Masayu Anastasya), gusar. Dia begitu menginginkan ciuman Ardi, pacarnya yang diperankan Hengki Kurniawan, sebagai pengalaman berciuman pertama. Obsesi Desi tercapai. Mereka berciuman. Adegan film Buruan Cium Gue! (BCG) itu menjadi klimaks.
Dalam kehidupan nyata, sejumlah warga keberatan. Dai kondang Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym juga gusar. BCG dinilai melecehkan pihak-pihak yang berpegang pada budaya agama dan mengumbar pornoaksi. Karena itu diminta ditarik. Kimaksnya, Raam Punjabi, Bos PT Multivision Plus selaku produser, pun menarik BCG, Jumat (21/8) [baca: Buruan Cium Gue! Ditarik dari Peredaran].
Sejumlah artis bersama AA Gym juga sempat mendatangi Kantor Lembaga Sensor Film (LSF) di Jalan M.T. Haryono, Jakarta. Inneke Koesherawati yang turut serta mengaku diajak Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin. Karena merasa tidak sreg dengan adegan dalam BCG, meski baru menonton cuplikannya, Inneke mendukung tuntutan agar BCG ditarik dari peredaran.
Dalam dialog bersama reporter SCTV Sella Wangkar, pagi ini, Inneke mengatakan, seharusnya LSF bekerja dengan baik sehingga kasus seperti film BCG bisa dicegah. "Kalau bekerja dengan baik, nggak akan ada kayak gini," kata Inneke. Dalam dialog ini, hadir juga Veven Sp. Wardhana yang pengamat budaya massa.
Inneke juga menekankan bahwa dirinya tak menginginkan generasi muda melakukan hal yang disebutnya sebagai "kebodohan". Pada masa jayanya sebagai bintang layar lebar, Inneke memang pernah dicap sebagai bom seks. Hampir seluruh film yang dibintanginya menampilkan adegan seronok. "Saat itu, pikiran saya nggak merasa dieksploitasi. Saya pikir ini tuntutan skenario. Saya cuma kepingin jadi artis yang profesional," kata Inneke.
Bagi sebagian remaja Indonesia saat ini, berciuman dianggap biasa. Ini diakui Inneke. Namun, menurut dia, dalih itu tidak bisa dijadikan pembenaran. Dia mencontohkan tentang remaja yang belum pernah berciuman, setelah menonton film beradegan ciuman jadi kepingin mencoba. Inneke berharap media lebih selektif lagi menayangkan produknya.
Ketua LSF Titie Said, saat didatangi Aa Gym, mengaku sudah memotong sejumlah adegan. LSF meluluskan BCG dengan beberapa pertimbangan, di antaranya menyensor sejumlah adegan. Cuma, sensor film yang diputar di bioskop cukup longgar ketimbang film yang diputar di televisi. Sebab, penonton bioskop adalah orang-orang tertentu. Tempat dan jadwal pemutarannya juga tertentu. Penonton pun membayar dengan harga tertentu.
Dalam dialog, Veven mengatakan, masyarakat Indonesia terbiasa mengomentari sesuatu tanpa terlebih dahulu mengetahui masalah. Dalam kasus ini, masyarakat belum menonton, tapi sudah memprotes. "Kebiasaan kita kan gitu. Nggak nonton terus komentar karena mengomentari komentar sebelumnya," kata Veven.
Veven mengaku belum menonton cuplikan ataupun film BCG secara utuh. Namun, dia mengaku liberal. Menurut Veven, berciuman adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Tentang BCG, sebelum ditarik dari peredaran, sebaiknya diadakan riset terlebih dahulu. Tanyakan kepada responden, apakah mereka tergerak melakukan seperti yang ada di film? "Beberapa riset menyebutkan, tidak semua produk budaya massa berpengaruh langsung. Kalau ada yang terpengaruh, itu pasti ada latar belakang dari yang terpengaruh," kata Veven.
Dia juga mengatakan sensitivitas masyarakat tentang sensualitas naik turun. Terkadang, ada tayangan yang sebenarnya sensualitasnya sangat menonjol malah dibiarkan. Malah, ada tayangan bertema lain yang justru lebih berbahaya, seperti mistik, aman-aman saja.
Kasus BCG sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Sejak 1960-an seks sudah mewarnai perfilman Indonesia. Sebut saja Antara Bumi dan Langit yang diprotes Pelajar Islam Indonesia Cabang Medan, Sumatra Utara. Ada juga Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989) yang diprotes MUI hingga Badan Sensor Film dan Departemen Penerangan menghentikan tayangannya. Seks memang selalu menarik perhatian. Banyak yang bahagia, tak sedikit pula yang cemas dibuatnya.(SID/Tim Liputan 6 SCTV)
Dalam kehidupan nyata, sejumlah warga keberatan. Dai kondang Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym juga gusar. BCG dinilai melecehkan pihak-pihak yang berpegang pada budaya agama dan mengumbar pornoaksi. Karena itu diminta ditarik. Kimaksnya, Raam Punjabi, Bos PT Multivision Plus selaku produser, pun menarik BCG, Jumat (21/8) [baca: Buruan Cium Gue! Ditarik dari Peredaran].
Sejumlah artis bersama AA Gym juga sempat mendatangi Kantor Lembaga Sensor Film (LSF) di Jalan M.T. Haryono, Jakarta. Inneke Koesherawati yang turut serta mengaku diajak Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin. Karena merasa tidak sreg dengan adegan dalam BCG, meski baru menonton cuplikannya, Inneke mendukung tuntutan agar BCG ditarik dari peredaran.
Dalam dialog bersama reporter SCTV Sella Wangkar, pagi ini, Inneke mengatakan, seharusnya LSF bekerja dengan baik sehingga kasus seperti film BCG bisa dicegah. "Kalau bekerja dengan baik, nggak akan ada kayak gini," kata Inneke. Dalam dialog ini, hadir juga Veven Sp. Wardhana yang pengamat budaya massa.
Inneke juga menekankan bahwa dirinya tak menginginkan generasi muda melakukan hal yang disebutnya sebagai "kebodohan". Pada masa jayanya sebagai bintang layar lebar, Inneke memang pernah dicap sebagai bom seks. Hampir seluruh film yang dibintanginya menampilkan adegan seronok. "Saat itu, pikiran saya nggak merasa dieksploitasi. Saya pikir ini tuntutan skenario. Saya cuma kepingin jadi artis yang profesional," kata Inneke.
Bagi sebagian remaja Indonesia saat ini, berciuman dianggap biasa. Ini diakui Inneke. Namun, menurut dia, dalih itu tidak bisa dijadikan pembenaran. Dia mencontohkan tentang remaja yang belum pernah berciuman, setelah menonton film beradegan ciuman jadi kepingin mencoba. Inneke berharap media lebih selektif lagi menayangkan produknya.
Ketua LSF Titie Said, saat didatangi Aa Gym, mengaku sudah memotong sejumlah adegan. LSF meluluskan BCG dengan beberapa pertimbangan, di antaranya menyensor sejumlah adegan. Cuma, sensor film yang diputar di bioskop cukup longgar ketimbang film yang diputar di televisi. Sebab, penonton bioskop adalah orang-orang tertentu. Tempat dan jadwal pemutarannya juga tertentu. Penonton pun membayar dengan harga tertentu.
Dalam dialog, Veven mengatakan, masyarakat Indonesia terbiasa mengomentari sesuatu tanpa terlebih dahulu mengetahui masalah. Dalam kasus ini, masyarakat belum menonton, tapi sudah memprotes. "Kebiasaan kita kan gitu. Nggak nonton terus komentar karena mengomentari komentar sebelumnya," kata Veven.
Veven mengaku belum menonton cuplikan ataupun film BCG secara utuh. Namun, dia mengaku liberal. Menurut Veven, berciuman adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Tentang BCG, sebelum ditarik dari peredaran, sebaiknya diadakan riset terlebih dahulu. Tanyakan kepada responden, apakah mereka tergerak melakukan seperti yang ada di film? "Beberapa riset menyebutkan, tidak semua produk budaya massa berpengaruh langsung. Kalau ada yang terpengaruh, itu pasti ada latar belakang dari yang terpengaruh," kata Veven.
Dia juga mengatakan sensitivitas masyarakat tentang sensualitas naik turun. Terkadang, ada tayangan yang sebenarnya sensualitasnya sangat menonjol malah dibiarkan. Malah, ada tayangan bertema lain yang justru lebih berbahaya, seperti mistik, aman-aman saja.
Kasus BCG sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Sejak 1960-an seks sudah mewarnai perfilman Indonesia. Sebut saja Antara Bumi dan Langit yang diprotes Pelajar Islam Indonesia Cabang Medan, Sumatra Utara. Ada juga Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989) yang diprotes MUI hingga Badan Sensor Film dan Departemen Penerangan menghentikan tayangannya. Seks memang selalu menarik perhatian. Banyak yang bahagia, tak sedikit pula yang cemas dibuatnya.(SID/Tim Liputan 6 SCTV)