Sukses

Dua Lagi Kasus <i>Malpraktik</i> Terungkap

Andreas, bocah berusia delapan tahun lumpuh akibat dokter yang pertama merawatnya tidak segera mengambil tindakan. Sementara Zaki mengalami cacat mental akibat vakum yang terlalu keras ketika ia lahir.

Liputan6.com, Jakarta: Kasus malpraktik terus bermunculan. Setelah Agian Isna Nauli dan Fellina Azahara, dua korban kelalaian dokter juga ditemukan, baru-baru ini. Adalah Andreas asal Jakarta dan Zaki asal Slawi, Jawa Tengah, yang kini cacat fisik akibat dugaan malpraktik.

Sudah setahun Andreas berhenti sekolah. Seharusnya, anak berusia delapan tahun itu sudah duduk di kelas tiga sekolah dasar. Persoalan ini semuanya berawal ketika Andreas terjatuh di sekolah, sehingga memerlukan perawatan. Ia kemudian dirawat oleh dokter ortopedi bernama Ryan selama satu tahun. Anehnya, keadaan Andreas justru kian memburuk. Andreas pun lumpuh.

Kepastian sakit Andreas karena kelalaian dokter terungkap setelah orang tuanya, Linda membawa anaknya berobat ke Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur. Linda sangat terkejut ketika dokter di sana mengatakan bahwa engsel bagian pinggul Andreas sudah membusuk dan tidak dapat menyatu lagi. Menurut dokter, sakit Andreas sudah tidak bisa diobati lagi. Linda sangat menyesalkan dokter Ryan yang tidak memberitahukan kondisi Andreas sebenarnya ketika dalam perawatannya. "Mereka [dokter Ryan] tidak memberitahukan kepada saya bahwa tulang-tulang anak saya sudah hancur, itu yang saya sesalkan," tutur Linda.

Korban kelalaian dokter lainnya adalah Zaki. Bocah berusia tiga tahun ini seharusnya sudah bisa bicara, berjalan, dan bermain. Menurut Sugianto, kecacatan anaknya itu disebabkan tindakan medis dokter di RS Susilo, Slawi, pada saat Zaki lahir. Zaki lahir memakai alat bantu vakum. Menurut dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta Pusat, yang merawat Zaki, proses vakum terlalu keras sehingga melukai kepala. Dan itu membuat syaraf di kepala Zaki terganggu. "Kenapa dokter harus melakukan cara seperti itu? Sedangkan cara lain kan masih bisa, umpamanya di caesar," keluh Sugianto.

Melalui Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan, kedua orang tua korban malpraktik ini berusaha menuntut pihak-pihak yang bertanggung jawab. Namun, hingga kini, belum ada tanda-tanda keberhasilan dan tanggapan dari pihak RS atau dokter terkait.

Sementara itu, dua korban kelalaian dokter lainnya yang dirawat di RSCM, yakni Fellina dan Agian hingga kini kondisinya belum membaik. Nyonya Agian lumpuh total karena dugaan malpraktik setelah ia melahirkan bayi keduanya, 20 Juli silam. Ia kini terkulai tak berdaya, bahkan untuk bicara pun sudah tidak bisa lagi. Tragisnya, Agian juga sudah tidak bisa mengenali siapa pun, termasuk suami dan anaknya. Menurut dokter, kondisi kemampuan atau tingkat kesadaran Agian sudah di bawah binatang atau dalam istilah kedokteran disebut vegetative state [baca: Hassan Kesuma: Kembalikan Istri Saya].

Saat ini, RSCM juga tengah merawat seorang pasien yang diduga mengalami kasus malpraktik. Kondisi Fellina Azahara memburuk karena luka operasi tidak juga kunjung sembuh. Bocah berusia dua tahun ini mengalami gangguan pencernaan setelah dioperasi di sebuah rumah sakit di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. Setiap makanan yang masuk ke mulut bocah malang itu selalu keluar dari lubang di perut beberapa menit kemudian [baca: Fellina Masih Lemah].

Meski telah banyak terjadi kasus malpraktik sehingga menyebabkan pasiennya meninggal dunia atau cacat fisik, belum ada peraturan yang menguntungkan pasien. Bahkan, Rancangan Undang-undang Praktik Kedokteran yang telah disepakati dalam Panitia Khusus DPR, 25 Agustus silam, nyaris tidak berarti banyak dalam melindungi kepentingan masyarakat. RUU itu tidak mencantumkan sanksi bagi dokter yang lalai saat menangani pasien.

Pembentukan majelis kehormatan profesi pun dipandang tidak banyak membantu masyarakat. Majelis kehormatan ini berwenang menentukan ada-tidaknya malpraktik oleh seorang dokter [baca: RUU Praktik Kedokteran Belum Melindungi Hak Pasien]. Dengan kewenangannya itu, masyarakat khawatir majelis ini berfungsi sebagai pengadilan filter yang bisa membuat pelaku malpraktik tidak perlu diadili di peradilan umum. Kekhawatiran itu ditepis Ketua Komisi VII DPR yang menyusun RUU Praktik Kedokteran, Suryacandra Suryapati. Menurut dia, majelis kehormatan justru dapat membantu penggungkapan kasus malpraktik yang terjadi.(DEN/Tim Liputan 6 SCTV)