Sukses

Keraton Surakarta Masih Dijaga Ketat

Kompleks Keraton Kasunanan Surakarta dalam penjagaan ketat sejumlah polisi dan warga setempat. Penobatan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Tedjowulan menjadi Susuhunan Paku Bowono XIII, memperuncing konflik.

Liputan6.com, Surakarta: Perebutan tahta di Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Jawa Tengah, bergulir tajam. Penobatan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Tedjowulan menjadi Susuhunan Paku Bowono XIII, siang tadi, justru memperuncing konflik. Seperti tak mau kalah, kubu KGPH Hangabehi, dalam waktu dekat juga akan melaksanakan pengangkatan tandingan.

Kisruh pascakematian Susunan Paku Buwono XII ini, membuat situasi Kompleks Keraton Kasunanan Surakarta, tegang. Sampai berita ini disusun, Selasa (31/8) petang, kompleks keraton dalam penjagaan ketat sejumlah polisi dan warga setempat. Soalnya, terbetik kabar, jumenengan atau proses kenaikan tahta Raja Tedjowulan akan dilangsungkan di kompleks ini.

Namun untuk menghindari kemungkinan bentrokan antara dua kubu bertikai, Raja Tedjowulan menghendaki prosesi kenaikan tahta tak digelar di Kompleks Keraton Kasunanan. Dia lebih suka prosesi itu dilaksanakan di Sasana Sewaka yang juga menjadi kediaman Mooryati Sudibyo [baca: KGPH Tedjowulan Dinobatkan Sebagai Raja Solo].

Konflik yang kini berlangsung di Kasunanan Surakarta sudah diperkirakan jauh hari. Sebab, sampai mangkatnya, PB XII tak pernah menunjuk seorang pengganti [baca: Paku Buwono XII Mangkat]. Tedjowulan dan Hangabehi sama-sama mengklaim berhak menjadi pengganti PB XII. Selama ini, kubu Hangabehi lebih dominan di dalam keraton. Sementara kubu Tedjowulan lebih banyak berkegiatan di luar lingkungan keraton.

Bila dibandingkan dengan yang terjadi di Keraton Kasunanan Surakarta, suksesi yang terjadi di Keraton Kesultanan Yogyakarta, biasanya lebih "adem". Bisa dimaklumi, karena dalam tradisi Keraton Kasultanan Yogyakarta, pengganti raja adalah putra mahkota atau kerap disebut dengan Pangeran Adipati Anom.

Putra mahkota atau Pangeran Adipati Anom adalah putra tertua Parameswari atau Garwa Padmi alias permaisuri. Sebagai contoh, Sultan Hamengkubuwono X. Dia adalah putra tertua Sultan HB IX dan diangkat menjadi Raja Yogyakarta pada 7 Maret 1989.

Tapi tak melulu seperti yang terjadi di atas. Bila Garwa Padmi cuma bisa memberi anak perempuan, pihak keraton akan menggunakan dua alternatif pengganti. Pertama, adik laki-laki sultan yang tengah memerintah dan dilahirkan oleh parameswari atau saudara sekandung sultan. Hal ini seperti pengangkatan Pangeran Adipati Mangkubumi menjadi Sri Sultan HB VI. Dia adalah adik Sultan HB V yang bernama kecil Raden Mas Menol.

Kemungkinan kedua ialah dengan mengangkat seorang selir menjadi permaisuri agar putra tertuanya bisa menjadi Pangeran Adipati Anom. Contohnya, Sultan HB VII yang memerintah dari 1877 sampai 1921.

Namun bisa juga yang diangkat menjadi putra mahkota bukan putra tertua Parameswari. Ketentuan ini berlaku berdasarkan pertimbangan pranata yang mengharuskan putra lain yang diangkat. Contohya, Sultan HB VIII. Dia adalah putra ke-4 Sultan HB VII. Sultan HB VIII diangkat menjadi raja karena dua saudara tertuanya sudah meninggal. Sementara saudara nomor tiga mengundurkan diri secara struktural dari keraton.

Semua aturan baku itulah yang sampai kini dipegang teguh keluarga Keraton Yogyakarta. Alhasil suksesi di Keraton Yogyakarta berjalan lancar dan damai.(ICH/Tim Liputan 6 SCTV)