Sukses

Perang Keluarga dalam Suksesi Keraton Surakarta

Upaya mempertemukan seluruh kerabat keraton masih menemui jalan buntu. Perebutan tahta kali ini lebih karena tak adanya putra mahkota dari PB XII. Aset fisik maupun nonfisik di keraton juga menjadi pemicu.

Liputan6.com, Surakarta: Suksesi pemegang kekuasaan Keraton Surakarta, Jawa Tengah, sarat intrik dan konflik. Bahkan keluarga pecah menjadi dua kubu. Mereka "berperang" untuk memperebutkan tahta di Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Begitu pula setelah Sunan Paku Buwono XII mangkat pada 11 Juni 2004. Perang memperebutkan tahta kekuasaan keraton sudah dimulai. Dan besar kemungkinan, konflik ini akan berakhir dengan melahirkan raja kembar.

Sepekan setelah mangkatnya Susuhunan Paku Buwono XII, hubungan kerabat Keraton Surakarta mulai meruncing. Penentuan siapa pengganti Susuhunan PB XII ini muncul karena adanya tarik-menarik antara dua kubu kerabat keraton, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dan KGPH Tedjowulan.

Penolakan terhadap Hangabehi dimotori KGPH Dipo Kusumo. Akhirnya, bersama tiga pengageng keraton, Dipo mencuatkan nama KGPH Tedjowulan sebagai pengganti PB XII. Kubu Tedjowulan berada di luar keraton mempercepat penobatan pada 30 Agustus 2004 [baca: KGPH Tedjowulan Dinobatkan Sebagai Raja Solo]. Keluarga KGPH Tedjowulan antara lain putra-putri yang dilahirkan garwo ampil atau selir pertama GRAy Mandayaningrum, garwo ampil tiga GRAy Rio Rogasmara, dan garwo ampil keenam GRAy Retnodiningrum. Tedjowulan adalah putra kedua dari GRAy Retnodiningrum.

Kubu Hangabehi yang berada di dalam keraton secara sistematis mempersiapkan penobatan KGPH Hangabehi sebagai PB XIII pada 10 September nanti. Keluarga KGPH Hangabehi merupakan keturunan PB XII dari garwo ampil kedua GRAy Pradapaningrum. Hangabehi adalah anak tertua laki-laki tertua di antara seluruh keluarga karena garwo ampil pertama tidak menurunkan anak laki-laki.

Upaya mempertemukan seluruh kerabat keraton masih menemui jalan buntu. Perebutan tahta kali ini dinilai karena PB XII tidak mempunyai permaisuri, sehingga tidak ada putra mahkota. Di sisi lain adanya nuansa perebutan aset fisik maupun nonfisik di keraton, seperti prospek bisnis, sosial, dan politik. Namun sejak masa Mataram, secara historis perebutan tahta telah mewarnai riwayat keraton-keraton di Jawa.

Berdasarkan data yang dihimpun www.liputan6.com, konflik akibat perebutan posisi raja dan melahirkan raja kembar dalam sejarah Kerajaan Mataram Islam hingga Keraton Surakarta Hadiningrat, sudah tiga kali terjadi. Pertama adalah perseteruan antara Puger dan Amangkurat I yang membawa lari putra mahkota (zaman Mataram). Kedua konflik antara Puger dan Amangkurat III (masa Keraton Kartasura). Sedangkan ketiga permusuhan antara PB III dan Mangkubumi.

Menurut Tundjung W. Sutirto, dosen sejarah Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), konflik-konflik raja kembar itu biasa berakhir karena salah satu mendapat dukungan dari pihak luar. Karena itu, ia berharap masyarakat tidak perlu bingung dalam menyikapi raja kembar yang memperebutkan tahta Keraton Surakarta. Hanya saja, jika konflik berlangsung terus dikhawatirkan terjadi pengusiran-pengusiran terhadap kerabat keraton.

Pendapat lain diutarakan Dekan Fakultas Hukum UNS Adi Sulistiyono. Ia berpendapat, penyelesaian konflik perebutan tahta itu semestinya berpijak pada hukum adat di keraton. Hukum positif atau hukum yang berlaku secara umum tidak bisa mengintervensi persoalan itu. Yang pasti, menurut dia, siapa pun yang bertahta tidak akan berimplikasi secara langsung pada masyarakat luas. Sebab, kewenangannya kini sebatas tembok keraton.(DEN/Solikun dan Hendro Mardiko)
    Video Terkini