Sukses

<i>Malpraktik</i> dan Eutanasia

Hassan Kusuma memohon izin melakukan eutanasia untuk istrinya Agian Isna Nauli yang koma sejak dua bulan silam. Kasus malpraktik sulit untuk diajukan ke pengadilan. MKEK dianggap hanya melindungi dokter.

Liputan6.com, Jakarta: Untuk pertama kali di Indonesia, eutanasia atau mengakhiri penderitaan dengan cara disuntik mati diajukan oleh keluarga pasien kepada negara. Adalah Hassan Kusuma yang memohon izin menyuntik mati istrinya, Agian Isna Nauli yang tergolek tak berdaya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sejak dua bulan terakhir. Agian tak sadarkan diri sehari setelah dioperasi caesar di Rumah Sakit Islam (RSI) Bogor, Jawa Barat, 20 Juli 2004.

Diduga, Agian korban kelalaian tim medis atau malpraktik RSI Bogor. Sebelum kasus ini mencuat di media massa, Hassan mengaku sempat menandatangani perjanjian bahwa dirinya tak akan menuntut RSI Bogor. Sebagai imbalannya, RSI Bogor memberi pinjaman saat Agian dirawat di ruang perawatan intensif. Sayangnya, hinggga kini, pengelola rumah sakit tak pernah memenuhi janjinya. "Dan juga pernah menawarkan untuk dirawat sampai sembuh dengan biaya diutangkan," kata Hassan di Jakarta, baru-baru ini.

Menyuntik mati orang yang dicintai tentu tak diinginkan Hassan. Eutanasia menjadi pilihan karena Hassan tak mampu lagi membiayai perawatan istrinya. Karena itu, Hassan bersedia membatalkan keinginannya untuk mengakhiri hidup istrinya jika pemerintah membiayai perawatan Agian. "Ya siapa sih yang ingin orang yang dicintainya mati dengan sia-sia?" ujar Hassan.

Permohonan eutanasia Hassan akhirnya ditolak DPRD Kota Bogor. Alasannya, eutanasia bertentangan dengan agama. Selain itu, belum ada juga undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut. Dewan juga menganggap, masih ada harapan buat Agian untuk pulih [baca: Suami Korban Malpraktik Minta Istrinya Disuntik Mati].

Menurut Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta, sudah waktunya pemerintah menyusun undang-undang tentang eutanasia. Karena, ketika pasien dinyatakan tak memiliki harapan untuk sembuh, pilihan eutanasia sebenarnya otomatis muncul. Kalaupun tidak disuntik mati, pasien yang tak bisa sembuh tak bisa mengelak dari euthanasia karena pada akhirnya akan meninggal juga. Inilah yang disebut eutanasia pasif.

Marius menegaskan, yang tak kalah penting adalah menyusun standar profesi kedokteran dan prosedur pelayanan kesehatan. Selama ini, menurut Marius, tak ada acuan pasti yang mengatur kedua hal itu. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit pun belum disahkan dalam kurun waktu sembilan tahun. Alhasil, setiap penyedia jasa layanan kesehatan kini menerapkan standar yang berbeda. "Seharusnya Museum Rekor Indonesia memberikan award kepada Departemen Kesehatan. Karena peraturan pemerintah yang menyangkut nyawa kok didiamkan saja dan tak pernah diutak-atik," kata Marius.

Undang-undang Kedokteran yang baru disahkan juga dianggap tak melindungi kepentingan masyarakat. Dalam UU itu, tidak diatur sanksi bagi dokter yang lalai menangani pasien. Definisi malpraktik pun tak dijelaskan secara rinci [baca: Malpraktik Marak, Perlindungan Konsumen Masih Lemah].

Mengajukan kasus malpraktik ke pengadilan juga sangat sulit. Menurut Marius, dari 257 laporan malpraktik yang diterima YPKKI, hanya dua yang bisa dimejahijaukan. Di pengadilan, membuktikan malpraktik juga bukan pekerjaan yang mudah. Pengacara Hotman Paris Hutapea mengatakan, hakim pengadilan membutuhkan pembuktian kuat dari para ahli yaitu dokter. Sayangnya, para dokter biasanya enggan bersaksi yang memberatkan rekan sejawat. Tak heran jika hingga sampai sekarang belum ada satu pun proses pengadilan yang mampu membuktikan kasus malpraktik.

Sementara Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia yang bertugas menyelesaikan sengketa medis juga terkesan cenderung melindungi dokter daripada membela pasien. Dugaan ini dibantah Ketua MKEK IDI Broto Wasisto. Menurut dia, pihaknya selalu bertindak adil dalam menengahi sengketa medis. "Anggota-anggota MKEK senantiasa bekerja secara adil," tegas Broto.(ZAQ/Tim Sigi)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini