Liputan6.com, Jakarta: Citra Indonesia di dunia internasional kembali dipertaruhkan. Belum usai penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, kini Indonesia kembali diberi pekerjaan rumah yang berat atas kejadian penyerangan Kantor Komisi Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi (UNHCR) di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Upaya diplomasi dan pengusutan pun terus diupayakan untuk menghindari sanksi internasional dan semakin terpuruknya kredibilitas negeri ini.
Mata dunia internasional kembali tertuju kepada Indonesia ketika 6 September silam, Atambua, Ibukota Kabupaten Belu, NTT menjadi sasaran aksi 3.000 warga Timtim di kamp pengungsian. Kerusuhan Atambua bermula dari aksi unjuk rasa keprihatinan dan solidaritas atas terbunuhnya mantan Komandan Batalyon Lak Saur Olivio Mendoza Moruk yang juga merupakan salah seorang tersangka kasus pelanggaran HAM di Timtim.
Sayangnya, aksi massa tadi berkembang menjadi anarkis lewat pembakaran Kantor UNHCR di Atambua. Buntutnya, tiga orang staf UNHCR berwarga negara Etiopia, Puerto Rico dan Kroasia tewas. Sementara tujuh masyarakat setempat dan satu pengungsi juga tewas dalam peristiwa tersebut.
Tragedi berdarah Atambua tersebut mengundang kecaman dan ungkapan prihatin baik dari dalam dan luar negeri. Buktinya, Dewan Keamanan PBB langsung mengeluarkan Resolusi Nomor 1319 Tahun 2000 atas kejadian itu. Isi resolusi itu menegaskan bahwa pihak Indonesia harus segera melucuti persenjataan milisi.
Pemerintah Indonesia sontak tak bergeming. Melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia secara resmi menyampaikan penyesalan dan belasungkawa atas penyerangan terhadap Kantor UNHCR dan tewasnya tiga staf yang tengah bertugas. Tak hanya itu saja. Tim investigasi langsung diturunkan guna mencari penyebab insiden tersebut dan telah memeriksa sejumlah orang saksi.
Presiden Abdurrahman Wahid yang baru saja melakukan lawatannya ke Amerika Serikat juga langsung bergegas. Dia segera melakukan rapat dengan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri beserta sejumlah pejabat terkait di Istana Merdeka untuk menyoal langkah lanjut insiden Atambua dan Resolusi DK PBB. Akhirnya, rapat memutuskan untuk merespon beberapa inti persoalan saja. Pasalnya, tidak semua butir dalam resolusi tersebut benar. Misalnya, pencatuman insiden susulan di Betun tidak pernah ada.
Sementara soal milisi, juga langsung ditanggapi. Menurut Panglima Tentara Nasional Indonesia Laksamana Widodo A.S., sebenarnya milisi telah dibubarkan sejak tahun 1999, dan telah dilucuti senjatanya sebanyak lebih dari 600 pucuk.
Aksi pemerintah Indonesia tak berhenti sampai di situ. Dalam sidang kabinet berikutnya yang dipimpin Megawati secara mendadak, pemerintah memutuskan untuk menolak masuknya DK PBB ke Atambua untuk ikut melakukan pemantauan. Sementara pengungsi dari Timtim akan dipindahkan ke Pulau Wetar dan disebar ke seluruh wilayah Indonesia. Tujuannya, agar dapat mengurangi konflik di pusat-pusat pengungsian. Aksi lainnya juga termasuk memulangkan para pengungsi yang ingin kembali ke Bumi Loro Sae.
Upaya diplomasi ke dunia internasional pun dilakukan Pemerintah Indonesia. Dalam pekan ini juga, Menteri Luar Negeri Alwi Shihab akan mengadakan pertemuan dengan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan dan meloby sejumlah anggota DK, agar Indonesia tidak terkena sanksi internasional atas kejadian Atambua.
Di Bali sendiri, pada 14 September silam juga telah dilakukan pertemuan antara perwakilan Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menkopolsoskam Susilo Bambang Yudhoyono dengan mantan pejuang prointegrasi Persatuan Satria Timor (Untas) Eurico Gutterez, Ketua UNTAET Sergio de Mello dan Presiden Dewan Perlawanan Nasional Rakyat Timor (CNRT) Xanana Gusmao.
Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk melakukan upaya pencegahan terulangnya insiden Atambua. Caranya dengan mengadakan patroli bersama di kawasan perbatasan dengan Timtim dan memindahkan pengungsi yang memilih bergabung dengan Indonesia ke Pulau Wetar.
Penyelesaian dan solusi menyeluruh terhadap peristiwa Atambua dan pengungsi Timtim di NTT serta hubungan Indonesia dengan Timor Leste akan terus menjadi sorotan dunia internasional. Karena itu keseriusan pemerintah dalam menangani persoalan itu menjadi suatu keharusan. Bila hal ini tidak dilakukan, bukan tak mungkin citra Indonesia di dunia internasional semakin terpuruk.(BMI/Tim Liputan 6 SCTV)
Mata dunia internasional kembali tertuju kepada Indonesia ketika 6 September silam, Atambua, Ibukota Kabupaten Belu, NTT menjadi sasaran aksi 3.000 warga Timtim di kamp pengungsian. Kerusuhan Atambua bermula dari aksi unjuk rasa keprihatinan dan solidaritas atas terbunuhnya mantan Komandan Batalyon Lak Saur Olivio Mendoza Moruk yang juga merupakan salah seorang tersangka kasus pelanggaran HAM di Timtim.
Sayangnya, aksi massa tadi berkembang menjadi anarkis lewat pembakaran Kantor UNHCR di Atambua. Buntutnya, tiga orang staf UNHCR berwarga negara Etiopia, Puerto Rico dan Kroasia tewas. Sementara tujuh masyarakat setempat dan satu pengungsi juga tewas dalam peristiwa tersebut.
Tragedi berdarah Atambua tersebut mengundang kecaman dan ungkapan prihatin baik dari dalam dan luar negeri. Buktinya, Dewan Keamanan PBB langsung mengeluarkan Resolusi Nomor 1319 Tahun 2000 atas kejadian itu. Isi resolusi itu menegaskan bahwa pihak Indonesia harus segera melucuti persenjataan milisi.
Pemerintah Indonesia sontak tak bergeming. Melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia secara resmi menyampaikan penyesalan dan belasungkawa atas penyerangan terhadap Kantor UNHCR dan tewasnya tiga staf yang tengah bertugas. Tak hanya itu saja. Tim investigasi langsung diturunkan guna mencari penyebab insiden tersebut dan telah memeriksa sejumlah orang saksi.
Presiden Abdurrahman Wahid yang baru saja melakukan lawatannya ke Amerika Serikat juga langsung bergegas. Dia segera melakukan rapat dengan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri beserta sejumlah pejabat terkait di Istana Merdeka untuk menyoal langkah lanjut insiden Atambua dan Resolusi DK PBB. Akhirnya, rapat memutuskan untuk merespon beberapa inti persoalan saja. Pasalnya, tidak semua butir dalam resolusi tersebut benar. Misalnya, pencatuman insiden susulan di Betun tidak pernah ada.
Sementara soal milisi, juga langsung ditanggapi. Menurut Panglima Tentara Nasional Indonesia Laksamana Widodo A.S., sebenarnya milisi telah dibubarkan sejak tahun 1999, dan telah dilucuti senjatanya sebanyak lebih dari 600 pucuk.
Aksi pemerintah Indonesia tak berhenti sampai di situ. Dalam sidang kabinet berikutnya yang dipimpin Megawati secara mendadak, pemerintah memutuskan untuk menolak masuknya DK PBB ke Atambua untuk ikut melakukan pemantauan. Sementara pengungsi dari Timtim akan dipindahkan ke Pulau Wetar dan disebar ke seluruh wilayah Indonesia. Tujuannya, agar dapat mengurangi konflik di pusat-pusat pengungsian. Aksi lainnya juga termasuk memulangkan para pengungsi yang ingin kembali ke Bumi Loro Sae.
Upaya diplomasi ke dunia internasional pun dilakukan Pemerintah Indonesia. Dalam pekan ini juga, Menteri Luar Negeri Alwi Shihab akan mengadakan pertemuan dengan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan dan meloby sejumlah anggota DK, agar Indonesia tidak terkena sanksi internasional atas kejadian Atambua.
Di Bali sendiri, pada 14 September silam juga telah dilakukan pertemuan antara perwakilan Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menkopolsoskam Susilo Bambang Yudhoyono dengan mantan pejuang prointegrasi Persatuan Satria Timor (Untas) Eurico Gutterez, Ketua UNTAET Sergio de Mello dan Presiden Dewan Perlawanan Nasional Rakyat Timor (CNRT) Xanana Gusmao.
Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk melakukan upaya pencegahan terulangnya insiden Atambua. Caranya dengan mengadakan patroli bersama di kawasan perbatasan dengan Timtim dan memindahkan pengungsi yang memilih bergabung dengan Indonesia ke Pulau Wetar.
Penyelesaian dan solusi menyeluruh terhadap peristiwa Atambua dan pengungsi Timtim di NTT serta hubungan Indonesia dengan Timor Leste akan terus menjadi sorotan dunia internasional. Karena itu keseriusan pemerintah dalam menangani persoalan itu menjadi suatu keharusan. Bila hal ini tidak dilakukan, bukan tak mungkin citra Indonesia di dunia internasional semakin terpuruk.(BMI/Tim Liputan 6 SCTV)