Sukses

Kasus Sampit Bermotif Politik

Kerusuhan Sampit dinilai kental nuansa politis. Sebab itu, pemerintah harus mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan kasus di sana.

Liputan6.com, Jakarta: Motif politik yang memicu kerusuhan di Sampit dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Alasannya, persinggungan antaretnis di Indonesia yang menyebabkan ribuan orang kehilangan harta jarang terjadi. Bahkan, hingga ratusan nyawa melayang dalam satu rangkaian kejadian. Pendapat tersebut dikemukakan pengamat politik Amir Santoso di Jakarta, baru-baru ini.

Berdasarkan analisa tersebut, Amir menilai, tak mudah menyelesaikan konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan di Kalteng. Bahkan, penyelesaian bilateral antarkedua suku yang bertikai sekalipun. Karena itu, ia menyarankan agar pemerintah mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan masalah di sana. Satu di antaranya adalah relokasi bagi etnis tertentu yang sudah pernah ditawarkan pemerintah. Kendati demikian, Amir meminta relokasi itu tak diterapkan secara permanen. Sebab, dikhawatirkan akan memicu kecemburuan sosial.

Senada dengan Amir, anggota DPR asal Kalimantan Timur Teras A. Narang menyatakan, peran aparat keamanan adalah faktor penting untuk menciptakan stabilitas di Sampit. Karena itu, ia menyayangkan insiden baku tembak antara polisi dan TNI di Pelabuhan Sampit, beberapa waktu silam. Ia juga mengecam, sikap aparat yang membeli barang berharga korban kerusuhan dengan harga murah. Sebab, cara tersebut tak layak disandang seorang petugas penegak hukum.

Berbagai kritik yang dilontarkan berbagai kalangan terhadap aparat keamanan sedikit banyak cukup efektif. Buktinya, polisi langsung tanggap. Menurut Kepala Pusat Penerangan Polri Inspektur Jenderal Polisi Didi Widayadi, polisi akan mengkaji ulang penanganan kerusuhan di Sampit. Caranya, dengan menggunakan pendekatan interdisipliner. Tujuannya, agar kerusuhan tersebut tak menyebar ke daerah lain. Selain itu, menurut Didi, Polri juga tengah berupaya mendata harta benda milik masyarakat keturunan Madura yang tertinggal di Sampit dan Palangkaraya. Tujuannya, untuk mengamankan harta tersebut dari aksi jarahan.

Sementara, Kepala Polri Jenderal Polisi S. Bimantoro menyatakan, pendekatan adat dan budaya sangat penting untuk menyelesaikan konflik di Sampit. Meski demikian, tindakan hukum tetap terus dijalankan. Hal tersebut disampaikan Kapolri dalam dialog dengan tokoh masyarakat Madura di Surabaya, Jawa Timur, Jumat kemarin.

Dalam acara yang diselenggarakan Himpunan Persaudaraan Antarsuku Bangsa Indonesia itu, Bimantoro juga membantah anggapan bahwa Polri lambat menangani kerusuhan di Kalteng. Alasan dia, areal Kota Waringin yang luas membuat polisi terlambat memasuki kota tersebut.

Namun sejauh ini, menurut Bimantoro, polisi telah menangkap sebanyak 108 pelaku kerusuhan. Sebanyak 80 orang di antaranya di tangkap di markas para pelaku yakni di Hotel Rama, Kalteng. Polisi juga telah menembak mati lima pelaku kerusuhan yang melawan ketika hendak ditangkap.

Dalam kesempatan itu, Gubernur Kalimantan Selatan Syahril Darham yang hadir dalam pertemuan tersebut menyatakan, Kalsel terbuka untuk para pengungsi dari Madura sebelum kembali ke Sampit. Bahkan, Syahril mengaku siap menjadi mediator semua etnis yang bertikai di Sampit. Untuk itu, ia meminta agar Gubernur Kalteng menginventarisir dan menjaga seluruh lahan milik warga Madura di Sampit.

Kesiapan membantu warga Sampit asal Madura juga dinyatakan Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia. Caranya, dengan membentuk pos komando kemanusiaan untuk menampung pengungsi asal daerah konflik itu. Lembaga yang terdiri berbagai organisasi lintas agama ini juga akan membentuk tim investigasi untuk mencari akar permasalahan yang timbul di Sampit.(AWD/Tim Liputan 6 SCTV)
    Video Terkini