Sukses

Dendam Laten di Bumi Borneo

Pertikaian antara Madura dan Dayak di Sampit menyeret ingatan akan perseteruan panjang yang terjadi sejak 50 tahun lampau. Hubungan antara kedua suku ini memendam dendam berkepanjangan.

Liputan6.com, Palangkaraya: Ayunan mandau dan celurit di Kalimantan adalah cerita sepanjang zaman. Ini tak berlebihan. Sekitar 20 tahun setelah terjadi migrasi besar-besaran ke Kalimantan pada tahun 1930-an, hubungan antara penduduk Dayak dan pendatang Madura memang rentan konflik. Padahal, kedatangan orang Madura ke Kalimantan bukan untuk berperang, melainkan untuk mencari kehidupan layak lantaran di daerah asal kesulitan.

Disertasi berjudul Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan Barat, yang berhasil dipertahankan almarhum Hendro Suroyo Sudagung di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1984, mengungkapkan, ada tiga gelombang migrasi swakarsa dari Madura ke Kalimantan: tahun 1902-1942, 1942-1950, dan sesudah 1950. Kalimantan, selain menjanjikan kelimpahan, memang sebagai wilayah yang masyarakatnya toleran dengan kultur tak terlalu dominan. Hendro, putra Madura yang menjadi profesor di Universitas Tanjung Pura, Pontianak, ini menyebutkan, sejak 1950-an, arus pendatang dari Madura ke Kalimantan pulih dan malah kian deras dengan tujuan makin ke kota.

Tapi, siapa nyana, hubungan antara Madura dan Dayak lambat laun menampilkan wujud asli. Begitu banyak faktor yang memicu mereka berseteru. Orang Dayak bilang, Maduralah yang menyebabkan perkelahian massal antar-etnis meletus di Kalimantan. Kata orang Madura, penduduk setempat malas-malas, sehingga mencemburui sukses migran Madura. Tak jelas mana yang benar. Bisa saja keduanya betul tapi tak tertutup pula kemungkinan keduanya salah. Satu hal pasti, sejak etnis Madura mulai marak di Kalimantan, sekitar 1950-an, aksi saling bantai yang melibatkan massa besar-besaran sudah terjadi sebanyak sepuluh kali hingga kini. Sedangkan kasus pembunuhan yang memakan korban kecil, sudah tak terhitung. Berikut ini data tentang konflik etnis di Bumi Kalimantan:

Tahun 1950: Untuk pertama kalinya perkelahian massal antara pendatang Madura dan etnis Dayak pecah. Pertikaian ini melahirkan korban dalam jumlah besar. Tak diketahui persis penyebabnya.

Tahun 1968: Terjadi saling bunuh antara orang Madura dan Dayak. Penyebabnya, seorang Camat Sungaipinyuh, Kabupaten Pontianak, bernama Sani, dibunuh seorang petani Madura. Petani itu kecewa lantaran Sang Camat menolak melayani urusan pembuatan surat jual beli tanahnya. Si petani yang tak bisa menerima alasan yang dikemukakan, langsung menikam Sani hingga tewas.

Tahun 1967:/> Perkelahian massal dan pengusiran terhadap orang Cina dilakukan warga Dayak. Sekitar 50 ribu orang Cina mengungsi ke Serawak. Konflik ini lebih disebabkan faktor politik, bukan konflik antar-etnis. Orang Cina dituduh pemerintah Indonesia menjadi kaki tangan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara yang dicap komunis.

Tahun 1976: Kerusuhan besar antara Madura-Dayak pecah untuk kedua kalinya di Sungaipinyuh. Kerusuhan ini dipicu pembunuhan Cangkeh, seorang petani Dayak, yang dilakukan beberapa orang Madura yang marah karena seorang pendatang Madura dihardik Cangkeh hanya gara-gara menyabit rumput di rumahnya.

Tahun 1977: Bentrokan kembali pecah. Kali ini di Singkawang, Kabupaten Sambas. Robert Lonjeng, seorang polisi dari suku Dayak dibantai seorang pemuda Madura. Si pemuda rupanya gelap mata setelah perang mulut dengan Robert, yang menegur si pemuda, marah karena sang adik perempuannya diajak pergi sampai larut malam. Robert tewas seketika oleh sabetan celurit si pemuda Madura yang memacari adiknya.

Tahun 1979: Dua tahun berikutnya, di Salamantan, masih termasuk Kabupaten Sambas, Sidik, seorang petani Dayak tewas disabet celurit Asmadin asal Madura. Asmadin marah ketika dilarang menyabit rumput di rumah milik Sidik. Perkelahian massal, saling membunuh pun terjadi. Sebanyak 21 orang tewas dan 65 rumah musnah terbakar. Untunglah, perang ini tak bertambah besar. Sebab, bala bantuan dari Madura yang kabarnya terdiri dari dua kapal penuh lelaki, sempat disusul dan diminta balik ke darat oleh Bupati Madura ketika itu. Untuk mencegah peristiwa terulang, didirikanlah Tugu Perdamaian Salamantan setelah upacara perdamaian dilakukan.

Tahun 1983: Di Sungaienau, Ambawang, Pontianak, meledak perkelahian antar-etnis Madura dan Dayak. Pemicunya, terbunuhnya Djaelani, seorang petani Dayak oleh petani Madura gara-gara konflik tanah.

Tahun 1993: Perkelahian antarpemuda di Pontianak mengakibatkan sejumlah korban jiwa. Kerugian juga jatuh akibat dibakarnya Gereja Maria Ratu Pecinta Damai dan Sekolah Kristen Abdi Agape oleh sekelompok karena dianggap sebagai tempat berkumpulnya orang Dayak.

Tahun 1996-1997: Perkelahian kedelapan meledak di Sanggauledo, Sambas. Aksi anti-Madura ini berawal dari sebuah perkelahian antarpemuda kedua suku pada sebuah pertunjukkan dandut di Ledo, 20 kilometer dari Sanggauledo. Sekelompok pemuda Madura menggoda pemudi-pemudi. Bakrie, anak pasangan Dayak dan Madura, tersinggung dan mencelurit Yokundus dan Takim, pemuda Dayak, sehingga masuk rumah sakit. Teman-teman Yokundus pun mengamuk dan menyerang daerah transmigrasi sosial Lembang dan Marabu. Penghuni daerah transmigrasi tersebut telanjur kabur. Maka, pemuda-pemuda yang marah itu pun membakar rumah-rumah yang dikosongkan.

Babak kedua kerusuhan terjadi ketika sekelompok orang bertopeng membakar kantor dan Koperasi Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih yang dimiliki suku Dayak. Saling bunuh pun terjadi setelah Sartinus Nyangkot, Kepala Desa Maribas, Tebas, tewas dibantai sekelompok pemuda Madura yang menghadangnya sekembali mengikuti upacara wisuda anaknya, Maria Ulfa, di Pontianak. Tercatat, peristiwa ini menewaskan hampir 200 orang.

Tahun 1999: Pertikaian antara Madura, Melayu, Bugis, yang kemudian juga melibatkan Dayak, pecah di Sambas, Kalimantan Barat. Sebanyak 265 orang telah tewas (252 Madura, 12 Melayu, seorang Dayak), 38 luka berat, sembilan luka ringan. Harta yang musnah: lebih dari 2.330 rumah hangus terbakar dan 164 dirusak massa, empat mobil dibakar dan enam dirusak, sembilan sepeda motor dibakar dan satu dirusak.

Kasus ini dimulai dari pembalasan kasus penyerangan ratusan orang Madura dari Desa Rambaian dan sekitarnya ke Desa Paritsetia, Kecamatan Jawai. Insiden ini menewaskan tiga orang dan tiga lainnya luka-luka berat di pihak suku Melayu. Anehnya, yang ditahan aparat keamanan justru seorang suku Melayu, bukan warga penyerang. Sebelumnya ada kasus pula, Rudi, pemuda asal Madura, menyerang Bujang Labik yang Melayu, dengan celurit. Gara-garanya, Rudi tersinggung dipelototi kernet angkutan kota itu lantaran tak membayar ongkos. Setelah itu, konflik pun meletus antara etnik Madura dan Dayak.

Muncul pula kasus baru. Ibrahim, seorang pemuda Madura, menenteng senjata api rakitan di Pasar Pemangkat. Dianggap petentengan, ia ditegur beberapa orang. Ibrahim tak senang dan terjadilah cek-cok. Setelah itu, Ibrahim pulang ke rumah. Entah siapa pelakunya, tiba-tiba ditemukan empat warga Madura tewas, tiga di Desa Perapakan dan seorang di Desa Sinam. Keterlibatan orang Dayak dalam konflik etnis ini dipicu terbunuhnya Martinus Amat, pekerja perkebunan kelapa sawit asal Salamantan oleh seorang pemuda. Mobil yang ditumpanginya pun dibakar.

Masih ada cerita lagi, etnis Bugis juga terlibat. Ceritanya berawal dari perang mulut antara pemuda Madura dan Bugis, karena Madura ingin menonton gratis road race di terminal induk Singkawang. Ia mengancam hendak menyerang Kualasingkawang. Maka, Bugis pun ikut angkat parang.

Tahun 2001: Konflik antara Madura dan Dayak meletus di Sampit, Kalimantan Tengah. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, korban jatuh mencapai sekitar 400 jiwa. Menurut data kepolisian, 319 lebih rumah dibakar dan sekitar 197 lainnya dirusak. Ada beragam versi yang memicu kasus perseteruan antar-etnis kesepuluh ini. Dari kisah terbunuhnya ibu hamil sampai balas dendam warga Madura atas kerusuhan di Kerengpangi, Kabupaten Kotawaringin Timur, Desember tahun silam.(RSB)
    Video Terkini