Liputan6.com, Palangkaraya: Raut muka lelaki itu dingin. Mengenakan ikat kepala merah, ia berdiri di tengah kerumunan dengan kedua tangan membentang lebar. Tangan kirinya menenteng kepala bocah berusia sekitar lima tahun yang lepas dari tubuh. Sedangkan tangan kanan tinggi-tinggi mengacungkan senjata keramat, mandau. Orang-orang yang menyaksikan pemandangan itu terdiam. Semua melihat dengan tatapan datar, tanpa rasa ngeri, tanpa beban.
Bocah malang itu tak sendirian. Ia adalah satu di antara ratusan jiwa yang tewas dengan cara mengenaskan, sejak pertikaian antara dua etnis yang kerap berseteru, Madura dan Dayak, meruyak Sampit, Kalimantan Tengah, dua pekan silam. Di Ibu Kota Kabupaten Kotawaringin Timur itu, cukup mudah menemukan mayat-mayat tanpa kepala. Tak berlebihan bila ada yang melukiskan, kaki bisa tersandung mayat saat menyusuri ruas jalan di Sampit akhir-akhir ini. Sebab, jenazah korban pembantaian memang berserakan nyaris di setiap sudut kota, terutama di lokasi kediaman etnis Madura.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat, korban jatuh mencapai sekitar 400 jiwa. Sedangkan menurut data kepolisian, 319 lebih rumah dibakar dan sekitar 197 lainnya dirusak. Aksi pembasmian etnis ini dibenarkan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Polisi Didi Widayadi, dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, pekan terakhir Februari silam.
Banyak cerita yang mengisahkan penyebab Sampit terkoyak. Terbetik berita, pertikaian itu bermula dari pembunuhan yang dilakukan sejumlah orang Madura terhadap seorang ibu warga Dayak yang sedang hamil tua. Para pembunuh bertindak sadis. Mereka menyayat perut korban, mengeluarkan bayi dari kandungan, dan membakarnya.
Kisah lain, perseteruan terjadi setelah sekelompok warga Dayak menyerang Keluarga Matayo, pendatang Madura di wilayah Kecamatan Baamang. Pengeroyokan itu menewaskan empat orang dan melukai seorang lainnya. Mengetahui ini, emosi warga Madura terbakar. Mereka pun berbondong-bondong menyerbu rumah yang diduga sebagai tempat pelarian para pembunuh keluarga Matayo. Tanpa pikir panjang, mereka membakar belasan rumah milik warga Dayak di sekitar lokasi. Aksi ini disusul serangan balasan oleh orang Dayak.
Versi lain, pertempuran dipicu dendam orang Madura atas kerusuhan Desember tahun silam, di daerah Kerengpangi, Kabupaten Kotawaringin Timur, 100 kilometer arah selatan Palangkaraya. Bagi orang Madura, pembalasan yang pas adalah pada Sabtu, 17 Februari malam. Saat itu, banyak orang Dayak panik dan lari ke Palangkaraya, Banjarmasin atau ke pedalaman. Terbetik berita, enam orang tewas tak lama serbuan dilancarkan. Orang Madura pun menguasai Sampit sampai Senin. Pada Selasa dan Rabu pagi, mereka masih menyerang sambil meletakkan bom di beberapa sudut kota.
Aksi balas dendam warga Madura seolah membangunkan macan yang terlelap. Selang beberapa lama, mandau pun terayun. Berduyun-duyun orang Dayak datang dari daerah alur sungai pedalaman Kalteng, daerah Barito, Pangkalan Bun, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Pada Rabu sore, mereka berhasil menguasai Sampit.
Warga Dayak melakukan serangan balasan tanpa pandang bulu. Hati yang panas tak lagi mempunyai mata. Bukan cuma orang Madura yang semula terlibat keributan yang menjadi korban. Tapi, siapa pun orang Madura yang ditemui, dibabat. Rumah-rumah Madura, dari Sampit sampai Palangkaraya, dihancurkan dan dibakar. Desas-desus yang beredar, dari aksi ini warga Dayak berhasil mengumpulkan 700 kepala manusia sampai Sabtu, 24 Februari. Diperkirakan, hingga kini, jumlah korban sudah mencapai ribuan jiwa.
Entah cerita mana yang benar, satu hal pasti, bendera perang telah berkibar. Buntutnya, ribuan warga Madura terpaksa hengkang ke hutan dan pedalaman. Dari pemantauan SCTV, hingga kini, mereka masih tak berani keluar. Amat mungkin mereka terancam kelaparan, mengingat saat kabur, mereka tak membawa bekal makanan yang cukup.
SCTV memperoleh cerita memilukan. Ada pasangan suami istri yang harus berpisah lantaran keduanya berlainan etnis. Sang istri Madura dan suami Dayak. Tak lama setelah pertikaian pecah, si istri turut mengungsi ke Madura. Alih-alih nyaman di kampung sendiri, kehadirannya malah ditolak lantaran bersuami orang Dayak. Begitu pun ketika ia harus mengikuti si suami, masyarakat Dayak sulit menerima. Kini, ibu muda yang tengah hamil tua itu terpaksa diungsikan ke Banjar. Sedangkan suami tetap di kampungnya. Entah sampai kapan mereka harus berpisah.
Aparat keamanan tak mampu berbuat lebih jauh. Mereka sibuk mengurus pengungsi. Sedikitnya, 33 ribu orang berlindung di tempat-tempat penampungan dan lebih dari 23.800 warga pendatang diungsikan keluar Kalimantan. Secara bergiliran mereka dievakuasi, melalui kapal-kapal milik Tentara Nasional Indonesia. Sempat terjadi adegan konyol di tengah pengevakuasian pengungsi ini, ketika anggota TNI terlibat baku tembak dengan anggota Brigade Mobil Polri.
Ritual Memenggal Kepala
Permusuhan antara Dayak dan Madura begitu mengerikan. Sebab, muncul nilai-nilai yang berhubungan dengan ritual warga Dayak, yakni memenggal kepala (mengayau). Menebas kepala lawan memang sudah menjadi ritual yang harus dijalankan pemuda Dayak sebelum memasuki akil-balik. Bahkan, bila mereka juga memakan hati musuh, itulah kepercayaan bahwa hanya dengan cara demikian roh korban tak akan mengganggu seumur hidup.
Dayak memang menggenggam tradisi unik. Sebelum membunuh lawan, mereka melakukan sejenis upacara sebagai persiapan perang. Konon, setelah menemukan sasaran yang diincar, orang Dayak tak melihat musuh sebagai manusia utuh. Tapi, seolah-olah, mereka tengah berhadapan dengan manusia berkepala sapi. Maka, ketika mandau digunakan untuk mengayau, orang Dayak merasa sedang memenggal kepala hewan ternak. Dahsyatnya, sekali tebas, kepala korban langsung lepas dari badan.
Kabarnya, kepala-kepala itu akan ditunjukkan kepada pimpinan mereka begitu tiwah --bagian dari rangkaian upacara penguburan masyarakat Dayak Ngaju-- digelar. Mereka meyakini, semua arwah akan masuk sorga bila telah dilakukan tiwah. Inilah puncak ritual untuk mengantar arwah si mati masuk ke dalam alam kekal yang serba indah, yang tak mengalami kekurangan apapun (lewu tatau hapasir intan habusung bulau).
Itu sebabnya, agak sulit mengatakan bahwa memenggal kepala bagi orang Dayak adalah kesadisan atau kekejaman yang sudah menjadi watak. Ini adat yang terpendam lama dan sewaktu-waktu bisa muncul. Jangan heran kebiasaan tersebut terjadi di Tragedi Sampit, pertikaian kesepuluh yang pecah di Kalimantan sejak 1950.
Banyak kalangan heran, begitu mudah orang Madura dan warga asli di Kalimantan terlibat konflik. Dalam disertasinya bertajuk Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan Barat, almarhum Profesor Hendro Suroyo Sudagung mengungkapkan, pertikaian yang sering terjadi antara Madura dan Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan.
Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Misalnya, adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun pergi, membuat orang Dayak melihat sang "tamu"-nya selalu siap berkelahi. Sebab, bagi orang Dayak, membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang atau berburu. Tatkala di antara mereka terlibat keributan --dari soal salah menyabit rumput sampai kasus tanah-- amat mungkin persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, melahirkan manusia-manusia tak bernyawa tanpa kepala.(RSB/Rossiana Silalahi)
Bocah malang itu tak sendirian. Ia adalah satu di antara ratusan jiwa yang tewas dengan cara mengenaskan, sejak pertikaian antara dua etnis yang kerap berseteru, Madura dan Dayak, meruyak Sampit, Kalimantan Tengah, dua pekan silam. Di Ibu Kota Kabupaten Kotawaringin Timur itu, cukup mudah menemukan mayat-mayat tanpa kepala. Tak berlebihan bila ada yang melukiskan, kaki bisa tersandung mayat saat menyusuri ruas jalan di Sampit akhir-akhir ini. Sebab, jenazah korban pembantaian memang berserakan nyaris di setiap sudut kota, terutama di lokasi kediaman etnis Madura.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat, korban jatuh mencapai sekitar 400 jiwa. Sedangkan menurut data kepolisian, 319 lebih rumah dibakar dan sekitar 197 lainnya dirusak. Aksi pembasmian etnis ini dibenarkan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Polisi Didi Widayadi, dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, pekan terakhir Februari silam.
Banyak cerita yang mengisahkan penyebab Sampit terkoyak. Terbetik berita, pertikaian itu bermula dari pembunuhan yang dilakukan sejumlah orang Madura terhadap seorang ibu warga Dayak yang sedang hamil tua. Para pembunuh bertindak sadis. Mereka menyayat perut korban, mengeluarkan bayi dari kandungan, dan membakarnya.
Kisah lain, perseteruan terjadi setelah sekelompok warga Dayak menyerang Keluarga Matayo, pendatang Madura di wilayah Kecamatan Baamang. Pengeroyokan itu menewaskan empat orang dan melukai seorang lainnya. Mengetahui ini, emosi warga Madura terbakar. Mereka pun berbondong-bondong menyerbu rumah yang diduga sebagai tempat pelarian para pembunuh keluarga Matayo. Tanpa pikir panjang, mereka membakar belasan rumah milik warga Dayak di sekitar lokasi. Aksi ini disusul serangan balasan oleh orang Dayak.
Versi lain, pertempuran dipicu dendam orang Madura atas kerusuhan Desember tahun silam, di daerah Kerengpangi, Kabupaten Kotawaringin Timur, 100 kilometer arah selatan Palangkaraya. Bagi orang Madura, pembalasan yang pas adalah pada Sabtu, 17 Februari malam. Saat itu, banyak orang Dayak panik dan lari ke Palangkaraya, Banjarmasin atau ke pedalaman. Terbetik berita, enam orang tewas tak lama serbuan dilancarkan. Orang Madura pun menguasai Sampit sampai Senin. Pada Selasa dan Rabu pagi, mereka masih menyerang sambil meletakkan bom di beberapa sudut kota.
Aksi balas dendam warga Madura seolah membangunkan macan yang terlelap. Selang beberapa lama, mandau pun terayun. Berduyun-duyun orang Dayak datang dari daerah alur sungai pedalaman Kalteng, daerah Barito, Pangkalan Bun, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Pada Rabu sore, mereka berhasil menguasai Sampit.
Warga Dayak melakukan serangan balasan tanpa pandang bulu. Hati yang panas tak lagi mempunyai mata. Bukan cuma orang Madura yang semula terlibat keributan yang menjadi korban. Tapi, siapa pun orang Madura yang ditemui, dibabat. Rumah-rumah Madura, dari Sampit sampai Palangkaraya, dihancurkan dan dibakar. Desas-desus yang beredar, dari aksi ini warga Dayak berhasil mengumpulkan 700 kepala manusia sampai Sabtu, 24 Februari. Diperkirakan, hingga kini, jumlah korban sudah mencapai ribuan jiwa.
Entah cerita mana yang benar, satu hal pasti, bendera perang telah berkibar. Buntutnya, ribuan warga Madura terpaksa hengkang ke hutan dan pedalaman. Dari pemantauan SCTV, hingga kini, mereka masih tak berani keluar. Amat mungkin mereka terancam kelaparan, mengingat saat kabur, mereka tak membawa bekal makanan yang cukup.
SCTV memperoleh cerita memilukan. Ada pasangan suami istri yang harus berpisah lantaran keduanya berlainan etnis. Sang istri Madura dan suami Dayak. Tak lama setelah pertikaian pecah, si istri turut mengungsi ke Madura. Alih-alih nyaman di kampung sendiri, kehadirannya malah ditolak lantaran bersuami orang Dayak. Begitu pun ketika ia harus mengikuti si suami, masyarakat Dayak sulit menerima. Kini, ibu muda yang tengah hamil tua itu terpaksa diungsikan ke Banjar. Sedangkan suami tetap di kampungnya. Entah sampai kapan mereka harus berpisah.
Aparat keamanan tak mampu berbuat lebih jauh. Mereka sibuk mengurus pengungsi. Sedikitnya, 33 ribu orang berlindung di tempat-tempat penampungan dan lebih dari 23.800 warga pendatang diungsikan keluar Kalimantan. Secara bergiliran mereka dievakuasi, melalui kapal-kapal milik Tentara Nasional Indonesia. Sempat terjadi adegan konyol di tengah pengevakuasian pengungsi ini, ketika anggota TNI terlibat baku tembak dengan anggota Brigade Mobil Polri.
Ritual Memenggal Kepala
Permusuhan antara Dayak dan Madura begitu mengerikan. Sebab, muncul nilai-nilai yang berhubungan dengan ritual warga Dayak, yakni memenggal kepala (mengayau). Menebas kepala lawan memang sudah menjadi ritual yang harus dijalankan pemuda Dayak sebelum memasuki akil-balik. Bahkan, bila mereka juga memakan hati musuh, itulah kepercayaan bahwa hanya dengan cara demikian roh korban tak akan mengganggu seumur hidup.
Dayak memang menggenggam tradisi unik. Sebelum membunuh lawan, mereka melakukan sejenis upacara sebagai persiapan perang. Konon, setelah menemukan sasaran yang diincar, orang Dayak tak melihat musuh sebagai manusia utuh. Tapi, seolah-olah, mereka tengah berhadapan dengan manusia berkepala sapi. Maka, ketika mandau digunakan untuk mengayau, orang Dayak merasa sedang memenggal kepala hewan ternak. Dahsyatnya, sekali tebas, kepala korban langsung lepas dari badan.
Kabarnya, kepala-kepala itu akan ditunjukkan kepada pimpinan mereka begitu tiwah --bagian dari rangkaian upacara penguburan masyarakat Dayak Ngaju-- digelar. Mereka meyakini, semua arwah akan masuk sorga bila telah dilakukan tiwah. Inilah puncak ritual untuk mengantar arwah si mati masuk ke dalam alam kekal yang serba indah, yang tak mengalami kekurangan apapun (lewu tatau hapasir intan habusung bulau).
Itu sebabnya, agak sulit mengatakan bahwa memenggal kepala bagi orang Dayak adalah kesadisan atau kekejaman yang sudah menjadi watak. Ini adat yang terpendam lama dan sewaktu-waktu bisa muncul. Jangan heran kebiasaan tersebut terjadi di Tragedi Sampit, pertikaian kesepuluh yang pecah di Kalimantan sejak 1950.
Banyak kalangan heran, begitu mudah orang Madura dan warga asli di Kalimantan terlibat konflik. Dalam disertasinya bertajuk Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan Barat, almarhum Profesor Hendro Suroyo Sudagung mengungkapkan, pertikaian yang sering terjadi antara Madura dan Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan.
Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Misalnya, adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun pergi, membuat orang Dayak melihat sang "tamu"-nya selalu siap berkelahi. Sebab, bagi orang Dayak, membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang atau berburu. Tatkala di antara mereka terlibat keributan --dari soal salah menyabit rumput sampai kasus tanah-- amat mungkin persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, melahirkan manusia-manusia tak bernyawa tanpa kepala.(RSB/Rossiana Silalahi)