Liputan6.com, Banda Aceh: Korban gempa bumi dan gelombang Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam sangat membutuhkan pasokan air bersih. Saat ini, sejumlah sungai tercemar sampah yang menyatu dengan puing-puing dan mayat. Antrean panjang kerap terlihat di sejumlah tempat penyaluran bantuan air bersih. Demikian hasil laporan reporter SCTV Rosianna Silalahi di Banda Aceh, NAD, Senin (3/1).
Antrean panjang warga yang mengharapkan air bersih tak hanya pengungsi yang kehilangan tempat tinggal. Penduduk yang masih memiliki rumah pun ikut mengantre. Mereka khawatir dengan kondisi air perusahaan air minum yang mulai berbau amis akibat tercemar mayat dan sampah. Sejauh ini, tempat yang menyediakan air bersih di antaranya berasal dari pos yang didirikan negara-negara sahabat. Relawan dari mancanegara juga mengolah air dari PDAM agar bisa langsung diminum.
Selain masalah air bersih, sejumlah kawasan di Aceh sulit mendapatkan pasokan makanan. Di antaranya kawasan Lhok Ngah, Kabupaten Aceh Jaya. Bantuan bagi warga di kawasan yang sebelumnya dikenal sebagai obyek wisata ini hanya bisa diturunkan oleh helikopter. Sementara jalur darat terputus. Dahsyatnya bencana yang melanda kawasan tersebut terlihat dari jumlah korban selamat yang ditemukan hanya 200 orang dari sekitar 8.000 penduduk Lhok Ngah [baca: Keindahan Lhok Ngah Pudar].
Sejauh ini, korban luka masih dirawat di sejumlah rumah sakit. Di antaranya adalah RS Kesehatan Kodam Iskandar Muda, Banda Aceh, yang merawat sekitar 500 orang dengan fasilitas darurat. Ruangan antara pasien anak-anak dan dewasa tak dipisahkan karena tempat terbatas. Sementara satu pasien ditangani sejumlah dokter sehingga mendapat perawatan berbeda. Mereka dirawat sedikitnya 100 hingga 150 dokter yang berasal dari Malaysia, Singapura, Prancis, termasuk dari Indonesia.
Keluarga pasien berharap anggota keluarga mereka bisa dievakuasi ke Jakarta atau Medan, Sumatra Utara. Selain masalah di atas, yang menjadi pertimbangan keluarga kekurangtelitian tenaga medis. Menurut mereka, paramedis hanya memperhatikan korban yang mengalami luka luar. Padahal, tak sedikit pasien patah tulang yang belum tertangani. Keluarga korban juga mengalami tekanan mental karena banyak pasien yang mengalami gangguan psikologis disatukan dengan pasien lain.
Kondisi Aceh pada hari ke-8 pascamusibah masih semrawut. Masih banyak warga yang tak mengetahui rimba sanak keluarganya. Mereka yang tinggal di penampungan biasanya mencari famili pada siang hari dan baru kembali ke lokasi pengungsian saat makan malam. Selain itu, penduduk yang berada di lokasi penampungan di Lambaro mencari keluarga mereka yang selamat dengan cara mengumumkan lewat pengeras suara. Dengan kata lain, cara ini mirip mencari anak hilang di mal. Mereka juga menempelkan daftar nama dan foto saudara yang mereka cari. Cara ini terbilang efektif karena banyak keluarga yang bisa kembali berkumpul.
Cara lain yang mereka tempuh agar bisa kembali berkumpul dengan keluarga adalah menempati tenda-tenda yang dikelompokkan berdasarkan daerah asal. Pasalnya, yang mencari mereka juga bukan hanya keluarga yang tinggal di tempat pengungsian, juga keluarga yang ada di Jambi, Jakarta, Cilegon (Banten), dan daerah lain di luar Aceh.(YAN/Tim Liputan 6 SCTV)
Antrean panjang warga yang mengharapkan air bersih tak hanya pengungsi yang kehilangan tempat tinggal. Penduduk yang masih memiliki rumah pun ikut mengantre. Mereka khawatir dengan kondisi air perusahaan air minum yang mulai berbau amis akibat tercemar mayat dan sampah. Sejauh ini, tempat yang menyediakan air bersih di antaranya berasal dari pos yang didirikan negara-negara sahabat. Relawan dari mancanegara juga mengolah air dari PDAM agar bisa langsung diminum.
Selain masalah air bersih, sejumlah kawasan di Aceh sulit mendapatkan pasokan makanan. Di antaranya kawasan Lhok Ngah, Kabupaten Aceh Jaya. Bantuan bagi warga di kawasan yang sebelumnya dikenal sebagai obyek wisata ini hanya bisa diturunkan oleh helikopter. Sementara jalur darat terputus. Dahsyatnya bencana yang melanda kawasan tersebut terlihat dari jumlah korban selamat yang ditemukan hanya 200 orang dari sekitar 8.000 penduduk Lhok Ngah [baca: Keindahan Lhok Ngah Pudar].
Sejauh ini, korban luka masih dirawat di sejumlah rumah sakit. Di antaranya adalah RS Kesehatan Kodam Iskandar Muda, Banda Aceh, yang merawat sekitar 500 orang dengan fasilitas darurat. Ruangan antara pasien anak-anak dan dewasa tak dipisahkan karena tempat terbatas. Sementara satu pasien ditangani sejumlah dokter sehingga mendapat perawatan berbeda. Mereka dirawat sedikitnya 100 hingga 150 dokter yang berasal dari Malaysia, Singapura, Prancis, termasuk dari Indonesia.
Keluarga pasien berharap anggota keluarga mereka bisa dievakuasi ke Jakarta atau Medan, Sumatra Utara. Selain masalah di atas, yang menjadi pertimbangan keluarga kekurangtelitian tenaga medis. Menurut mereka, paramedis hanya memperhatikan korban yang mengalami luka luar. Padahal, tak sedikit pasien patah tulang yang belum tertangani. Keluarga korban juga mengalami tekanan mental karena banyak pasien yang mengalami gangguan psikologis disatukan dengan pasien lain.
Kondisi Aceh pada hari ke-8 pascamusibah masih semrawut. Masih banyak warga yang tak mengetahui rimba sanak keluarganya. Mereka yang tinggal di penampungan biasanya mencari famili pada siang hari dan baru kembali ke lokasi pengungsian saat makan malam. Selain itu, penduduk yang berada di lokasi penampungan di Lambaro mencari keluarga mereka yang selamat dengan cara mengumumkan lewat pengeras suara. Dengan kata lain, cara ini mirip mencari anak hilang di mal. Mereka juga menempelkan daftar nama dan foto saudara yang mereka cari. Cara ini terbilang efektif karena banyak keluarga yang bisa kembali berkumpul.
Cara lain yang mereka tempuh agar bisa kembali berkumpul dengan keluarga adalah menempati tenda-tenda yang dikelompokkan berdasarkan daerah asal. Pasalnya, yang mencari mereka juga bukan hanya keluarga yang tinggal di tempat pengungsian, juga keluarga yang ada di Jambi, Jakarta, Cilegon (Banten), dan daerah lain di luar Aceh.(YAN/Tim Liputan 6 SCTV)