Liputan6.com, Jakarta: Maman Cakram hanya bisa pasrah. Ia telah mengikhlaskan kepergian anaknya, Imran Ray SH, 26 tahun, yang dibunuh awal September 2003. Kini, di rumahnya di Kompleks Imigrasi, Tanah Tinggi, Tangerang, Banten, Maman yang hanya tinggal berdua dengan istrinya, menunggu proses hukum kasus ini yang tengah berjalan. Jumat (7/1), sidang kasus ini dengan terdakwa Dwi Arijanto digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Sidang kali ini bermaterikan pembacaan tuntutan yang dilakukan jaksa Robert Simbolon. Terdakwa dinyatakan terbukti dan meyakinkan telah menyuruh terdakwa lain, Yusuf Buka, untuk membunuh Imran. Dwi Arijanto juga dituntut atas kepemilikan senjata api tanpa izin yang ditemukan di rumahnya. Atas perbuatan itu, Dwi dituntut hukuman 12 tahun penjara.
Menurut Robert, Dwi kecewa kepada Imran yang telah ingkar janji. Ia telah menyerahkan uang sebanyak Rp 650 juta kepada Imran untuk mengurus kepindahannya dari Kantor Pajak Surabaya, Jawa Timur, ke Jakarta. Namun karena mutasi yang diinginkan terdakwa belum juga terwujud akhirnya terdakwa sempat menyampaikan niatnya untuk membunuh Imran kepada Yusuf Buka.
Selain Dwi, tiga terdakwa lain yang juga terlibat telah disidangkan di tempat lain. Yonatan Womsiwor yang disebut sebagai pemilik pisau telah divonis penjara. Sedangkan dua terdakwa lain, Yusuf Buka dan Suseno Suradi disidangkan di Mahkamah Militer.
Semua dakwaan jaksa tentang dirinya dibantah Dwi Arijanto. Menurut dia, semua itu hanya fitnah yang ditujukan kepadanya. Muhammad Solihin, pengacara Dwi Arijanto juga berpendapat, dakwaan jaksa tidak tepat. Keterangan saksi yang digunakan adalah keterangan yang diambil dari berkas acara pemeriksaan (BAP) di kepolisian. BAP itu telah disangkal para saksi di persidangan.
Ellya Jauhar yang didakwa sebagai eksekutor pembunuhan Imran Ray juga disidang di PN Jaktim. Dalam sidang yang dipimpin John Pitter, Senin kemarin, Ellya dinyatakan bersalah dalam kasus pembunuhan Imran. Ia divonis 10 tahun penjara. Walaupun palu hakim telah diketuk, Ellya tetap merasa dirinya tak bersalah. Ia hanya mengakui dirinya bersama korban, Yusuf Buka, dan Suseno Suradi memang pernah pergi ke Diskotek Hailai, Ancol, Jakarta Utara, untuk karaoke.
Menanggapi sangkalan terdakwa Dwi Arijanto dan terpidana Ellya Djauhar, jaksa penuntut umum Trimo SH menyatakan tuntutan telah sesuai dengan keterangan saksi-saksi. Dalam tuntutan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa Dwi Arijanto disebutkan bahwa terdakwa menyampaikan niatnya untuk membunuh Imran kepada Yusuf Buka, seorang anggota TNI. Selanjutnya, Yusuf yang tak lain adalah pengawal terdakwa menemui Ellya Jauhar, mantan anggota TNI. Ia meminta Ellya membunuh Imran. Ellya setuju dengan imbalan Rp 300 juta.
Ellya bersama Suseno Suradi mengajak Imran berkaraoke di Hailai, Ancol. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, mereka bertiga minum-minum sambil berkaraoke. Di tengah-tengah suasana suka, Ellya menghubungi Yusuf Buka melalui telepon untuk memastikan apakah benar orang yang saat itu bersamanya adalah Imran. Yusuf datang. Ia ikut bergabung sebentar. Setelah memastikan korban adalah Imran, Yusuf pulang. Ia meninggalkan Ellya, Suseno, dan Imran.
Selesai berkaraoke, Ellya, Suseno, dan Imran pulang. Ellya dan Suseno menumpang mobil milik Imran. Ellya duduk di depan tepat di samping Imran yang menyetir. Sedangkan Suseno duduk di belakang. Di tengah jalan, tepatnya di daerah Pondok Kelapa, Ellya memberikan kode pada Suseno untuk mengeluarkan sapu tangan yang telah disiapkan untuk menjerat korban.
Eksekusi pun dilakukan. Saat Suseno menjerat leher korban, Ellya menusukkan pisau yang telah disiapkannya ke dada korban. Ia kemudian mengakhirinya dengan tusukan mematikan di leher korban. Setelah Imran tewas, Ellya dan Suseno kabur. Mayat Imran dibiarkan tergeletak di dalam mobil.
Pagi hari, 3 September 2003, warga Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, dikagetkan dengan penemuan mayat laki-laki di samping mobil Toyota Kijang bernomor polisi B 1908 QR. Warga tak ada yang mengetahui siapa sebenarnya mayat laki-laki tersebut. Titik terang muncul setelah di dalam mobilnya ditemukan sebuah kartu nama. Di dalam kartu nama tertulis nama Imran Ray SH, seorang yang berprofesi sebagai pengacara. Ternyata benar, mayat laki-laki yang ditemukan dengan tubuh penuh luka tusuk itu adalah Imran Ray.
Saat itu belum diketahui penyebab mengapa Imran dibunuh dengan cara yang begitu sadis. Satu-satunya petunjuk yang didapatkan personel Kepolisian Sektor Metro Duren Sawit hanya tas milik korban yang berisi berkas-berkas perkara yang ditanganinya dan sebilah pisau yang ditemukan di dalam mobil.
Warga yang pertama kali melihat korban mengatakan bahwa saat itu kemungkinan kejadian pembunuhan itu belum terlalu lama terjadi. Pada saat warga datang, mesin mobil masih dalam keadaan panas. Mayat korban yang akhirnya bisa dikenali langsung dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk diotopsi.
Maman Cakram, ayah korban yang saat itu langsung datang ke rumah sakit tak dapat menduga masalah apa yang dihadapi anaknya hingga harus menemui ajal dengan cara yang mengenaskan. Walaupun berusaha untuk tetap tegar, air matanya tak kuasa ditahan. Kini, ia tengah menunggu sidang putusan dengan terdakwa Dwi Arijanto yang akan berlangsung di PN Jaktim, 12 Januari 2005.(AWD/Tim Derap Hukum SCTV)
Sidang kali ini bermaterikan pembacaan tuntutan yang dilakukan jaksa Robert Simbolon. Terdakwa dinyatakan terbukti dan meyakinkan telah menyuruh terdakwa lain, Yusuf Buka, untuk membunuh Imran. Dwi Arijanto juga dituntut atas kepemilikan senjata api tanpa izin yang ditemukan di rumahnya. Atas perbuatan itu, Dwi dituntut hukuman 12 tahun penjara.
Menurut Robert, Dwi kecewa kepada Imran yang telah ingkar janji. Ia telah menyerahkan uang sebanyak Rp 650 juta kepada Imran untuk mengurus kepindahannya dari Kantor Pajak Surabaya, Jawa Timur, ke Jakarta. Namun karena mutasi yang diinginkan terdakwa belum juga terwujud akhirnya terdakwa sempat menyampaikan niatnya untuk membunuh Imran kepada Yusuf Buka.
Selain Dwi, tiga terdakwa lain yang juga terlibat telah disidangkan di tempat lain. Yonatan Womsiwor yang disebut sebagai pemilik pisau telah divonis penjara. Sedangkan dua terdakwa lain, Yusuf Buka dan Suseno Suradi disidangkan di Mahkamah Militer.
Semua dakwaan jaksa tentang dirinya dibantah Dwi Arijanto. Menurut dia, semua itu hanya fitnah yang ditujukan kepadanya. Muhammad Solihin, pengacara Dwi Arijanto juga berpendapat, dakwaan jaksa tidak tepat. Keterangan saksi yang digunakan adalah keterangan yang diambil dari berkas acara pemeriksaan (BAP) di kepolisian. BAP itu telah disangkal para saksi di persidangan.
Ellya Jauhar yang didakwa sebagai eksekutor pembunuhan Imran Ray juga disidang di PN Jaktim. Dalam sidang yang dipimpin John Pitter, Senin kemarin, Ellya dinyatakan bersalah dalam kasus pembunuhan Imran. Ia divonis 10 tahun penjara. Walaupun palu hakim telah diketuk, Ellya tetap merasa dirinya tak bersalah. Ia hanya mengakui dirinya bersama korban, Yusuf Buka, dan Suseno Suradi memang pernah pergi ke Diskotek Hailai, Ancol, Jakarta Utara, untuk karaoke.
Menanggapi sangkalan terdakwa Dwi Arijanto dan terpidana Ellya Djauhar, jaksa penuntut umum Trimo SH menyatakan tuntutan telah sesuai dengan keterangan saksi-saksi. Dalam tuntutan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa Dwi Arijanto disebutkan bahwa terdakwa menyampaikan niatnya untuk membunuh Imran kepada Yusuf Buka, seorang anggota TNI. Selanjutnya, Yusuf yang tak lain adalah pengawal terdakwa menemui Ellya Jauhar, mantan anggota TNI. Ia meminta Ellya membunuh Imran. Ellya setuju dengan imbalan Rp 300 juta.
Ellya bersama Suseno Suradi mengajak Imran berkaraoke di Hailai, Ancol. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, mereka bertiga minum-minum sambil berkaraoke. Di tengah-tengah suasana suka, Ellya menghubungi Yusuf Buka melalui telepon untuk memastikan apakah benar orang yang saat itu bersamanya adalah Imran. Yusuf datang. Ia ikut bergabung sebentar. Setelah memastikan korban adalah Imran, Yusuf pulang. Ia meninggalkan Ellya, Suseno, dan Imran.
Selesai berkaraoke, Ellya, Suseno, dan Imran pulang. Ellya dan Suseno menumpang mobil milik Imran. Ellya duduk di depan tepat di samping Imran yang menyetir. Sedangkan Suseno duduk di belakang. Di tengah jalan, tepatnya di daerah Pondok Kelapa, Ellya memberikan kode pada Suseno untuk mengeluarkan sapu tangan yang telah disiapkan untuk menjerat korban.
Eksekusi pun dilakukan. Saat Suseno menjerat leher korban, Ellya menusukkan pisau yang telah disiapkannya ke dada korban. Ia kemudian mengakhirinya dengan tusukan mematikan di leher korban. Setelah Imran tewas, Ellya dan Suseno kabur. Mayat Imran dibiarkan tergeletak di dalam mobil.
Pagi hari, 3 September 2003, warga Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, dikagetkan dengan penemuan mayat laki-laki di samping mobil Toyota Kijang bernomor polisi B 1908 QR. Warga tak ada yang mengetahui siapa sebenarnya mayat laki-laki tersebut. Titik terang muncul setelah di dalam mobilnya ditemukan sebuah kartu nama. Di dalam kartu nama tertulis nama Imran Ray SH, seorang yang berprofesi sebagai pengacara. Ternyata benar, mayat laki-laki yang ditemukan dengan tubuh penuh luka tusuk itu adalah Imran Ray.
Saat itu belum diketahui penyebab mengapa Imran dibunuh dengan cara yang begitu sadis. Satu-satunya petunjuk yang didapatkan personel Kepolisian Sektor Metro Duren Sawit hanya tas milik korban yang berisi berkas-berkas perkara yang ditanganinya dan sebilah pisau yang ditemukan di dalam mobil.
Warga yang pertama kali melihat korban mengatakan bahwa saat itu kemungkinan kejadian pembunuhan itu belum terlalu lama terjadi. Pada saat warga datang, mesin mobil masih dalam keadaan panas. Mayat korban yang akhirnya bisa dikenali langsung dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk diotopsi.
Maman Cakram, ayah korban yang saat itu langsung datang ke rumah sakit tak dapat menduga masalah apa yang dihadapi anaknya hingga harus menemui ajal dengan cara yang mengenaskan. Walaupun berusaha untuk tetap tegar, air matanya tak kuasa ditahan. Kini, ia tengah menunggu sidang putusan dengan terdakwa Dwi Arijanto yang akan berlangsung di PN Jaktim, 12 Januari 2005.(AWD/Tim Derap Hukum SCTV)