Liputan6.com, Banda Aceh: Tsunami menyisakan duka mendalam bagi warga Aceh. Nyawa hilang, harta menjadi tanah, dan kini luka trauma menghadang. Tengok saja, pasien-pasien di Rumah Sakit Tengku Fakinah, Banda Aceh. Banyak di antara mereka yang terlihat melamun dan sulit tidur. Hal ini diakui dokter Yoko Rahmasari yang bertugas di rumah sakit itu, belum lama ini.
Jelas mereka harus segera ditangani. Jika tidak, gangguan jiwa bisa terjadi. Yoko menganjurkan pasien ini harus ditangani dengan mengajak mereka bicara. Pemberian obat juga perlu bila dilakukan. Hal ini pernah diterapkan kepada seorang pasien. Saat ia pertama kali masuk rumah sakit, dokter mengira pasien kekurangan cairan. Belakangan diketahui ia mengalami trauma yang dalam. Tak heran, ia sempat tak mengenal orang yang berada di sekitarnya. Kini kondisinya membaik. Dia mulai dapat berkomunikasi. Kondisi demikian tak akan berlangsung lama jika gempa sedikit saja datang. Pasien akan kembali ketakutan.
Susi, seorang remaja putri juga mengalami guncangan serupa. Kedua orang tua dan adiknya tewas saat Tsunami menggulung rumah mereka di kawasan Kaju, Kota Banda Aceh. Bersama kerabat dan keluarga yang selamat, Susi pindah ke Medan, Sumatra Utara. Tadi pagi ia mulai belajar di Sekolah Menengah Pertama Negeri I Medan. Namun, di kelas, remaja kelas dua SMP ini menangis, sehingga ia sulit menerima pelajaran yang diberikan. Dikhawatirkan, kasus serupa juga dialami banyak anak yang selamat dari Tsunami. Karena itu, diharapkan para pengajar memberikan perhatian khusus kepada mereka.
Lain lagi dengan Lucky Sutanto. Dokter militer dari Batalyon Infanteri 744 ini berhasil sembuh dari luka trauma akibat Tsunami yang melanda Pantai Melahayati, Banda Aceh. Pasien Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, ini mengunakan metode desensitisasi untuk melawan luka trauma. Caranya dengan beraktivitas seperti biasanya. Tayangan televisi yang menayangkan peristiwa nahas itu juga harus ditonton berulang kali. Namun, semua itu harus dilakukan secara bertahap.
Tak sedikit kendala untuk mengobati luka trauma korban Tsunami. Psikiater harus disiapkan untuk mereka. Padahal, tak banyak rumah sakit di Aceh yang memiliki psikiater. Hal itu dialami RSAD Lhokseumawe dan RS Cut Mutia. Di RSAD Lhokseumawe, korban trauma hanya ditangani dokter umum.
Masalah Aceh tak sekadar menangani korban trauma. Penampungan untuk para pengungsi juga harus disiapkan. Tapi tak sedikit yang tak betah tinggal berlama-lama di sana. Rabu ini, 20 anak korban Tsunami meninggalkan penampunga milik Departemen Sosial di Jalan Pancing, Medan. Mereka lebih senang hidup berkumpul dengan keluarga. Padahal, baru dua hari mereka menghuni tempat itu [baca: Puluhan Anak Memasuki Rumah Perlindungan Medan]. Kini, tinggal seorang anak yang tinggal di tempat penampungan itu. Kondisi trauma yang menyebabkan ia tetap tinggal dan mesti dirawat di sana.
Aceh memang harus berbenah dari bencana. Tapi apa daya, nyaris semua infrastruktur rusak. Sedangkan gedung-gedung pemerintahan yang masih utuh, dipergunakan untuk tempat pengungsian korban Tsunami. Hal itulah yang membuat pemerintahan Kota Meulaboh belum berjalan efektif meski Tsunami telah 17 hari berlalu. Hingga kini, Kantor Bupati Meulaboh masih dihuni pengungsi.
Roda kehidupan di kota ini berjalan dengan hanya tetap mengandalkan bantuan yang datang. Pasokan air bersih datang dari TNI dan pihak asing. Bekerja sama dengan Perusahaan Daerah Air Minum setempat, relawan asal Spanyol menyiapkan alat untuk memproses air bersih. Tangki-tangki air yang dibuat khusus didatangkan langsung dari Spanyol. Hasilnya, air yang ditampung di tangki-tangki itu bisa langsung dikonsumsi.
Bantuan ke Kota Meulaboh juga datang dari militer Amerika Serikat. Bantuan berupa beras dan bahan makanan lain diangkut menggunakan hovercraft dari kapal induk AS yang berada di lepas pantai Sumatra. Untuk menurunkan bantuan, mereka dibantu personel TNI dan pasukan militer Singapura.
Aceh tak lagi kekurangan pangan dan sandang. Buktinya, Pemda Aceh Utara terpaksa menyimpan bantuan dari masyarakat berupa pakaian, beras serta mi instan. Alasannya, nyaris semua orang yang membutuhkan telah menerima bantuan.
Berbagai pihak juga terus menyalurkan bantuan ke Aceh. Di antaranya dilakukan Pundi Amal SCTV di Aceh Utara dan Aceh Besar. Di Aceh Besar, bantuan berupa beras, gula dan bahan makanan lain diberikan kepada 500 pengungsi. Sedangkan di Aceh Utara, bantuan berupa sandang, pangan, papan, dan bantuan bersifat pribadi disalurkan.(MAK/Tim Liputan 6 SCTV)
Jelas mereka harus segera ditangani. Jika tidak, gangguan jiwa bisa terjadi. Yoko menganjurkan pasien ini harus ditangani dengan mengajak mereka bicara. Pemberian obat juga perlu bila dilakukan. Hal ini pernah diterapkan kepada seorang pasien. Saat ia pertama kali masuk rumah sakit, dokter mengira pasien kekurangan cairan. Belakangan diketahui ia mengalami trauma yang dalam. Tak heran, ia sempat tak mengenal orang yang berada di sekitarnya. Kini kondisinya membaik. Dia mulai dapat berkomunikasi. Kondisi demikian tak akan berlangsung lama jika gempa sedikit saja datang. Pasien akan kembali ketakutan.
Susi, seorang remaja putri juga mengalami guncangan serupa. Kedua orang tua dan adiknya tewas saat Tsunami menggulung rumah mereka di kawasan Kaju, Kota Banda Aceh. Bersama kerabat dan keluarga yang selamat, Susi pindah ke Medan, Sumatra Utara. Tadi pagi ia mulai belajar di Sekolah Menengah Pertama Negeri I Medan. Namun, di kelas, remaja kelas dua SMP ini menangis, sehingga ia sulit menerima pelajaran yang diberikan. Dikhawatirkan, kasus serupa juga dialami banyak anak yang selamat dari Tsunami. Karena itu, diharapkan para pengajar memberikan perhatian khusus kepada mereka.
Lain lagi dengan Lucky Sutanto. Dokter militer dari Batalyon Infanteri 744 ini berhasil sembuh dari luka trauma akibat Tsunami yang melanda Pantai Melahayati, Banda Aceh. Pasien Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, ini mengunakan metode desensitisasi untuk melawan luka trauma. Caranya dengan beraktivitas seperti biasanya. Tayangan televisi yang menayangkan peristiwa nahas itu juga harus ditonton berulang kali. Namun, semua itu harus dilakukan secara bertahap.
Tak sedikit kendala untuk mengobati luka trauma korban Tsunami. Psikiater harus disiapkan untuk mereka. Padahal, tak banyak rumah sakit di Aceh yang memiliki psikiater. Hal itu dialami RSAD Lhokseumawe dan RS Cut Mutia. Di RSAD Lhokseumawe, korban trauma hanya ditangani dokter umum.
Masalah Aceh tak sekadar menangani korban trauma. Penampungan untuk para pengungsi juga harus disiapkan. Tapi tak sedikit yang tak betah tinggal berlama-lama di sana. Rabu ini, 20 anak korban Tsunami meninggalkan penampunga milik Departemen Sosial di Jalan Pancing, Medan. Mereka lebih senang hidup berkumpul dengan keluarga. Padahal, baru dua hari mereka menghuni tempat itu [baca: Puluhan Anak Memasuki Rumah Perlindungan Medan]. Kini, tinggal seorang anak yang tinggal di tempat penampungan itu. Kondisi trauma yang menyebabkan ia tetap tinggal dan mesti dirawat di sana.
Aceh memang harus berbenah dari bencana. Tapi apa daya, nyaris semua infrastruktur rusak. Sedangkan gedung-gedung pemerintahan yang masih utuh, dipergunakan untuk tempat pengungsian korban Tsunami. Hal itulah yang membuat pemerintahan Kota Meulaboh belum berjalan efektif meski Tsunami telah 17 hari berlalu. Hingga kini, Kantor Bupati Meulaboh masih dihuni pengungsi.
Roda kehidupan di kota ini berjalan dengan hanya tetap mengandalkan bantuan yang datang. Pasokan air bersih datang dari TNI dan pihak asing. Bekerja sama dengan Perusahaan Daerah Air Minum setempat, relawan asal Spanyol menyiapkan alat untuk memproses air bersih. Tangki-tangki air yang dibuat khusus didatangkan langsung dari Spanyol. Hasilnya, air yang ditampung di tangki-tangki itu bisa langsung dikonsumsi.
Bantuan ke Kota Meulaboh juga datang dari militer Amerika Serikat. Bantuan berupa beras dan bahan makanan lain diangkut menggunakan hovercraft dari kapal induk AS yang berada di lepas pantai Sumatra. Untuk menurunkan bantuan, mereka dibantu personel TNI dan pasukan militer Singapura.
Aceh tak lagi kekurangan pangan dan sandang. Buktinya, Pemda Aceh Utara terpaksa menyimpan bantuan dari masyarakat berupa pakaian, beras serta mi instan. Alasannya, nyaris semua orang yang membutuhkan telah menerima bantuan.
Berbagai pihak juga terus menyalurkan bantuan ke Aceh. Di antaranya dilakukan Pundi Amal SCTV di Aceh Utara dan Aceh Besar. Di Aceh Besar, bantuan berupa beras, gula dan bahan makanan lain diberikan kepada 500 pengungsi. Sedangkan di Aceh Utara, bantuan berupa sandang, pangan, papan, dan bantuan bersifat pribadi disalurkan.(MAK/Tim Liputan 6 SCTV)