Liputan6.com, Jakarta: Hingga kini sejarah tentang Surat Perintah Sebelas Maret belum baku. Sebab, banyak versi sejarah yang dipaparkan soal peristiwa yang terjadi pada 1966 itu. Untuk mengetahui masalah tersebut, Bayu Sutiyono mewawancarai sejarahwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Marwan Adam di Studio SCTV Jakarta, Senin (12/3) siang.
Berdasarkan perbandingan dari sejumlah data yang ada, Asvi menyimpulkan sementara, Supersemar adalah proses perebutan kekuasaan oleh Soeharto cs terhadap Presiden Sukarno. Proses pengalihan kekuasaan itu sudah terjadi sejak 10 hingga 11 Maret 1966. Buktinya, Presiden Sukarno membatalkan sidang yang telah dimulai selama 15 menit. Rapat dihentikan karena menerima laporan ada demonstrasi mahasiswa serta pasukan lain yang mengawal Istana Bogor. Atas dasar itu, dia menegaskan ada tekanan psikologis dalam proses pengeluaran Supersemar.
Dia menegaskan, masalah tersebut sangat penting diluruskan. Karena selama ini, para murid dibohongi dengan sejarah yang tidak benar. Sementara itu, Departemen Pendidikan Nasional terkesan tak melakukan upaya konkret untuk membuat buku sejarah Supersemar yang jauh dari unsur rekayasa. Karena itu, dia berharap besar, di kemudian hari, anak-anak bisa mempelajari sejarah Supersemar yang benar.
Senada dengan Asvi, Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa berpendapat pengusutan keberadaan naskah Supersemar dalam rangka pelurusan sejarah menjadi keharusan. Dia menegaskan, saat ini, penelusuran dapat dilakukan selagi masih ada saksi hidup yang dapat dimintai keterangan. Lebih jauh, wakil rakyat dari Fraksi Reformasi itu menilai masalah tersebut masih menyimpan banyak ketidakjelasan. "Kenapa M. Yusuf tak mau membuka secara jelas," kata dia, mempertanyakan. Karena itu, dia mendukung penyingkapan sejarah tersebut.(TNA/Tim Liputan 6 SCTV)
Berdasarkan perbandingan dari sejumlah data yang ada, Asvi menyimpulkan sementara, Supersemar adalah proses perebutan kekuasaan oleh Soeharto cs terhadap Presiden Sukarno. Proses pengalihan kekuasaan itu sudah terjadi sejak 10 hingga 11 Maret 1966. Buktinya, Presiden Sukarno membatalkan sidang yang telah dimulai selama 15 menit. Rapat dihentikan karena menerima laporan ada demonstrasi mahasiswa serta pasukan lain yang mengawal Istana Bogor. Atas dasar itu, dia menegaskan ada tekanan psikologis dalam proses pengeluaran Supersemar.
Dia menegaskan, masalah tersebut sangat penting diluruskan. Karena selama ini, para murid dibohongi dengan sejarah yang tidak benar. Sementara itu, Departemen Pendidikan Nasional terkesan tak melakukan upaya konkret untuk membuat buku sejarah Supersemar yang jauh dari unsur rekayasa. Karena itu, dia berharap besar, di kemudian hari, anak-anak bisa mempelajari sejarah Supersemar yang benar.
Senada dengan Asvi, Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa berpendapat pengusutan keberadaan naskah Supersemar dalam rangka pelurusan sejarah menjadi keharusan. Dia menegaskan, saat ini, penelusuran dapat dilakukan selagi masih ada saksi hidup yang dapat dimintai keterangan. Lebih jauh, wakil rakyat dari Fraksi Reformasi itu menilai masalah tersebut masih menyimpan banyak ketidakjelasan. "Kenapa M. Yusuf tak mau membuka secara jelas," kata dia, mempertanyakan. Karena itu, dia mendukung penyingkapan sejarah tersebut.(TNA/Tim Liputan 6 SCTV)