Liputan6.com, Cimahi: Satu per satu korban tewas dalam longsor sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, ditemukan. Rabu (23/2), korban terakhir yang berhasil diangkat dari gundukan sampah adalah Nyonya Umah atau biasa dipanggil Mak Umah oleh warga setempat. Dia menyusul 25 anggota keluarga lainnya: meninggal tertimbun sampah yang longsor di TPA yang menjadi lokasi sebagian besar warga Desa Cireundeu mencari nafkah.
Evakuasi korban longsor berjalan lamban. Penyebabnya, jalan masuk ke lokasi bencana sempit. Untuk menuju tempat musibah yang membenamkan ratusan korban itu hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau sepeda motor. Jarak dari TPA Leuwigajah ke gerbang desa kira-kira lima kilometer dan menanjak. Banyaknya warga dari desa tetangga yang hendak menonton juga membuat evakuasi korban semakin sulit. Polisi kewalahan mengimbau mereka keluar dari lokasi musibah [baca: Korban Longsor di Cimahi Mencapai 136 Orang].
Berdasarkan pemantauan SCTV, regu penyelamat menurunkan empat ekskavator. Puluhan relawan turut diterjunkan. Mobil ambulans masih hilir mudik mengangkut korban. Mereka bekerja dari pagi hingga malam untuk mencari sekitar 112 orang yang diperkirakan masih terbenam. Sebagian korban selamat berusaha mengumpulkan harta benda yang masih tersisa [baca: Pengelolaan TPA Leuwigajah Kurang Koordinasi].
Kesibukan tak jauh berbeda juga terlihat di pos koordinasi penanggulangan bencana di sekitar Desa Cireundeu. Mereka terlihat bekerja hampir 24 jam untuk mengurus bantuan. Petugas pos koordinasi mengeluhkan distribusi bantuan yang terhambat karena sempitnya jalan. Posko ini juga berfungsi sebagai tempat pertama untuk menangani korban yang ditemukan sebelum dipindah ke rumah sakit terdekat.
Kondisi pengungsi yang ditampung di sekolah sekitar Desa Cireundeu juga tak lebih baik [baca: Korban Longsor TPA Leuwigajah Bertahan di Pengungsian]. Engkos, satu di antara 315 korban selamat, mengeluhkan distribusi bantuan yang telat. Menurut pria berkumis itu, pengungsi membutuhkan selimut atau sarung karena pada malam hari, warga kedinginan. "Kalau bisa, sarung sama tikar," kata Engkos.
Engkos menambahkan, sebelum musibah ini terjadi, warga setempat telah meminta TPA Leuwigajah ditutup. Pasalnya, volume sampah yang mencapai dua juta meter kubik saat kejadian, memang rawan longsor. Bukit sampah sudah menutup 25 hektare lahan dengan ketinggian sekitar 22 meter. Itu tak termasuk kerugian kesehatan akibat bau yang menyengat. Karena itulah Engkos berpikir dua kali untuk kembali membangun rumah di sekitar TPA Leuwigajah. "Takutnya lagi enak-enak tidur, ada hujan besar," kata Engkos tersenyum kecut.(YAN/Bayu Sutiyono dan Bahrudin Tarim)
Evakuasi korban longsor berjalan lamban. Penyebabnya, jalan masuk ke lokasi bencana sempit. Untuk menuju tempat musibah yang membenamkan ratusan korban itu hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau sepeda motor. Jarak dari TPA Leuwigajah ke gerbang desa kira-kira lima kilometer dan menanjak. Banyaknya warga dari desa tetangga yang hendak menonton juga membuat evakuasi korban semakin sulit. Polisi kewalahan mengimbau mereka keluar dari lokasi musibah [baca: Korban Longsor di Cimahi Mencapai 136 Orang].
Berdasarkan pemantauan SCTV, regu penyelamat menurunkan empat ekskavator. Puluhan relawan turut diterjunkan. Mobil ambulans masih hilir mudik mengangkut korban. Mereka bekerja dari pagi hingga malam untuk mencari sekitar 112 orang yang diperkirakan masih terbenam. Sebagian korban selamat berusaha mengumpulkan harta benda yang masih tersisa [baca: Pengelolaan TPA Leuwigajah Kurang Koordinasi].
Kesibukan tak jauh berbeda juga terlihat di pos koordinasi penanggulangan bencana di sekitar Desa Cireundeu. Mereka terlihat bekerja hampir 24 jam untuk mengurus bantuan. Petugas pos koordinasi mengeluhkan distribusi bantuan yang terhambat karena sempitnya jalan. Posko ini juga berfungsi sebagai tempat pertama untuk menangani korban yang ditemukan sebelum dipindah ke rumah sakit terdekat.
Kondisi pengungsi yang ditampung di sekolah sekitar Desa Cireundeu juga tak lebih baik [baca: Korban Longsor TPA Leuwigajah Bertahan di Pengungsian]. Engkos, satu di antara 315 korban selamat, mengeluhkan distribusi bantuan yang telat. Menurut pria berkumis itu, pengungsi membutuhkan selimut atau sarung karena pada malam hari, warga kedinginan. "Kalau bisa, sarung sama tikar," kata Engkos.
Engkos menambahkan, sebelum musibah ini terjadi, warga setempat telah meminta TPA Leuwigajah ditutup. Pasalnya, volume sampah yang mencapai dua juta meter kubik saat kejadian, memang rawan longsor. Bukit sampah sudah menutup 25 hektare lahan dengan ketinggian sekitar 22 meter. Itu tak termasuk kerugian kesehatan akibat bau yang menyengat. Karena itulah Engkos berpikir dua kali untuk kembali membangun rumah di sekitar TPA Leuwigajah. "Takutnya lagi enak-enak tidur, ada hujan besar," kata Engkos tersenyum kecut.(YAN/Bayu Sutiyono dan Bahrudin Tarim)