Liputan6.com, Subang: Sengketa Ambalat sebaiknya diselesaikan melalui jalur diplomatik. Penyelesaian dengan cara frontal melalui peperangan dinilai bukan jurus tepat. "Saya kira tak perlu sampai perang, kita harus lakukan dialog dengan hati sejuk dan tenang agar Ambalat tetap menjadi bagian Indonesia," kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Ermaya Suradinata di Subang, Jawa Barat, baru-baru ini.
Menurut Ermaya, pihaknya sedang memetakan kasus pendudukan Malaysia terhadap perairan Ambalat. Pemetaan itu dinilai penting untuk menentukan langkah strategis pemerintah dalam menyelesaikan kasus tersebut. Ermaya menambahkan, Malaysia telah salah menafsirkan wilayah Ambalat sebagai bagian daerah mereka [baca: KSAL: Malaysia Melanggar Batas].
Sementara pengamat hukum penerbangan, Martono mengatakan, pemerintah seharusnya mendaftarkan Undang-undang Nomor 6/1996 tentang perairan Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pasalnya dengan pendaftaran ini secara hukum laut internasional di perairan Ambalat akan diakui sebagai milik Indonesia. Martono juga meminta pemerintah merubah UU tentang perairan Indonesia menyusul masuknya wilayah Ligitan-Sipadan ke Malaysia.
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 4/1960 mengenai perairan Indonesia baru didaftarkan ke PBB pada 1989. Namun, Perpu itu tak menyebutkan Ambalat sebagai wilayah teritorial Indonesia. Sementara UU Nomor 6/1996 tentang perairan Indonesia termasuk Ambalat belum didaftarkan ke PBB hingga kini. Padahal UU itu sangat penting untuk melegitimasi wilayah teritorial Indonesia.
Berdasarkan konvensi internasional, batas wilayah udara negara mengacu pada batas perairan. Semua batas ini berdasarkan pada hukum laut internasional. Salah satunya UNCLOS United Nation Convention On the Law of the Sea yang dikeluarkan PBB pada 1982 tentang negara kepulauan dan diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 17 tahun 1985. Ratifikasi ini memperkuat kedudukan Tanah Air yang menetapkan laut teritorial 12 mil laut diatur dari garis pangkal.(JUM/tim Liputan 6 SCTV)
Menurut Ermaya, pihaknya sedang memetakan kasus pendudukan Malaysia terhadap perairan Ambalat. Pemetaan itu dinilai penting untuk menentukan langkah strategis pemerintah dalam menyelesaikan kasus tersebut. Ermaya menambahkan, Malaysia telah salah menafsirkan wilayah Ambalat sebagai bagian daerah mereka [baca: KSAL: Malaysia Melanggar Batas].
Sementara pengamat hukum penerbangan, Martono mengatakan, pemerintah seharusnya mendaftarkan Undang-undang Nomor 6/1996 tentang perairan Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pasalnya dengan pendaftaran ini secara hukum laut internasional di perairan Ambalat akan diakui sebagai milik Indonesia. Martono juga meminta pemerintah merubah UU tentang perairan Indonesia menyusul masuknya wilayah Ligitan-Sipadan ke Malaysia.
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 4/1960 mengenai perairan Indonesia baru didaftarkan ke PBB pada 1989. Namun, Perpu itu tak menyebutkan Ambalat sebagai wilayah teritorial Indonesia. Sementara UU Nomor 6/1996 tentang perairan Indonesia termasuk Ambalat belum didaftarkan ke PBB hingga kini. Padahal UU itu sangat penting untuk melegitimasi wilayah teritorial Indonesia.
Berdasarkan konvensi internasional, batas wilayah udara negara mengacu pada batas perairan. Semua batas ini berdasarkan pada hukum laut internasional. Salah satunya UNCLOS United Nation Convention On the Law of the Sea yang dikeluarkan PBB pada 1982 tentang negara kepulauan dan diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 17 tahun 1985. Ratifikasi ini memperkuat kedudukan Tanah Air yang menetapkan laut teritorial 12 mil laut diatur dari garis pangkal.(JUM/tim Liputan 6 SCTV)