Liputan6.com, Jakarta: Rozak Trihartono Nugroho, delapan tahun, siang itu tengah dalam perjalanan sepulang bermain sepak bola bersama teman-teman sebayanya di kawasan Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Keceriaan mereka dalam perjalanan pulang tiba-tiba terusik saat seorang pemuda berbadan besar memanggil mereka.
Kedatangan pemuda tak dikenal itu membuat Rozak dan teman-temannya ketakutan. Sontak, saat itu juga mereka berlarian terbirit-birit. Malang nasib Rozak. Bocah berkulit gelap ini tersandung. Rozak kemudian dengan mudah dibawa pemuda itu ke dalam mobil. Murid kelas dua Sekolah Dasar Negeri Kebayoran Lama Utara 09 Pagi ini sempat berontak. Tetapi sapu tangan berbius yang dibekapkan ke dalam hidung membuat Rozak terkulai tak sadarkan diri.
Cerita semakin pahit ketika Rozak disekap di sebuah gudang bersama 20 bocah lainnya. Di tempat itu Rozak dan teman senasib lainnya diberi latihan mengamen, mengemis serta menjadi joki three in one.
Pusat-pusat keramaian di Ibu Kota seperi Jatinegara, Senen, Monas (Monumen Nasional), Bendungan Hilir (Benhil), Slipi, Blok M dan Tanahabang akhirnya menadi tempat kegiatan Rozak sehari-hari. Bocah dari pasangan Sikah Winarni dan Adi Suprayitno ini harus menyetor uang antara Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu kepada pemuda botak dan beranting ini setiap hari. Rozak memanggil pemuda itu dengan sebutan Om Botak.
Nasib baik masih memihak Rozak. Penderitaan sepertinya harus berakhir dan cukup tersiksa hampir tiga bulan. Awal Februari silam, seorang tetangga melihat Rozak sedang mengamen di sebuah halte bus di kawasan Benhil, Jaksel. Setiba di rumahnya, tetangga itu kemudian memberitahukan penemuannya itu kepada orang tua Rozak. Keesokan harinya, Sikah dan Adi menjemput korban dengan menggunakan mobil taksi. Rozak sempat berontak dan seakan tidak mengenali kedua orang tuanya itu. Bocah ini baru sadar setelah mendapatkan pertolongan seorang paranormal.
Rozak adalah satu dari sekian puluh bahkan mungkin sekian ratus anak yang diculik dan dipaksa menjadi mesin uang bagi jaringan penculikan anak di Jakarta. Rozak telah kembali. Namun, kembalinya Rozak harus dibayar mahal. Kini Rozak harus berjuang melewati masa-masa trauma psikologis pascapenculikan. Selama dalam penguasaan penculik Rozak diajari kata-kata kotor sembari disiksa seperti disulut rokok.
Sikah memang harus lebih sabar dan meluangkan waktu lebih banyak untuk anak ketiganya ini. Perilaku Rozak kini berubah total, lebih agresif. Memori otaknya masih dibayang-bayangi teror yang menimpanya saat ia dipaksa penculik menjadi anak jalanan. Misalnya, ketika diajak bermain boneka, Rozak lebih memilih mobil, sepeda motor dan polisi-polisian.
Ketika permainan berganti, alam bawah sadar Rozak pun belum beralih dari dunia kekerasan. Rozak memilih macan, harimau dan binatang buas lainnya ketimbang mainan yang lucu. Bunga Koma, psikolog dari Sahabat Peduli meyakini, memori Rozak masih dipenuhi indoktrinasi penjahat yang menculiknya. "Temperamen dan sifatnya yang sangat berubah adalah bagian pola kekerasan yang dialami selama penculikan," kata Bunga Koma.
Saat Tim Sigi SCTV mengajak Rozak dan ibunya berkeliling Jakarta, ingatan bocah itu masih tajam. Rozak secara spontan menunjuk setiap kali melewati tempat yang pernah disinggahinya. Saat melintas di Monas, misalnya, Rozak menunjuk kolam yang biasa digunakan untuk mandi bersama kawan-kawannya. Juga saat melewati Palmerah, Rozak menunjukkan tempat yang digunakan untuk tidur di emper toko.
Menelusuri jalanan Ibu Kota dengan harapan bertemu sang penculik tak lebih seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Ciri-ciri fisik penculik yang diingat Rozak seperti berbadan besar, berkepala botak, kulit berwarna gelap, berjenggot dan berkumis tipis ternyata tidak cukup untuk menemukan sang penculik. Bahkan tak satu pun teman Rozak ditemukan.
Berhari-hari berkeliling Jakarta ternyata tak mendatangkan hasil. Kesulitan seperti ini mungkin yang membuat polisi hingga kini belum juga dapat mengungkap jaringan penculik Rozak dan korban lainnya.
Penculikan yang dialami Rozak ternyata bukan yang pertama terjadi di awal 2005 ini. Riset Tim Sigi menunjukkan, sepanjang Januari hingga Februari tak kurang dari lima kasus penculikan anak terjadi di Jakarta. Umumnya, modus penculikan anak terbagi dalam tiga kategori: penculikan dengan modus pemerasan, modus menjadikan korban sebagai pengamen maupun pengemis, serta penculikan bermotif dendam dan sakit hati.
Penculikan bermodus pemerasan belum lama ini menimpa seorang anggota keluarga kaya di Depok, Jawa Barat. Beruntung, korban akhirnya bisa diselamatkan setelah pihak keluarga menebus uang puluhan juta rupiah. Tetapi penculiknya hingga kini belum terendus.
Sementara itu, penculikan dengan modus menjadikan korban sebagai pengamen seperti menimpa Rozak diduga juga menimpa Indra Pratama. Bocah berusia tujuh tahun ini hilang awal Januari silam. Saat itu Indra sedang bermain bersama kawan-kawannya tak jauh dari rumah di Gang Ayat, Jalan Haji Samali, Kalibata, Jakarta Selatan. Kedua orang tua korban, Agus Permana dan Yeni hingga kini masih belum mengetahui motif di balik penculikan itu.
Ironisnya, sikap aparat penegak hukum dan negara hingga kini belum menunjukkan keseriusan menangani kasus-kasus seperti dialami Rozak. Maklum, Undang-undang Perlindungan Anak pun tidak menjamin keselamatan korban jika bersaksi tentang penculikan yang dialaminya. Padahal, penegak hukum baru bisa bergerak jika ada kesaksian korban. Kelemahan ini diakui Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi. "Kami mendesak semua pihak untuk melindungi anak-anak yang memang sangat rentan menjadi korban penculikan," kata Seto Mulyadi.
Menurut Pasal 59 UU Perlindungan Anak, negara dan aparat pemerintah wajib memberi perlindungan dan perlakuan khusus kepada para korban seperti Rozak, Indra dan korban lainnya. Pascapenculikan nasib mereka juga belum sepenuhnya aman karena para penculiknya masih berkeliaran.
Penculikan anak adalah bagian dari nasib anak jalanan yang hingga kini belum terpecahkan. Menggelandang adalah bukan kemauan anak-anak. Tetapi keadaanlah yang memaksa mereka meninggalkan masa-masa keceriaan dan masa bermain.
Seorang pengamen bernama Danu menuturkan, tidak sedikit anak jalanan yang terlibat tindak kriminal. Danu bahkan mengaku pernah direkrut menjadi perampok dan terlibat dalam berbagai aksi perampokan. Namun sebelum terjerumus lebih dalam, Danu akhirnya sadar dan memilih menjadi pengamen.
Selain kriminalitas, narkoba juga menjadi dunia yang kerap diakrabi anak-anak jalanan. Di kawasan Jakarta Timur, misalnya, Tim Sigi melihat langsung dua anak jalanan tengah bertransaksi narkoba jenis lexotan. Selain itu anak-anak jalanan juga akrab dengan istilah ngelem, menghirup uap lem merek Aica Aibon.
Mabuk dan seks bebas juga menjadi kebiasaan anak-anak jalanan. Di perempatan Grogol, Jakarta Barat, sedikitnya ditemukan 50 anak jalanan. Setiap malam Ahad mereka berkumpul bersama anak jalanan se-Jabotabek di pelataran parkir mal yang tak juah dari persimpangan jalan. "Ada yang main bola ada yang pacaran ada yang ciuman ada yang ngapain," tutur Mores.
Mores yang berusia remaja, misalnya, bila malam Ahad tiba lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dan asoy geboy dengan pacarnya sesama gelandangan, Yuyun. Sebelumnya, Mores menonton film dewasa terlebih dahulu di kawasan Benhil di sebuah gedung bioskop tua dan kumuh. Film itu benar-benar mengundang berahi yang banyak mengumbar adegan ranjang.
Mores, sang pacar dan sesama gelandangan lainnya baru terkapar kelelahan bila subuh menjelang. Pelataran mal menjadi tempat mereka beristirahat, tidur dan mungkin bermimpi.
Sedikitnya ada sekitar 50 ribu anak jalanan di Indonesia. Bukan mustahil, jika sebagian besar dari mereka ternyata bocah yang dipekerjakan mafia penculikan anak. Respons yang cepat dari aparat negara sangat dibutuhkan demi menyelamatkan mereka tanpa harus menunggu korban yang lebih banyak.(YYT/Tim Sigi)
Kedatangan pemuda tak dikenal itu membuat Rozak dan teman-temannya ketakutan. Sontak, saat itu juga mereka berlarian terbirit-birit. Malang nasib Rozak. Bocah berkulit gelap ini tersandung. Rozak kemudian dengan mudah dibawa pemuda itu ke dalam mobil. Murid kelas dua Sekolah Dasar Negeri Kebayoran Lama Utara 09 Pagi ini sempat berontak. Tetapi sapu tangan berbius yang dibekapkan ke dalam hidung membuat Rozak terkulai tak sadarkan diri.
Cerita semakin pahit ketika Rozak disekap di sebuah gudang bersama 20 bocah lainnya. Di tempat itu Rozak dan teman senasib lainnya diberi latihan mengamen, mengemis serta menjadi joki three in one.
Pusat-pusat keramaian di Ibu Kota seperi Jatinegara, Senen, Monas (Monumen Nasional), Bendungan Hilir (Benhil), Slipi, Blok M dan Tanahabang akhirnya menadi tempat kegiatan Rozak sehari-hari. Bocah dari pasangan Sikah Winarni dan Adi Suprayitno ini harus menyetor uang antara Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu kepada pemuda botak dan beranting ini setiap hari. Rozak memanggil pemuda itu dengan sebutan Om Botak.
Nasib baik masih memihak Rozak. Penderitaan sepertinya harus berakhir dan cukup tersiksa hampir tiga bulan. Awal Februari silam, seorang tetangga melihat Rozak sedang mengamen di sebuah halte bus di kawasan Benhil, Jaksel. Setiba di rumahnya, tetangga itu kemudian memberitahukan penemuannya itu kepada orang tua Rozak. Keesokan harinya, Sikah dan Adi menjemput korban dengan menggunakan mobil taksi. Rozak sempat berontak dan seakan tidak mengenali kedua orang tuanya itu. Bocah ini baru sadar setelah mendapatkan pertolongan seorang paranormal.
Rozak adalah satu dari sekian puluh bahkan mungkin sekian ratus anak yang diculik dan dipaksa menjadi mesin uang bagi jaringan penculikan anak di Jakarta. Rozak telah kembali. Namun, kembalinya Rozak harus dibayar mahal. Kini Rozak harus berjuang melewati masa-masa trauma psikologis pascapenculikan. Selama dalam penguasaan penculik Rozak diajari kata-kata kotor sembari disiksa seperti disulut rokok.
Sikah memang harus lebih sabar dan meluangkan waktu lebih banyak untuk anak ketiganya ini. Perilaku Rozak kini berubah total, lebih agresif. Memori otaknya masih dibayang-bayangi teror yang menimpanya saat ia dipaksa penculik menjadi anak jalanan. Misalnya, ketika diajak bermain boneka, Rozak lebih memilih mobil, sepeda motor dan polisi-polisian.
Ketika permainan berganti, alam bawah sadar Rozak pun belum beralih dari dunia kekerasan. Rozak memilih macan, harimau dan binatang buas lainnya ketimbang mainan yang lucu. Bunga Koma, psikolog dari Sahabat Peduli meyakini, memori Rozak masih dipenuhi indoktrinasi penjahat yang menculiknya. "Temperamen dan sifatnya yang sangat berubah adalah bagian pola kekerasan yang dialami selama penculikan," kata Bunga Koma.
Saat Tim Sigi SCTV mengajak Rozak dan ibunya berkeliling Jakarta, ingatan bocah itu masih tajam. Rozak secara spontan menunjuk setiap kali melewati tempat yang pernah disinggahinya. Saat melintas di Monas, misalnya, Rozak menunjuk kolam yang biasa digunakan untuk mandi bersama kawan-kawannya. Juga saat melewati Palmerah, Rozak menunjukkan tempat yang digunakan untuk tidur di emper toko.
Menelusuri jalanan Ibu Kota dengan harapan bertemu sang penculik tak lebih seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Ciri-ciri fisik penculik yang diingat Rozak seperti berbadan besar, berkepala botak, kulit berwarna gelap, berjenggot dan berkumis tipis ternyata tidak cukup untuk menemukan sang penculik. Bahkan tak satu pun teman Rozak ditemukan.
Berhari-hari berkeliling Jakarta ternyata tak mendatangkan hasil. Kesulitan seperti ini mungkin yang membuat polisi hingga kini belum juga dapat mengungkap jaringan penculik Rozak dan korban lainnya.
Penculikan yang dialami Rozak ternyata bukan yang pertama terjadi di awal 2005 ini. Riset Tim Sigi menunjukkan, sepanjang Januari hingga Februari tak kurang dari lima kasus penculikan anak terjadi di Jakarta. Umumnya, modus penculikan anak terbagi dalam tiga kategori: penculikan dengan modus pemerasan, modus menjadikan korban sebagai pengamen maupun pengemis, serta penculikan bermotif dendam dan sakit hati.
Penculikan bermodus pemerasan belum lama ini menimpa seorang anggota keluarga kaya di Depok, Jawa Barat. Beruntung, korban akhirnya bisa diselamatkan setelah pihak keluarga menebus uang puluhan juta rupiah. Tetapi penculiknya hingga kini belum terendus.
Sementara itu, penculikan dengan modus menjadikan korban sebagai pengamen seperti menimpa Rozak diduga juga menimpa Indra Pratama. Bocah berusia tujuh tahun ini hilang awal Januari silam. Saat itu Indra sedang bermain bersama kawan-kawannya tak jauh dari rumah di Gang Ayat, Jalan Haji Samali, Kalibata, Jakarta Selatan. Kedua orang tua korban, Agus Permana dan Yeni hingga kini masih belum mengetahui motif di balik penculikan itu.
Ironisnya, sikap aparat penegak hukum dan negara hingga kini belum menunjukkan keseriusan menangani kasus-kasus seperti dialami Rozak. Maklum, Undang-undang Perlindungan Anak pun tidak menjamin keselamatan korban jika bersaksi tentang penculikan yang dialaminya. Padahal, penegak hukum baru bisa bergerak jika ada kesaksian korban. Kelemahan ini diakui Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi. "Kami mendesak semua pihak untuk melindungi anak-anak yang memang sangat rentan menjadi korban penculikan," kata Seto Mulyadi.
Menurut Pasal 59 UU Perlindungan Anak, negara dan aparat pemerintah wajib memberi perlindungan dan perlakuan khusus kepada para korban seperti Rozak, Indra dan korban lainnya. Pascapenculikan nasib mereka juga belum sepenuhnya aman karena para penculiknya masih berkeliaran.
Penculikan anak adalah bagian dari nasib anak jalanan yang hingga kini belum terpecahkan. Menggelandang adalah bukan kemauan anak-anak. Tetapi keadaanlah yang memaksa mereka meninggalkan masa-masa keceriaan dan masa bermain.
Seorang pengamen bernama Danu menuturkan, tidak sedikit anak jalanan yang terlibat tindak kriminal. Danu bahkan mengaku pernah direkrut menjadi perampok dan terlibat dalam berbagai aksi perampokan. Namun sebelum terjerumus lebih dalam, Danu akhirnya sadar dan memilih menjadi pengamen.
Selain kriminalitas, narkoba juga menjadi dunia yang kerap diakrabi anak-anak jalanan. Di kawasan Jakarta Timur, misalnya, Tim Sigi melihat langsung dua anak jalanan tengah bertransaksi narkoba jenis lexotan. Selain itu anak-anak jalanan juga akrab dengan istilah ngelem, menghirup uap lem merek Aica Aibon.
Mabuk dan seks bebas juga menjadi kebiasaan anak-anak jalanan. Di perempatan Grogol, Jakarta Barat, sedikitnya ditemukan 50 anak jalanan. Setiap malam Ahad mereka berkumpul bersama anak jalanan se-Jabotabek di pelataran parkir mal yang tak juah dari persimpangan jalan. "Ada yang main bola ada yang pacaran ada yang ciuman ada yang ngapain," tutur Mores.
Mores yang berusia remaja, misalnya, bila malam Ahad tiba lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dan asoy geboy dengan pacarnya sesama gelandangan, Yuyun. Sebelumnya, Mores menonton film dewasa terlebih dahulu di kawasan Benhil di sebuah gedung bioskop tua dan kumuh. Film itu benar-benar mengundang berahi yang banyak mengumbar adegan ranjang.
Mores, sang pacar dan sesama gelandangan lainnya baru terkapar kelelahan bila subuh menjelang. Pelataran mal menjadi tempat mereka beristirahat, tidur dan mungkin bermimpi.
Sedikitnya ada sekitar 50 ribu anak jalanan di Indonesia. Bukan mustahil, jika sebagian besar dari mereka ternyata bocah yang dipekerjakan mafia penculikan anak. Respons yang cepat dari aparat negara sangat dibutuhkan demi menyelamatkan mereka tanpa harus menunggu korban yang lebih banyak.(YYT/Tim Sigi)