Liputan6.com, Jakarta: Anggota Dewan beranggapan Presiden Abdurrahman Wahid sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Sebab, berdasarkan catatan Dewan, ada lima Ketetapan MPR dan dua Undang-undang yang telah dilanggar. Bahkan, Presiden membenarkan tindakan main hakim sendiri oleh rakyat. Demikian diutarakan anggota Fraksi Partai Daulat Umat Mudahan Hazdie dalam Sidang Paripurna DPR, Selasa (20/3).
Mudahan mengatakan, sebanyak 151 anggota DPR mengusulkan menggunakan hak bertanya atas pelanggaran haluan negara yang dilakukan presiden melalui Sidang Paripurna. Presiden dinilai menabrak Pasal 23 UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR. Gus Dur juga dianggap bertentangan dengan TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Kepolisian RI.
Usulan tersebut bakal diteruskan ke Badan Musyawarah DPR untuk diagendakan dalam Sidang Pleno. Selanjutnya, keputusan penolakan atau penerimaan usulan tersebut akan ditetapkan dalam rapat tersebut. Sidang Paripurna DPR tersebut sempat diskorsing dua kali karena kendala koordinasi. Sementara itu, usulan tersebut telah disetujui Ketua DPR Akbar Tandjung sejak 29 November silam.
Menaggapi masalah Memorandum, Ketua DPR Akbar Tandjung menyatakan, DPR belum menerima surat resmi atau permintaan lisan dari Istana Negara perihal keinginan Presiden untuk memberikan jawaban Memorandum. Menurut dia, UU Nomor 5 Tahun 1978 tidak mengatur teknis pelaksanaan Memorandum. Karena itu, formulasi Memorandum itu diserahkan sepenuhnya kepada Presiden Wahid. Akbar berharap Presiden sungguh-sungguh memperhatikan peringatan yang diberikan DPR.(PIN/Tim Liputan 6 SCTV)
Mudahan mengatakan, sebanyak 151 anggota DPR mengusulkan menggunakan hak bertanya atas pelanggaran haluan negara yang dilakukan presiden melalui Sidang Paripurna. Presiden dinilai menabrak Pasal 23 UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR. Gus Dur juga dianggap bertentangan dengan TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Kepolisian RI.
Usulan tersebut bakal diteruskan ke Badan Musyawarah DPR untuk diagendakan dalam Sidang Pleno. Selanjutnya, keputusan penolakan atau penerimaan usulan tersebut akan ditetapkan dalam rapat tersebut. Sidang Paripurna DPR tersebut sempat diskorsing dua kali karena kendala koordinasi. Sementara itu, usulan tersebut telah disetujui Ketua DPR Akbar Tandjung sejak 29 November silam.
Menaggapi masalah Memorandum, Ketua DPR Akbar Tandjung menyatakan, DPR belum menerima surat resmi atau permintaan lisan dari Istana Negara perihal keinginan Presiden untuk memberikan jawaban Memorandum. Menurut dia, UU Nomor 5 Tahun 1978 tidak mengatur teknis pelaksanaan Memorandum. Karena itu, formulasi Memorandum itu diserahkan sepenuhnya kepada Presiden Wahid. Akbar berharap Presiden sungguh-sungguh memperhatikan peringatan yang diberikan DPR.(PIN/Tim Liputan 6 SCTV)