Liputan6.com, Jakarta Kemunculan dan kemudahan yang kian ditawarkan, khususnya di negara berkembang semakin tumbuh pesat. Alih-alih mengatakan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan risiko ketidaksetaraan gender yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Melansir dari CNBC Make It, penelitian yang dilakukan oleh International Telecommunication Union (ITU) menemukan meskipun penetrasi internet global meningkat, kesenjangan pada gender berbasis digital memiliki potensi untuk menghambat perempuan mengakses pendidikan.
Lantas, mengapa hal tersebut dan terjadi dan berkorelasi? Kesenjangan gender berbasis digital dalam diartikan sebagai kesenjangan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap teknologi yang ada.
Advertisement
Saat ini, sekitar 4,1 miliar orang atau sekitar 53,6 persen dari populasi di seluruh dunia memiliki akses internet. Namun, ITU menjelaskan bahwa aksesibilitas tersebut secara signifikan didominasi oleh laki-laki.
Kemudian, secara global, 58 persen dari seluruh pria memiliki akses internet, sedangkan hanya di bawah setengahnya (48 persen) yaitu perempuan memiliki akses internet. Kesenjangan tersebut sangat terlihat di wilayah Asia Pasifik, Afrika, dan beberapa negara Arab.
Kesenjangan Digital
Masalah yang terjadi bukan diakibatkan ketersediaan internet, melainkan 97 persen populasi global sekarang hidup dalam jangkauan seluler. Sementara itu, 93 persen lainnya berada dalam jaringan 3G atau yang lebih tinggi.
Sebaliknya, ITU justru mengatakan bahwa kesenjangan yang ada menjadi masalah yang sistematik dengan melihat perempuan yang memiliki akses lebih rendah dibandingkan laki-laki. Diprediksi juga bahwa hal itu berpengaruh pada kemampuan mengelola keuangan dan pendidikan yang dibutuhkan untuk mengakses teknologi.
Mengacu pada wanita di negara berkembang, salah satu staf ITU Susan Teltscher mengatakan kepada BBC bahwa wanita tidak memiliki akses informasi apapun yang tersedia di internet. Padahal ada banyak aplikasi yang tersedia sekarang melalui gawai yang dapat membantu mereka melakukan komunikasi, mengakses pendidikan, kesehatan, hingga layanan pemerintah.
“Hal ini tentu saja memiliki konsekuensi yang cukup besar karena wanita menimbulkan peluang untuk dikucilkan dunia akibat berkembangnya era digital,” jelas Teltscher.
Adapun sekitar 3,6 miliar orang di seluruh dunia masih tidak memiliki akses internet, dorongan terhadap pemerintah juga diperlukan agar tidak hanya berfokus pada perkembangan internet saja. Tetapi memastikan investasi pelatihan dan keterampilan digital dalam jangka panjang.
Hal tersebut akan sangat membantu mengurangi kesenjangan digital yang ada. Pembelajaran yang mengedukasi seputar penggunaan gawai dapat didorong agar dapat diakses oleh semua orang.
“Meskipun ada konektivitas, kita harus lebih kreatif dalam menangani isu-isu krisis ini, seperti keterjangkauan layanan, kurangnya keterampilan digital dan literasi sehingga memungkinkan perempuan untuk berkontribusi dalam ekonomi digital,” tegas Direktur Biro Pengembangan ITU Doreen Bogdan-Martin.
Reporter: Caroline Saskia
Advertisement