Liputan6.com, Jakarta Keberadaan rumah adat Minahasa bermula dari rumah yang menempel pada pohon, kemudian berubah menjadi rumah panjang, dan hingga akhirnya berbentuk panggung.
Rumah adat Minahasa berbentuk panggung terdiri dari dua jenis, yaitu berpilar batu (Wale Weiwangin) dan berpilar balok kayu (Wale Meito’tol).
Jenis kedua inilah yang menjadi model rumah minahasa yang diperjual-belikan di Desa Woloan. Hal ini tercatat dalam penelitian Dr. WR Van Hoevell dalam penelitiannya pada 1850.
Advertisement
"Rumah adat Minahasa memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat setempat. Kearifan lokal juga melekat di rumah ini," ujar Dr. Paul Ricardo Renwarin pada seminar nasional Ikatan Dosen Katolik Indonesia (IKDKI), Kawanua Katolik (Kawkat) dan Pemerintah Kota Tomohon Sulawesi Utara, Kamis 28 Oktober 2021.
Ricardo, yang juga sebagai peneliti dan budayawan Minahasa, menambahkan mengenai From Nature to Culture dari rumah adat ini.
Diakui bangunan ‘rumah’ itu bercorak material-fisik-benda mati. Tetapi di tangan manusia pembangun atau para tukang, yang alami-natural-mati ini diolah dan ditata (=cultivate) menjadi ‘hidup’, yaitu ‘rumah hidup’ (the living house).
Dari mana diperoleh ‘filosofi’ rumah hidup ini ?
Lewat perlakuan khusus para tukang, baik lewat tindakan, kata-kata ungkapan, doa, simbol-simbol dalam proses mem-’bangun’ atau men-diri-kan rumah.
Ricardo menjelaskan juga pentingnya memahami alur pembangunan rumah. Dimulai sejak batu pertama sampai penggunaan rumah tersebut untuk dihuni atau istilah orang Minahasa adalah acara naik rumah baru.
Pembicara lain, Dr. Krismanto Kusbiantoro, melihat rumah panggung woloan dalam perspektif penguatan Arsitektur tradisional Nusantara.
Dari sisi arsitektur, rumah bisa dilihat dari dua dimensi yakni rumah sebagai tempat bernaung dan rumah sebagai tempat berlindung.
Krismanto menjelaskan bahwa dalam kasus Arsitektur vernakular Asia Tenggara, yang memiliki iklim panas disertai dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi (Sekitar 70-100 persen memiliki kelembaban tinggi dan suhu sekitar 30 derajat Celsius) maka pola yang logis adalah pola shelter/bernaung yang artinya memiliki bukaan yang besar untuk udara mengalir, cahaya matahari masuk ke dalam ruang dan atap yang lebar dan besar untuk menahan curah hujan yang tinggi.
Tujuh fitur umum hunian tradisional di Asia Tenggara yakni hunian tripartite, berlantai dengan berbagai ketinggian, atap yang condong keluar, hiasan pada wuwung, atap yang melengkung seperti sadel kuda dan treatment berbeda kayu antara akar dan pucuk.
Untuk arsitek rumah panggung Woloan merupakan Huniatan Tirpartite karena ada kaki berupa tiang panggung dengan kolongnya, badan rumah berupa dinding dengan jendela dan pintu serta kepala berupa atap pelana.
Krismanto juga menambahkan bahwa rumah panggung Woloan berlantai dengan berbagai ketinggian. “beda ketinggian pada area tertentu seperti teras kamar mandi lebih rendah,” jelas dia.
Kajian Sisi Lain
Pembicara lain, Anton J Supit, melihat dari sisi ekonomi dan bisnis. “Seberapa besar pengaruh industri Rumah Panggung Woloan ini terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal,” ujarnya. Kemudian rumah yang tidak dijual bisa menjadi daya tarik destinasi wisata.
Dia mengaku sebagai pengusaha, melihat bahwa untuk menaikkan nilai jual ataupun nilai wisata maka dibutuhkan sentuhan-sentuhan arsitektur modern tanpa harus meninggalkan unsur lokal wisdom.
Dalam webinar yang digelar Ikatan Dosen Katolik Indonesia (IKDKI), Kawanua Katolik (Kawkat) dan Pemerintah Kota Tomohon Sulawesi Utara menyoroti penyatuan dari berbagai sudut pandang program Dosen Membangun Desa ini.
Walikota Kota Tomohon Caroll Senduk yang hadir langsung dalam Webinar ini sangat mengapresiasi program Dosen Membangun Desa ini.
Ketua Umum IKDKI dan Kawkat, berharap lewat webinar akan menghasilkan terobosan baru ke depan untuk pengembangan Rumah Panggung Woloan dan memberikan dampak positif, ekonomi dan sosial budaya khususnya bagi masyarakat lokal.
Agustinus Purna Irawan, Ketua Umum IKDKI mengatakan di tengah arus modernisasi ini, kearifan lokal dan budaya nasional, perlu terus dilestarikan, dipelajari dan dikembangkan menjadi keunggulan nasional. Banyak filosofi yang terkandung di dalam budaya nasional, yang dapat menjadi penguat dan pemersatu bangsa.
Advertisement