Liputan6.com, Jakarta Ukrida menerima kedatangan Dr. David Wicks, sebagai salah satu Visiting Professor di Program Studi Sastra Inggris atau yang lebih dikenal dengan Ukrida Department of English (UDE), Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Ukrida.Ini menjadi bagian dari realisasi kerjasama antara Ukrida dengan Seattle Pacific University (SPU), USA.
Sebagai Professor di Fakultas Pendidikan SPU, Wicks memiliki kepakaran di bidang kurikulum dan pengajaran serta kepemimpinan pendidikan digital. Selain itu, dia yang memiliki kompetensi dalam Pendidikan Online Leadership mengemukakan tentang peran maupun kontribusi pendidikan online terhadap pendidikan onsite dan inperson (tatap muka).
Baca Juga
Semula pendidikan memang mengacu kepada pendidikan tatap muka, akan tetapi berkat kemajuan teknologi saat ini membuat pendidikan secara online menjadi pilihan yang bisa dikatakan terbaik, terutama di masa pandemi dan kini memasuki era digital.
Advertisement
Wicks yang mengunjungi Program Studi Sastra Inggris Ukrida secara periodik selain membimbing pengajaran online, juga ikut mempertajam arah riset para dosen Sastra Inggris.Pada kesempatan kunjungan kali ini, Dr. Wicks melakukan mentoring penelitian dan pengembangan kurikulum di Program Studi Sastra Inggris.
Wicks juga menjadi salah seorang narasumber dalam Workshop yang mengangkat tema Community of Inquiry: Best Practices for Online/Hybrid Teaching and Learning, Jumat, 25 November 2022.
Workshop ini difasilitasi Program Studi Sastra Inggris Ukrida, dan diikuti oleh enam universitas, yaitu Universitas Sanata Dharma, Universitas Mahasaraswati, Universitas Sampoerna, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Universitas Ma Chung, dan Ukrida.
Dr. Wicks mempresentasikan beberapa hasil penelitiannya terkait pendidikan online yang berbasis pada Community of Inquiry (CoI) Framework yang digagas oleh Garrison et al. (2000), QUEST model (Wicks, 2017), dan Resilient Pedagogy (Clum et al., 2022; Quintana, 2020).
Ketiga konsep pembelajaran dan pengajaran online ini sangat diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan pembelajaran di era baru pasca pandemi. Selain Wicks, narasumber yang juga membagikan ilmunya adalah Dr. Martha Cleveland-Innes dari Athabasca University, Canada, dan narasumber dari Program Studi Sastra Inggris Ukrida, yaitu Yunias Monika, Ira Rasikawati, dan Siegfrieda A. S. Mursita Putri.
Konsep pembelajaran menggunakan CoI Framework berlandaskan pada filosofi kolaboratif-konstruktivis, yang menitikberatkan proses menciptakan pengalaman belajar secara mendalam dan bermakna melalui pengembangan tiga elemen (kehadiran) yang saling terkait, yakni kehadiran sosial, kognitif, dan pengajaran.
Sementara itu QUEST Model merupakan model belajar yang dapat diterapkan untuk meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam pembelajaran, dengan menggunakan strategi mengajukan pertanyaan yang menarik sesuai minatnya (ask Question), serta memahami topik (Understand topic) melalui pencarian data dan membagikan sumbernya. Dalam proses belajar dan memecahkan masalah, mahasiswa juga bekerja sama satu sama lain untuk saling mengajar (Educate).
Selanjutnya mahasiswa mencari solusi (find a Solution) untuk pertanyaan yang diajukan dan mengajarkan (Teach) hasil belajar mereka kepada orang lain melalui media blog atau sosial media.
Pendekatan resilient pedagogy mencakup nilai-nilai ketahanan dalam desain pembelajaran, oleh pengajar dan mahasiswa dalam situasi yang menuntut kemampuan kita untuk menghadapi, beradaptasi, dan bertahan, dalam situasi yang sulit.
Â
3 Prinsip
Tiga prinsip penting dalam resilient pedagogy adalah extensibility, flexibility, dan redundancy. Prinsip extensibility dapat diterapkan dalam konteks perlunya membangun desain pembelajaran dengan format dasar dan dengan tujuan agar nantinya dapat dikembangkan dan ditingkatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang berbeda.
Prinsip flexibility memandang perlu mempertimbangkan variabilitas dalam lingkungan belajar, serta menerapkan desain pembelajaran yang praktis dan dapat diterapkan dalam lingkungan belajar yang berbeda dari harapan semula. Menurut prinsip yang terakhir, prinsip redundancy, pengajar membuat rencana yang bervariasi dan mengenali komponen yang rentan sehingga dapat disiapkan rencana pengganti bila situasi memerlukannya.
Di bagian lain, Dr. Wicks juga mengemukakan tentang tiga model hybrid learning yang dapat dilakukan melalui Artificial Intelligent (AI), salah satunya adalah dengan Telepresence Robot. Robot ini berfungsi untuk menghadirkan pengajar secara virtual, walaupun demikian para peserta belajar tetap berinteraksi sehingga merasa seolah-olah pengajar berada di tengah-tengah mereka.
Akan tetapi, satu hal yang pasti dan ditekankan oleh Dr. David Wicks, Artificial Intelligent hanya difungsikan sebagai alat bantu pengajar, karena bagaimanapun juga pengajaran manusia tidak sepenuhnya dapat digantikan oleh AI. Â
Advertisement