Sukses

Tips Parenting dengan Kecerdasan Emosional Tinggi

Untuk membesarkan anak menjadi lebih cerdas secara emosional, orang tua perlu berbicara kepada mereka dengan cara yang juga cerdas secara emosional.

Liputan6.com, Jakarta - Untuk membesarkan anak menjadi lebih cerdas secara emosional, orang tua perlu berbicara kepada mereka dengan cara yang juga cerdas secara emosional.

Seorang Neuropsikolog lulusan Harvard, Julia DiGangi melalui CNBC Make It membagikan pengalamannya ketika mengajarkan gaya komunikasi yang mendorong koneksi dan kemandirian, yang keduanya penting jika ingin memiliki hubungan yang sehat, kuat, dan penuh empati.

Jangan ungkapkan tiga kalimat berikut ini kepada anak secara emosional:

“Kenapa kamu gak bisa lebih termotivasi?”

Otak diatur untuk unggul kapanpun dan dimanapun ia bisa. Jadi, ketika anak mengalami kesulitan, itu bukan karena mereka tidak ingin melakukannya dengan baik, tetapi karena mereka tidak mampu.

Dengan kata lain, masalahnya bukanlah motivasi mereka. Hal ini terjadi karena adanya keterputus asaan antara ekspektasi sebagai orang tua dan kemampuan anak.

Cobalah katakan dengan respon yang cerdas secara emosional, yaitu dengan memiliki rasa ingin tahu adanya motivasi dan kemampuan anak bersinggungan.

Katakanlah bahwa anak menghabiskan terlalu banyak waktu untuk bermain video game dan terlalu sedikit membaca.

Hindari bertanya, “Kamu gak punya motivasi buat baca buku?” Namun, cobalah bertanya dengan pertanyaan terbuka seperti, “Saya tau kamu sangat suka main game. Coba ceritakan apa yang paling kamu suka?”

2 dari 2 halaman

“Kenapa kamu gak dengarkan saya?”

“Saya pernah bekerja dengan orang tua yang putrinya mengalami kesulitan sensorik. Mereka  karena di ruang praktek dokter, dia menolak keluar dari mobil,” Kata Julia.

“Namun, begitu mereka mengajaknya ke dalam percakapan, mereka mengetahui bahwa dia sebenarnya terganggu oleh musik yang diputar di ruang praktek dokter. Solusinya, berikan penyumbat telinga.” Lanjutnya.

Julia mengatakan, masalah sebenarnya adalah orang tua tidak mendengarkan kebutuhan anak.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa otak anak-anak terikat pada otonomi dan kebutuhan untuk menjelajahi dunia berdasarkan identitas mereka sendiri, bukan keyakinan tentang siapa diri mereka seharusnya.

Jika sedang terjebak dalam perselisihan dengan anak yang keras kepala, daripada bertanya alasan mereka tidak mendengarkan, cobalah bertanya “Apakah saya sudah selesai mendengarkan kamu?”

Orang tua yang cerdas secara emosional tidak berusaha untuk mendapatkan koneksi. Mereka perlu tahu bahwa kamu bersedia mendengarkan kebenaran pengalaman mereka.

“Kamu sangat gak sopan!”

Julia mengungkapkan bahwa dirinya sering melihat orang tua mengambil kesimpulan yang luas dan sangat buruk tentang perilaku anak berdasarkan rasa tidak aman yang orang tua miliki sendiri.

Sepasang suami istri mengatakan kepada Julia, “Anak remaja kami tidak menghormati kami,” karena ia tidak mendengarkan ketika diminta menyelesaikan tugas sekolahnya. Namun, ketika orang tua menyampaikan kekhawatirannya, dalam percakapan yang aman dan tidak berisiko, anak mereka mengatakan “Saya sangat menghormati anda. IPA itu sulit bagi saya.”

Pendekatan yang paling cerdas secara emosional terhadap ketakutan bahwa anak tidak menghormati orang tuanya adalah dengan mengajukan pertanyaan yang spesifik dan tidak menghakimi, lalu secara eksplisit menegaskan bahwa kamu bersedia mendengarkannya.

Sebaiknya, katakanlah kalimat seperti “Saya tau nilai kamu 64 pada ujian IPA terakhir. Apakah kamu mau ceritakan sesuatu?”

Julia mengatakan bahwa perasaan anak menular kepada kita. Saat mereka terguncang, begitu juga dengan kita. Maka, ketika emosi yang besar muncul, wajar jika ingin mengontrol perasaan anak sendiri dan menyuruhnya diam, tenang, atau dengarkan. Namun sebagai orang tua yang tegas, tugasmu bukan mengendalikan emosi anak, tetapi mengendalikan emosi sendiri.

 

Video Terkini