Liputan6.com, Jakarta - Rupiah mencapai titik terlemah baru terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) pasca pelemahan dalam yang terjadi saat krisis moneter pada 1998. Meski pun demikian keadaannya sangat berbeda dengan 1998. Saat itu Indonesia dilanda kepanikan, rupiah bergerak melemah dengan tajam ke area 17.000 per dolar AS dalam hitungan bulan dari kisaran US$ 4.500 .
Cadangan devisa Indonesia pun hanya tersisa sekitar US$ 14 miliar sehingga Bank Indonesia (BI) tidak berdaya menahan laju pelemahan rupiah tersebut. Pelemahan rupiah ketika itu berimbas pada kepanikan di dalam negeri yang membuat rakyat kehilangan keyakinan terhadap ekonomi Indonesia dan terjadi rush (penarikan besar-besaran) di perbankan.
Saat itu juga terjadi kontraksi Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup dalam sekitar 13 persen. Sementara tahun ini, pelemahan rupiah tidak bergerak drastis tapi perlahan. Sedangan cadangan devisa (cadev) Indonesia masih tersisa sekitar US$ 100 miliar. Tidak ada kepanikan dan rush di perbankan. Ekonomi Indonesia juga masih bertumbuh. Situasi yang berbeda ini bukan berarti kita tidak perlu waspada, tapi juga kita tidak perlu panik.
Advertisement
Pelemahan nilai tukar rupiah tidak sendirian. Nilai tukar negara-negara lain pun melemah tajam terhadap Dolar AS di sepanjang 2015 ini. Rupiah bahkan bukan yang terlemah. Masih ada yang lebih lemah lagi dari rupiah seperti ringgit Malaysia yang pelemahannya mencapai 22,89 persen terhadap Dolar AS. Pelemahan real Brasil bahkan sudah mencapai 37,58 persen terhadap dolar AS.
Â
Dengan kenyataan ini, kelihatannya bukan hanya faktor fundamental Indonesia saja yang membuat rupiah melemah, tapi juga faktor eksternal yaitu potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) pada 2015.
Nilai tukar yang bersangkutan biasanya menguat bila Bank Sentral-nya menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga acuan berarti bank sentral berusaha menyerap likuiditas sehingga peredaran nilai tukar berkurang. Teori ekonomi: Suplai berkurang, harga naik.
Tapi mengapa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS begitu tajam hanya karena The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya? Ada beberapa alasan. Di antaranya karena fundamental ekonomi Indonesia juga kurang impresif.
Pasar berekspektasi tinggi dengan pemerintahan yang baru untuk mencapai target pertumbuhan Produk Domestik Bruto-nya. Tapi hasilnya tidak demikian, pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal pertama hanya sekitar 4,7 persen, di bawah ekspektasi di atas 5 persen. Pertumbuhan PDB yang di bawah target ini dikonfirmasi dengan hasil kuartal kedua yang bahkan sedikit di bawah kuartal pertama yaitu sekitar 4,67 persen.
Pemerintah juga belum mampu mengatasi pelemahan ekspor Indonesia karena penurunan harga komoditas global sehingga meskipun rupiah melemah, Indonesia seakan tidak bisa mengambil keuntungan dari pelemahan rupiah untuk meningkatkan ekspornya. Di awal pemerintahan, fokus ekonomi pemerintah yang baru juga sempat terganggu dengan isu politik (peristiwa KMP-KIH dan peristiwa pemilihan Kapolri).
Alasan lain adalah karena Indonesia merupakan risky assets. Di pasar keuangan, negara emerging (yang sedang berkembang) dikategorikan lebih berisiko dibandingkan negara maju. Di tengah kekhawatiran pelambatan ekonomi global saat ini, para pelaku pasar keuangan akan berhati-hati dalam investasinya dan akan mengurangi investasi di tempat yang lebih berisiko.
Di Indonesia, secara historis, di tengah kekhawatiran di antara para pelaku pasar keuangan, selalu terjadi aliran dana asing, terutama hot money, keluar dari Indonesia dalam jumlah besar. Aliran dana asing yang keluar berarti kebutuhan konversi rupiah ke dolar AS meningkat. Penurunan dalam indeks saham karena net sell asing bisa diindikasikan adanya hot money yang keluar dari Indonesia. Demikian pula bila banyak terjadi aksi jual di pasar obligasi.
Pelemahan rupiah yang dalam ini telah mendapatkan respons dari pemerintah dan Bank Indonesia. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan untuk menanggulangi pelemahan tersebut yang intinya menambah likuiditas dolar AS dan mengurangi permintaan dolar AS di Indonesia. Tapi tampaknya belum cukup karena rupiah masih tetap melemah.
Pemerintah berencana melakukan deregulasi ekonomi besar-besaran. Tapi perlu diwaspadai agar deregulasi ini tidak memicu krisis ekonomi yang baru seperti deregulasi perbankan yang dilakukan pemerintah yang menurut beberapa penelitian turut memicu terjadinya krisis moneter pada 1998.
Rupiah akan berangsur menguat bila pasar tidak lagi fokus pada kenaikan suku bunga acuan AS dan pasar melihat tren positif dari kebijakan ekonomi pemerintah dalam data-data ekonomi yang dipublikasikan seperti data GDP, neraca pedagangan, inflasi, dan neraca berjalan. (Ahm/Igw)