Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengakui sosialisasi paket kebijakan ekonomi jilid I lemah. Ini bisa dilihat dari sedikitnya informasi yang ditangkap masyarakat dan kalangan dunia usaha.
Bukti lebih valid terlihat dari tetap melemahnya kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Maka, pemerintah berjanji memperbaiki pola sosialisasi paket kebijakan ekonomi di tahap II. Perbaikan akan dilakukan dengan menjelaskan isi kebijakan per sektor, yang nantinya akan dimaktubkan di dalam paket kebijakan ekonomi lanjutan.
Sesuai janjinya, paket kebijakan ekonomi jilid II terbit pada 29 September 2015. Berbeda dengan Paket September I, dalam Paket September II pemerintah lebih fokus pada penyederhanaan perizinan dan pengamanan devisa ekspor.
Sebagai contoh, sesuai permintaan dunia usaha, Paket September II menjamin perizinan investasi di kawasan industri bisa diperoleh investor hanya dalam tempo 3 jam.
Selama ini perizinan di kawasan industri bisa sampai 8 hari hanya untuk mengurus izin badan usaha. Jika membangun di luar kawasan industri, investor harus mengurus 11 perizinan terkait dengan konstruksi, dan membutuhkan waktu paling cepat 526 hari.
Pada paket deregulasi kedua ini dipangkas menjadi hanya 3 jam. Investor sudah mengantongi izin dan bisa langsung merealisasikan investasinya.
Dengan proses 3 jam, investor sudah bisa mengantongi tiga produk perizinan, yakni izin prinsip, akta perusahaan, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Tidak hanya itu, untuk perizinan di luar kawasan industri, terutama di bidang sumber daya alam (SDA), pemerintah memangkas 14 perizinan menjadi enam perizinan, termasuk membersihkan 9 peraturan menteri sebelumnya. Jadi, berbagai izin yang dulunya banyak, kini dipermudah sehingga proses perizinan lebih cepat.
Soal pengamanan devisa hasil ekspor (DHE), pemerintah telah komitmen memangkas pajak deposito bagi eksportir yang menempatkan dana (DHE) dalam dolar AS maupun rupiah di perbankan dalam negeri.
Besaran pajak deposito valas di Indonesia adalah sebagai berikut: deposito 1 bulan besaran pajak 10 persen, deposito 3 bulan besaran pajak 7,5 persen, deposito 6 bulan besaran pajak 2,5 persen, dan deposito di atas 6 bulan besaran pajak 0 persen.
Jika DHE dikonversi menjadi rupiah, besaran pajaknya sebagai berikut: deposito 1 bulan besaran pajak 7,5 persen, deposito 3 bulan besaran pajak 5 persen, dan deposito 6 bulan besaran pajak 0 persen.
Pada umumnya respons pelaku usaha sangat positif atas keluarnya paket jilid II. Mereka menilai, paket kebijakan ekonomi jilid II kali ini lebih efektif dan implementatif untuk jangka pendek. Apalagi, pemangkasan perizinan diyakini akan menarik investor.
Yang menarik, muncul signal dari pemerintah bahwa paket kebijakan jilid II bukan merupakan paket terakhir yang akan diterbitkan. Karena saat ini beberapa peraturan yang berpotensi dipangkas sedang dikaji dari kementerian terkait untuk menjadi paket jilid III.
Konon isunya terkait penurunan suku bunga perbankan sebagai stimulus untuk sektor riil bergerak lebih dinamis di tengah melemahnya konsumsi domestik.
Hingga sekarang, sebanyak 16 Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang masuk dalam paket kebijakan jilid pertama, sudah selesai dibahas dan tinggal menunggu kelengkapan paraf menteri terkait dan persetujuan Presiden untuk ditetapkan.
Secara umum paket kebijakan ekonomi jilid II sebagian besar berkaitan dengan tiga sektor ekonomi, yaitu industri, ekspor, dan keuangan. Substansinya lebih banyak diarahkan untuk mempercepat proses investasi dan pemberian fasilitas perpajakan.
Di sisi kebijakan moneter yang menjadi ranah Bank Indonesia (BI), pun dilakukan relaksasi kebijakan. Pertama, potongan diskon pajak atas bunga deposito DHE. Kedua, pelonggaran syarat non-jaminan ekspor dari US$ 1 juta menjadi US$ 5 juta. Ketiga, penambahan fasilitas hedging atas utang valas dari hanya tiga bulan, enam bulan, ditambah setahun.
Adapun, insentif sektor fiskal yang menjadi ranah Kementerian Keuangan adalah pemberian insentif seperti tax holiday dan tax allowance serta pengampunan pajak atau tax amnesty di tahun depan.
Prosedur pemberian fasilitas pajak juga dipermudah. Yang juga menarik adalah rencana pemerintah memangkas pajak penghasilan badan, dari 28 persen menjadi 18 persen, dengan syarat tertentu, walaupun rencana ini menimbulkan pro dan kontra antar menteri.
Sama halnya dengan dunia usaha yang merespons positif, pelaku pasar keuangan pun merespons hal yang sama atas terbitnya paket kebijakan ekonomi jilid II. Apalagi, sebelumnya BI juga telah mengeluarkan lanjutan paket kebijakan ekonomi jilid I untuk menstabilkan nilai tukar rupiah seiring dengan paket kebijakan ekonomi jilid II.
Nilai tukar rupiah menguat pada kisaran Rp 14.600-an per dolar AS, dari sebelumnya yang Rp 14.800-an dan IHSGÂ masuk zona hijau ke kisaran 4.230-an, dari sebelumnya di kisaran 4.100-an.
Penguatan rupiah memang tidak lepas dari peran BI untuk mendinginkan pasar. Di samping melakukan intervensi di pasar spot, BI juga melakukan intervensi di pasar forward guna menyeimbangkan penawaran dan permintaan.
Kesimpulannya, semua pemangku kepentingan menyambut gembira paket kebijakan ekonomi jilid II, yang oleh banyak kalangan dinilai lebih memiliki sasaran jangka pendek, jika dibandingkan dengan paket jilid I yang lebih berorientasi jangka menengah-panjang.
Namun, publik juga mengingatkan pemerintah agar tidak berhenti dengan paket itu. Pemerintah tidak boleh bersikap terlalu gembira atas reaksi pasar yang terlihat menyambut paket itu dengan bergairah. Pemerintah tidak boleh terpukau oleh penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan IHSG yang berlangsung sesaat.
Selain karena masih bersifat sementara, rentang penguatan tersebut juga relatif terukur. Artinya, pasar tidak semata merespons positif peluncuran paket stimulus tersebut, tetapi di sana tersirat pula adanya posisi untuk menunggu alias wait and see.
Untuk itu, semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) harus terus mendorong pemerintah memastikan paket tersebut dapat diimplementasikan dengan sungguh-sungguh, tidak boleh setengah hati.
Ini perlu ditekankan, sebab dalam banyak kasus, pemerintah terlihat bagus saat menetapkan kebijakan, tetapi sudah menjadi rahasia umum buruk dalam implementasinya. Apalagi pemerintah telah komit mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid III yang lebih segera diimplementasikan.
Tentu lebih banyak agenda, inisiatif strategis, dan rencana aksi yang harus dijalankan pemerintah. Harapannya, semua itu dapat dikerjakan dengan baik karena sudah saatnya pemerintah lebih mengedepankan prinsip "talk less do more", banyak melakukan aksi nyata ketimbang berwacana.
Publik juga sudah telanjur terkooptasi dengan sinyalemen pemerintah bahwa paket kebijakan ekonomi jilid III lebih konkret, lebih efektif dan lebih nendang dalam mengatasi perlambatan ekonomi. Untuk itu, Presiden dan Wakil Presiden harus bisa memastikan semua paket kebijakan ekonomi yang diluncurkannya sungguh-sungguh berjalan sesuai rencana. (Sun/Igw)
Advertisement
Â
Penulis
Ryan Kiryanto
Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI)