Sukses

[OPINI] Parasitokrasi dan Residu Konflik Partai Golkar

Kisah Partai Golkar layaknya seperti sinetron picisan yang mempertontonkan konflik dan perpecahan dalam setiap musim tayangnya.

Liputan6.com, Jakarta - Konflik internal dalam sebuah partai besar lumrah terjadi. Jika partai terlembagakan dengan baik, maka akhir dari konfik tersebut justru malah bisa semakin memperkuat partai. Sayangnya, tidak semua partai terlembagakan dengan baik. Terlebih lagi, hanya sedikit partai yang memiliki politisi-negarawan yang mampu mencari solusi beyond their interests.

Kebanyakan yang ada adalah para parasit politik yang bekerja di partai untuk mencari penghidupan diri dan kelompok, pengamanan aset dan kepentingan, maupun kepuasan semu dari candu kekuasaan seperti layanan protokoler, penghormatan formalitas, hingga pemberian gelar dan sebutan tertentu.

Di negara demokrasi maju, konflik internal partai bukan fenomena yang jarang terjadi. Partai Buruh di Inggris misalnya, pernah mengalami masa surut panjang sebagai partai oposisi dari 1979 hingga 1997.

Selama 18 tahun, Partai Konservatif di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Margaret Thatcher dan John Major, berkuasa dengan beragam prestasi sehingga Partai Buruh semakin terbenam dalam konflik internal yang cukup tajam.

Namun, proses dialektika muncul dari konflik tersebut sehingga terbitlah manifesto New Labour, New Life for Britain, pada 1996 untuk mengoreksi paradigma lama partai tersebut, yang resisten terhadap ekonomi pasar, tapi juga seringkali mengingkari janji-janji muluk kampanye untuk memperjuangkan kaum buruh.

Di bawah kepemimpinan baru Tony Blair yang segar dan menjanjikan, Partai Buruh akhirnya memenangkan pemilu pada 1997 dan kemudian memegang tampuk kekuasaan hingga 2010.

Jika partai tidak terlembagakan dengan baik, konflik internal kepartaian biasanya akan mengarah pada dua muara. Pertama, terjadinya party split saat faksi-faksi yang tidak puas mendirikan partai-partai baru.

Akibatnya, tentu kekuatan partai yang tersisa semakin tergerus dan dengan semakin banyak rival eksternal yang secara emosional tidak friendly, maka sangat mungkin berbagai akses mobilisasi sumber daya politik dan massa menjadi semakin banyak yang tertutup.

Party split juga terjadi ketika banyak politisi partai yang berkonflik internal tersebut pindah ke partai-partai lainnya.

Kedua, terjadinya political party decay, di mana pembusukan partai justru dilakukan oleh elemen-elemen yang merasa menang, yang menjalankan partai sebagaimana layaknya mengelola usaha dagang.

Atau proses pembusukan kepartaian dilakukan oleh anasir-anasir yang kalah atau terkalahkan dalam kompetisi internal kepartaian tersebut, yang tidak segan-segan melakukan sabotase internal untuk menghancurkan kekuatan faksi lawan yang sedang memegang tampuk kepemimpinan partai.

Partai Golkar meski menyandang sebagai partai terbesar kedua hasil pemilu legislatif 2014, dan sebelumnya lama menjadi the backbone dari rezim otoriter Orde Baru sehingga mampu menjadikannya sebagai hegemonic party selama lebih dari tiga dekade, belumlah menjadi partai moderen yang terlembagakan dengan baik.

Kisah Partai Golkar sejak bermetamorfosis dari Golkar pada 1998, layaknya seperti sinetron picisan yang mempertontonkan konflik dan perpecahan dalam setiap musim tayangnya, bukan dramaturgi bermutu yang menyampaikan nilai-nilai karya dan kekaryaan.

Perpecahan pertama pada 1998 melahirkan misalnya Partai Keadilan dan Persatuan di bawah Jenderal (Purn) Eddy Sudradjat, Partai MKGR, maupun Partai IPKI. Kemudian lahir pula Partai Karya Peduli Bangsa dan Partai Patriot Pancasila yang menjadi kontestan dalam pemilu 2004, yang dimotori para mantan politisi Partai Golkar.

Kemudian, sebagai ekses dari konflik yang tajam terkait kandidasi dalam pemilihan presiden langsung 2004, lahirlah misalnya Partai Hanura dan Partai Gerindra yang dipimpin mantan peserta konvensi capres Partai Golkar.

Berikutnya, pasca Munas Riau tahun 2009 lahirlah Partai Nasdem yang menjadi satu-satunya partai pendatang baru pada pemilu legislatif 2014 dan mampu meraih 6,72% suara.

Jika perpecahan adalah kisah klasik rutin di dalam Partai Golkar, belajarkah para elit partai beringin ini dari pengalaman-pengalaman cukup traumatik di masa lalu? Sayangnya para elit Partai Golkar saat ini terutama Aburizal Bakrie dan para kroninya yang masih merasa berhak memimpin partai, merupakan tipikal politisi selfish pembentuk parasitokrasi di Partai Golkar.

Mereka sepertinya lebih memikirkan individual and group gains dibandingkan party gain, apalagi party survival.

Dalam kamus berpolitik mereka, partai hanyalah instrumen atau semacam 'usaha dagang' untuk menjalankan suatu spoil system atau politik patronase tertentu yang menjaga tersalurkannya proyek, konsensi, maupun anggaran negara ke kelompok sendiri atau rekanan kroni mereka, supaya bisa mendapatkan persentase komisi dan saham.

Kasus "Papa Minta Saham" hanya sejumput kecil dari praktik patronase politik ini. Kengototan mereka untuk tetap menguasai partai meski selama periode kepengurusannya telah gagal mencapai program catur suksesnya, yaitu sukses konsolidasi, kaderisasi, pemikiran baru, dan sukses dalam berbagai pemilu juga menunjukkan minimnya kesadaran berpartai dan rendahnya moralitas politik mereka.

2 dari 2 halaman

Golkar Akan Menjadi Abu Sejarah?


Konflik Partai Golkar akan segera menuju lorong solusi yang lebih bisa diterima akal sehat. Inisiatif Poros Muda Partai Golkar untuk mencari solusi dan imbauan para sesepuh sebenarnya telah mengarah pada muara yang sama, yaitu Munas Bersama sebagai solusi politik par excellence karena solusi hukum hanyalah semakin membelah dan merusak partai.

Mekanisme organisasi menuju ke sana sedang digodok oleh institusi yang masih memiliki legalitas yaitu Mahkamah Partai Golkar, dan jika ada political will yang baik tentu para anggota MPG dapat segera memutuskan langkah solusi kelembagaan untuk menghidupkan kembali Partai Golkar, yang secara de jure sekarang ini tidak memiliki kepengurusan yang sah.

Kalaupun tetap muncul penolakan dari Ical dan para selfish cronies-nya yang mulai berantem berebut posisi di DPR, maka penolakan mereka hanya akan menjadi gertakan kosong di awal, karena begitu mekanisme organisasi berjalan, mereka pun pasti akan mencoba jumping to the bandwagon, yaitu mengikuti proses Munas Bersama.

Mereka tentu tidak bernyali untuk terus memproses kebinasaannya dalam politik dengan mencoba menekan atau membujuk pemerintah, untuk mengakui legalitas kepengurusannya yang dihasilkan dari Munas Bali yang problematik.

Yang masih menjadi pertanyaan jika memang nantinya ada Munas Bersama dan diikuti semua pihak yang bertikai, apa yang akan tersisa dari proses politik tersebut? Jika integritas masih kalah dengan isi tas, tentu Partai Golkar akan tetap berada di bawah kendali para parasit politik yang oportunis dan penuh vested interests.

Akibatnya bisa ditebak, solusi politik tersebut akan terus membakar Partai Golkar dan menjadikannya abu sejarah karena kemenangan parasit politik pasti akan menuai resistensi internal yang tajam, dan konflik baru akan mudah berkembang.

Kelanjutannya tentu dapat dikira-kira, yaitu tidak sampai dua siklus pemilu Partai Golkar akan menjadi memento dari sejarah parasitokrasi di Indonesia, dan partai pecahan baru akan lahir.

Namun, jika muncul semangat baru untuk memotong parasit politik di dalam partai beringin ini dan muncul wajah-wajah baru yang relatif ringan beban politiknya, maka abu yang menjadi residu konflik Partai Golkar hanyalah sedikit, dan dengan semangat korektif Partai Golkar dapat menelurkan suatu paradigma yang lebih baru lagi dan memulai tradisi kepartaian yang sehat, dengan penerapan demokrasi internal dan tata kelola kepartaian yang baik.

Dengan hanya melakukan transformasi menuju partai programatik, yang memiliki platform politik yang jelas dan terukur untuk memantapkan dua elemen pentingnya yaitu programmatic coordination dan programmatic linkages (Herbert Kitschelt et.al., 2010), maka Partai Golkar akan dapat menghadirkan kembali relevansinya di masyarakat.

Partai Golkar masih dipandang sebagai partai yang bagus kemampuan teknokratik dan rekayasa politiknya, dan karenanya kemampuan tersebut dapat diprogram untuk memperkuat koordinasi dalam pembuatan keputusan politik dan kebijakan publik yang menguntungkan rakyat.

Dari situ, upaya untuk menjalin keterhubungan dan mendapatkan kepercayaan dari pemilih akan dapat dilakukan secara rasional, karena ikatan yang terbentuk tidak lagi berdasarkan nostalgia, sentimen kedaerahan, maupun relasi patronase tertentu, tapi karena kesamaan agenda partai dengan aspirasi publik.

Pilihan-pilihan organisasional pasca critical juncture yang terjadi biasanya akan menjadi lasting legacy, dan karena itu Munas Bersama sebagai solusi politik tidak boleh dipandang sesempit sebagai upaya membentuk kepengurusan baru partai.

Kepengurusan sendiri sebenarnya hanyalah fungsi dari tatanan dan tradisi kepartaian. Karena itu, jika ingin mengurangi residu tidak perlu dari konflik sekarang ini, maka Munas Bersama harus dijadikan juga sebagai ajang dialektika untuk menemukan kembali platform baru Partai Golkar.

Hanya dengan menghadirkan kebaruan dalam politik, masa depan elektoral Partai Golkar dapat dijaga.

Sekarang ini Partai Golkar telah menjadi pariah dalam politik, di mana elektabilitasnya terus mengalami penurunan sebagaimana tampak dalam temuan survei nasional Populi Center pada Januari dan Oktober 2015, dari sekitar 12 ke 10 persen, dan sekarang ini pastinya sudah satu digit saja setelah konflik berkepanjangan dan kinerja buruk dalam pilkada serentak.

Kalaupun memang Partai Golkar harus menjadi masa lalu karena macetnya solusi politik maupun tetap menangnya kekuatan parasit, demokrasi Indonesia tidaklah akan mengalami kemunduran.

Para politisi dan kader baik dari partai ini pastinya akan meneruskan perjuangan politiknya di partai atau lembaga baru lainnya, dan semangat karya dan kekaryaannya dapat direvitalisasi lagi.