Liputan6.com, Jakarta - Pergi ke pasar selalu saja merupakan pengalaman yang menyenangkan. Kita tetap rela berbecek-becek ria menyusuri los-los di pasar tradisional. Meskipun sekarang sudah banyak sekali mal yang mengkilat, wangi, sejuk, dan mentereng, kita juga masih tetap suka berpetualang ke pasar kaget.
Kini, ketika pasar sudah bisa pindah ke kamar pribadi kita, dengan hanya sekali klik atau sentuh, lantas pengalaman belanja macam apakah yang kita rasakan?
Ketika Pierre Omindyar memutuskan untuk membuat pasar daring (online shopping) yang kini terkenal di seluruh dunia, yaitu ebay.com, dia sendiri sama sekali tak mengira bahwa itu akan menjadi terobosan besar dalam dunia bisnis dan menawarkan pengalaman belanja yang tidak pernah terasa sebelumnya. Apa sebenarnya yang ditawarkan oleh jenis pasar yang baru ini?
Advertisement
Dengan bangga seorang istri bercerita pada saya, bahwa bisnis suaminya jualan kaos metal di pasar daring rupanya telah turut memberi andil pada sebuah band metal, yang tadinya lama tidak naik panggung kini mulai beraksi kembali. Kaos yang dijualnya ternyata telah membangkitkan memori dan ikatan solidaritas baru di antara penggemar band itu, yang kemudian meminta mereka untuk naik panggung kembali.
Cukup mengejutkan bahwa si suami menjalankan bisnisnya di Bekasi Indonesia, sedangkan band itu tinggal di Phoenix, Amerika Serikat. Saya kira, si istri patut berbangga sebab dia sebenarnya turut menyaksikan betapa sekat dunia sudah bisa dilipat ke dalam sebuah kaos di pasar daring.
Tetapi, siapakah yang mampu melipatnya? Tidak lain adalah komunitas, yaitu pertemuan akrab antar-manusia yang lintas lokasi, lintas identitas.
Â
Baca Juga
Pengalaman baru berkomunitas, itulah yang ditawarkan oleh pasar daring. Ini mengingatkan kita kembali pada warung-warung lama di kampung yang memberikan tempat pada perbincangan apa saja bagi pengunjungnya, mulai dari gosip antar-tetangga sampai debat politik tingkat tinggi.
Keakraban perbincangan itu yang kemudian diabaikan di pasar modern, baik yang disebut pasar swalayan di masa Orde Baru maupun supermall di era Reformasi. Di pasar modern, pengunjung dikondisikan hanya untuk bertemu dengan komoditas, tetapi tidak dengan manusia sebagai komunitas.
Pengunjung dibiarkan terpesona dengan kemegahan bangunan pasar modern itu, dan kementerengan barang-barang yang ditata di konter-konter yang membius melalui mantra di balik merk. Di tempat seperti ini, komoditas menjadi lebih penting daripada pertemuan antar-manusia.
Padahal, pasar yang baik seharusnya tidak melupakan fungsi awalnya, yaitu mempertemukan manusia untuk memperbincangkan keragaman kebutuhannya dan menyadari kesenjangan kebutuhannya. Itulah alasan dasar mengapa dulu manusia saling bertukar barang, menjual, dan membeli.
Berbeda dengan pasar modern itu, komoditas yang dipertukarkan di pasar daring kini perlu kita lihat sebagai saluran pertemuan antar-manusia dari pelbagai bangsa. Di balik benda-benda komoditas itu tersimpan memori, jejak perasaan, juga momen peristiwa dalam hidup seseorang.
Ketika benda itu dipertukarkan dalam perbelanjaan daring, seseorang lain akan mengisinya dengan makna-makna baru. Dengan begitu, benda-benda itu menjadi hidup, terlibat dalam perjalanan manusia memberi makna atas kehidupannya.
Maka, ketika seseorang melayangkan status di dinding Facebook-nya: "Hari ini air mata tak tertahan. Nggak kebagian sepatu cantik itu. Sold out banget-banget. Hiks," pada titik itulah dia merasakan betapa sepasang sepatu telah menjadi bagian penting dalam satu momen pengalaman hidupnya.
Apakah status seperti ini merupakan iklan tak sengaja, yang tanpa diniatkan telah menggoda teman-teman di rantai jaringan Facebook-nya, untuk juga tertarik pada komoditas yang dia idamkan? Di hadapan dunia jejaring, mungkin biro periklanan harus meninjau ulang posisinya.
Saya teringat pada cerita yang dituturkan seorang kawan saya yang berdagang pakaian di kaki lima, tentang betapa herannya dia dengan kecepatan kabar dari mulut ke mulut antar-pembeli tentang mode pakaian yang sedang tren. Jelas, dia tidak membutuhkan jasa biro iklan sama sekali. Semuanya sudah dikerjakan dengan baik oleh ledakan percakapan dari mulut ke mulut.
Di pasar daring seseorang bisa bercakap-cakap dengan sesama pembeli. Tentu mereka mulanya berbagi komentar tentang barang yang pernah mereka beli. Tetapi percakapan bisa melebar ke soal lain, ke urusan hobi sampai ke perihal kemuakan terhadap anggota dewan.
Di Indonesia, kaskus.com adalah contoh yang paling awal dalam menjajal terobosan ini. Karena itu, pasar daring tidak dapat dilepaskan juga dari ledakan percakapan di pelbagai situs, dari Facebook sampai WhatsApp, dan segala apapun yang kini disebut medsos. Semuanya membentuk rantai percakapan manusia yang tiada henti. Dan, percakapan yang apa adanyalah yang membentuk komunitas.
Di sinilah bedanya pasar daring dengan mal: Anda tidak bisa mengajak ngobrol seorang pelayan konter mal berlama-lama, kalau tidak ingin diseret satpam, kan? Sebaliknya, di pasar daring berlaku hukum "belanja dan bercakaplah". Tentu selalu saja ada pedagang daring yang belum terlalu canggih mengikuti hukum ini, sehingga ketika menerima komentar negatif dari seorang pembeli, dia langsung saja mencak-mencak.
Dipikirnya semua pembeli seharusnya melayangkan hanya komentar positif atau setidaknya diam saja. Pedagang semacam ini belum menyadari bahwa di arena pasar daring percakapan macam apapun selalu membawa peluang. Saya kira, Achmad Zaky, CEO bukalapak.com, sebagai salah satu contoh, menyadari hal ini ketika dia memutuskan untuk membuka diri bercakap-cakap dengan pengguna situsnya.
Kita telah memasuki zaman baru berbelanja. Pasar daring memberikan kita peluang untuk kembali membangun pertemuan antar-manusia dengan segala macam-ragamnya. Apakah kita sebagai komunitas besar yang disebut kampung global ini, dapat tetap mempertahankan peluang itu? Ataukah, kita akan terjerumus lagi pada masyarakat tertutup yang bernafsu sekali untuk melarang-larang orang bertemu dan mempercakapkan apa saja?