Sukses

[OPINI] Dua Laga Krusial Pengubah Nasib Tottenham

Meski West Ham United dikenal sebagai "pembunuh raksasa" musim ini, Spurs adalah satu-satunya "raksasa" yang mampu menaklukkan Slaven Bilic.

Liputan6.com, Jakarta Pernah membaca atau dengar judul tulisan So Near And Yet So Far? Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih artinya adalah nyaris sukses, tapi kemudian gagal.

Salah satu judul buku olahraga yang terkenal tentang situasi nyaris sukses itu adalah autobiografi Sir Bobby Robson, saat masih menjadi pelatih kepala timnas The Three Lions. Almarhum, mantan pelatih Barcelona dan NewcastleUnited ini, dalam buku So Near And Yet So Far menceritakan secara gamang kegetirannya ketika Inggris nyaris menembus babak semifinal Piala Dunia 1986, sebelum disingkirkan oleh "Tangan Tuhan" Diego Armando Maradona yang terkenal.

Nah, salah satu pemain yang ada di tim Inggris yang berlaga di Piala Dunia Meksiko itu adalah Gary Andrew Stevens, yang bermain untuk Tottenham Hotspur.  Satu musim sebelum Piala Dunia, pemain kelahiran 30 Maret 1962 ini sempat merasakan tragisnya nyaris menjadi juara sebuah kompetisi elite. 

Belum bernama Premier League seperti sekarang, tapi Divisi Utama Liga Inggris ketika itu masuk salah satu yang terbaik di Eropa.  Mungkin hanya kalah dari greget serie A di era 80-an.
    
Spurs, saat itu diperkuat oleh penjaga gawang kedua timnas Inggris, Ray Clemence. Kemudian bek kiri Republik Irlandia, Chris Hughton, yang kemudian menjadi pelatih Aston Villa. Lalu di lapangan tengah yang solid karena disamping Stevens sendiri ada gelandang timnas Argentina, Osvaldo Ardiles. Untuk jangkar, mereka punya Glenn Hoddle, serta di barisan depan memiliki Clive Allen. Goal getter subur yang di musim 1986/87 menjadi top scorer Divisi Utama.
    
Awal 1980-an adalah musim gelar bagi The Lillywhites di bawah Keith Burkinshaw. Mereka jadi juara Piala FA 1981 dan 1982, serta gelar Piala UEFA musim 1983/84 setelah mengatasi RSC Anderlecht lewat adu penalti di White Hart Lane, usai dua leg final dengan agregat gol sama.

Hengkangnya Burkinshaw karena berbeda pendapat dengan direksi Tottenham Hotspur, membawa perubahan managemen di White Hart Lane.


Di bawah penanganan Peter Shreeves yang selama empat musim sebelumnya adalah asisten Keith Burkinshawa, permainan jelas tidak berubah, tapi prestasi jelas dan nasib jelas berubah. Setelah awal musim 1984/85 yang agak alot, di mana Glenn Hoddle dkk harus kalah sampai lima kali sejak November hingga awal Maret, sebenarnya Spurs tidak terkalahkan dalam 14 laga.

Sehingga total raupan 54 poin dari 27 laga mereka dapatkan, dan berada di urutan kedua. Hanya 2 poin dari Everton dan 5 angka menjauh dari Manchester United. Sama dengan pencapaian musim 2015/16 sekarang, yang merupakan rekor pengulangan terbaik Spurs.
    
Gary Stevens, yang sekarang adalah pundit BPL untuk Astro Malaysia, pasti masih ingat bagaimana langsung berubahnya keberuntungan The Lillywhites, setelah mereka kalah dari Manchester United di White Hart Lane di laga ke-28, laga yang seharusnya mereka bisa menangkan sebelum kalah di akhir-akhir pertandingan.  

Selanjutnya di sisa musim kompetisi, pasukan Peter Shreeves ini harus mengalami lima kekalahan lagi yang semuanya terjadi di White Hart Lane, sehingga memupus asa juara dan hanya ada di urutan ketiga di akhir musim kompetisi – yang saat itu masih terdiri dari 22 tim – di bawah Everton dan Liverpool. Padahal dalam head to head melawan dua wakil Merseyside itu, Spurs unggul. Konsistensi yang hilang di penghujung musim.

Mengapa saya bicara panjang lebar soal musim "nyaris" pasukan London Utara ini? Karena mereka akan menjalani laga ke-28 berhadapan dengan West Ham United pertengahan minggu ini, dan kemudian Derby London Utara di akhir minggu. Dua laga krusial yang bisa menjadi kunci, apakah anak asuhan Mauricio Pochettino yang demikian luar biasa musim ini, bisa mematahkan mitos "tanpa mental" yang sering disematkan pada mereka.

Change The Winning Team

Tidak seperti pakem sepakbola, never change the winning team, Mauricio Pochettino selalu mengubah pasukannya dari pertandingan ke pertandingan, terutama dua bek sayapnya. Pasangan Kyle Walker – Danny Rose selalu dimainkan setelah pasangan Kieran Tripper–Ben Davies menjalankan tugas di laga sebelumnya. Hasilnya tetap kelas satu. Urutan kedua klasemen dan catatan 100% dalam enam laga terakhir BPL.  

Dengan Leicester City tertahan imbang oleh WBA di week 28, kini peluang Hugo Lloris dkk untuk merangsek naik ke puncak klasemen untuk pertama kalinya musim ini. Kuncinya adalah jangan membiarkan West Ham United atau Arsenal menjadi Manchester United di musim 1984/85 bagi The Lillywhites.

Walaupun, West Ham United dikenal sebagai "pembunuh raksasa" musim ini, Spurs adalah satu-satunya "raksasa" yang mampu menaklukkan pasukan Slaven Bilic musim ini.

Gary Andrew Stavens dan juga pundit-pundit lainnya pasti akan menginngatkan hal ini. Terlepas sekarang bagaimana mental pemenang dalam diri setiap pemain The Lillywhites yang akan menjawabnya. Konsistensi di setiap sisa 11 laga yang harus dimainkan oleh Hugo Lloris dkk.  Konsistensi yang tidak bisa diwujudkan oleh Gary Andrew Stevens dkk 29 musim lalu.