Sukses

[OPINI] Sinema Animasi yang Berubah, Kungfu Panda 3

Sinema animasi modern kini, tak lagi menjadi sekedar kisah yang bisa dinikmati oleh anak-anak. Sinema animasi modern telah berubah.

Liputan6.com, Jakarta - Film masa kini adalah tentang 'bagaimana menyampaikan', tak lagi sekedar 'apa yang ingin disampaikan'. Demikian kata Bagus, kawan saya yang bersama anak-anaknya baru keluar dari dalam bioskop menyaksikan Kungfu Panda 3 (2016).

Ia merasa lebih dari sekedar terhibur dan senang, demikian juga kedua putrinya yang masing-masing berusia 8 dan 5 tahun. Keduanya tak henti menceritakan aksi Po dan kawan-kawan yang bagi mereka sangat lucu dan menyenangkan.

Bagus dan kedua putrinya menyenangi apa yang mereka baru saksikan, tentu saja dengan cara mereka masing-masing. Ketika kedua putrinya menangkap kelucuan demi kelucuan serta permainan warna yang menarik dari film yang mereka saksikan, maka Bagus menangkap lebih dari itu

"Buat gue ini adalah tentang bagaimana menjadi diri sendiri lebih baik daripada berpura-pura jadi orang lain."

Demikianlah sinema animasi modern kini mengemas hiburannya. Tak lagi menjadi sekedar kisah yang bisa dinikmati oleh anak-anak seperti yang kita lihat di masa lalu.

Sinema animasi modern telah berubah. Bagi para pembuatnya, animasi hanyalah cara untuk menyampaikan gagasan besar yang dimiliki. Animasi bukan lagi medium kekanak-kanakan yang lalu menjadi basi saat dinikmati oleh mereka yang penonton dewasa.

"Mungkin serupa dengan keadaan kisah-kisah superhero yang dulu praktis konsumsi anak-anak atau remaja, kini telah menjadi jauh lebih dewasa," ujar Bagus sembari menyebut karakter-karakter seperti Batman, Superman, Deadpool sampai Spiderman.

Ia tak sepenuhnya salah, tapi pada medium komik revolusi, itu telah terjadi jauh lebih lama lagi. Telah sejak lama novel grafis di Barat sana mengenal istilah kategorisasi usia, karena ia tak lagi diperuntukkan bagi anak-anak belaka, tapi juga pembaca dewasa.

Karya grafis masa kini memang tak lagi melulu jadi medium hiburan bagi anak-anak. Kita melihat bagaimana sejak Tim Burton menelurkan Batman (1989), si manusia kelelawar tak lagi menjadi idola anak-anak. Si manusia kelelawar sejak saat itu menjadi lebih digali wilayah psikologisnya, sosok muram yang kesepian dan susah tidur akibat trauma masa kanak-kanak.


Sejak awal kemunculannya di tahun 2008 pada Kungfu Panda, karakter Po memang diberikan beban yang sebenarnya tidak ringan. Ia tak hanya "diminta" menghibur para anak-anak dan orang tua mereka, tapi juga memberi pesan yang sederhana namun kena pada mereka.

Sosok Po yang bundar khas binatang Panda, adalah mainan pas untuk gambaran sosok yang terlalu jauh dari sempurna untuk menjadi seorang ahli kungfu.

Makhluk yang sejatinya doyan tidur, pemalas, dan rajin makan ini tidaklah memiliki karakter sekuat harimau, kera, atau bahkan jangkrik sekalipun untuk menjadi seorang ahli kungfu. Lalu Disney dengan kemampuan mengemasnya yang luar biasa, mampu bertutur layaknya para motivator yang rajin berdiri di depan kelas.

Po adalah representasi banyak dari kita yang memang tak pernah sempurna. Seperti kebanyakan kita, pada awalnya ia pun coba jadi "orang lain" demi mencapai cita-citanya sebagai pendekar utama perguruan kungfu Master Ogwai. Nyatanya ia salah—sama seperti kita—karena menjadi seorang yang sukses pada suatu bidang tak harus membuat kita jadi mengubah siapa diri kita sebenarnya.

Disney kini telah memiliki Pixar sepenuhnya, dan seperti semangat yang diusung oleh Pixar saat melakukan debut luar biasa mereka lewat Toy Story (1995), karya-karya mereka tak lagi sekedar menghibur dan menyenangkan, tapi juga berisi.

Saya berani bertaruh bahwa banyak orang berpendapat naskah dari Zootopia (2016) jauh lebih menarik dan rumit ketimbang The Revenant (2016) nya Alejandro Gonzales Innaritu, yang lebih meledak di pasar dan dijagokan di Oscar 2016 lalu. Kisah fabel sebuah peradaban modern para hewan itu tak hanya cerdas cara bertutur dan menyenangkan sebagai sebuah hiburan, ia juga dibekali dengan plot yang luar biasa.

Siapa sangka bahwa rangkaian hewan hilang di dunia Zootopia nyatanya merujuk pada kisah tentang perbedaan yang dalam kehidupan nyata, bahkan banyak bangsa maju di barat sana sekalipun, masih kesulitan merumuskannya.

Prasangka stereotype pada suatu etnis diterjemahkan menjadi prasangka stereotype pada hewan tertentu sekaligus klasifikasinya. Seekor kelinci yang tak mungkin menjadi polisi karena pihak keamanan haruslah berasal dari ras pemangsa dan tangguh seperti harimau, badak, banteng, singa dan lain-lain. Atau rubah yang tak mungkin direkrut menjadi aparat keamanan karena mereka datang dari ras yang tak bisa dipercaya.

Sinema animasi kini tak lagi melulu cemen seperti masa lalu, saat Donald Duck yang terus menerus mengalami kesialan dan jatuh ke jurang. Tom yang terus menerus gagal memburu Jerry walau ia jelas lebih superior secara fisik dan kecepatan.

Sinema modern bertransformasi dengan zamannya. Kita menjadi lebih dekat padanya. Situasi yang digambarkan oleh segala kisah animasi—yang dulu hanya dinikmati oleh anak-anak yang semakin hari semakin ramai di layar bioskop-kini menjadi lebih dekat.

Tom yang tak pernah mati walau terus menerus dihantam martil kiriman akal cerdik Jerry atau Goofy yang rutin tertimpa rumah, kini semakin sulit ditemukan. Cerita anak-anak modern masa kini telah berkisah tentang masa depan yang sunyi (Wall-E, 2008), emosi yang membentuk kita (Inside Out, 2015), atau bahkan idola tertinggi pun tak juga sempurna (Up, 2009)

Menyaksikan itu semua anak-anak memang belum tentu mampu menangkap konten yang disampaikan. Abigail Maryam, putri saya yang berusia 8 tahun dan mulai lancar berbahasa Inggris pun, belum sedalam itu menangkap pesan Zootopia misalnya. Ia tertawa menyaksikan kelucuan dan aneka warna yang dipamerkan serta teknologinya yang semakin sempurna mendekati bentuk nyata.

Ia memang tak memahami apa yang saya ataupun para orang dewasa lainnya pahami saat menyaksikan Inside Out misalnya. Tapi sinema animasi masa kini—atau yang dulu kita sebut Film Kartun—telah menghibur para anak dengan tawa mereka di satu sisi, sekaligus membuat orang dewasa seperti kita terhenyak dan memahami bahwa kehidupan sungguh besar dalam sinema.

Kawan saya, Bagus, memahami hal yang sama dengan saya. Ia tak lagi melulu tertawa seperti jika kami menyalakan saluran televisi kabel dan melihat Donald Duck yang dikejar ikan hiu. Selepas Kungfu Panda 3, kami seperti mendapatkan energi baru untuk berpikir lebih luas dan merasa bahwa kami tidak sendirian untuk coba jadi diri kami sendiri tanpa perlu berubah jadi orang lain, hanya untuk bisa disebut sukses oleh lingkungan.

Saat keluar dari bioskop setelah menyaksikan franchise binatang khas bangsa China ini, saya sempat berpikir, andaikan mendiang penulis besar Pramoedya Ananta Toer sempat menyaksikan film ini, mungkin ia akan menerima tawaran transformasi tetraloginya menjadi karya komik. Saat itu ia menolak dengan alasan yang sangat tegas namun sebenarnya tak relevan pada zamannya, "Karya saya bukan untuk anak-anak!" tegas dia.