Liputan6.com, Jakarta Kartini, seorang perempuan yang lahir dan dibesarkan dari keluarga ningrat, tiba-tiba harus berhenti mengenyam pendidikan di usia 12 tahun. Padahal saat itu dia tengah dahaga menyerap kehidupan lewat pengetahuan. Namun karena alasan tradisi, Kartini harus menerima nasibnya.
Beruntung perempuan itu masih bisa menyesap ilmu dari berbagai buku dan surat kabar kiriman dari Negeri Belanda. Lewat buku, imajinasi dan wawasannya berkembang luas. Namun, saat ia menatap kehidupannya, yang ia lihat hanyalah sangkar yang sempit bagi para perempuan pribumi, tak terkecuali dirinya.
Meminjam istilah sekarang, sang perempuan merasa "galau". Banyak hal yang ingin ia lakukan namun harus terkubur. Katanya, "gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya."
Advertisement
Kegalauan sang perempuan kemudian dituangkan lewat surat-surat yang ia layangkan kepada sahabat-sahabatnya di Negeri Belanda. Semasa hidupnya yang terkungkung tradisi, perempuan muda itu bermimpi akan lahirnya sebuah bangsa di mana kaum perempuannya memiliki kemerdekaan, kebebasan, kesetaraan, dan bisa berdaya sepenuhnya.
Mengenal sosok RA Kartini hanya lewat gambar dan tulisan, rasanya memang tidak akan mampu menafsirkan apa yang beliau perjuangkan untuk para perempuan di masanya.
Berdasarkan cerita mengenai kehidupannya dan kutipan kata-kata beliau,
"bermimpilah selama engkau dapat bermimpi." –R. A. Kartini, izinkan saya bertanya: Apakah mimpi-mimpi RA Kartini sudah terwujud? Benarkah perempuan Indonesia telah memiliki kebebasan, kesetaraan, kemandirian dan kemapanan? Adalah Kartini-Kartini masa kini yang tak lelah berjuang?
Saya jadi teringat pada seorang teman perempuan yang tengah banting setir membangun UKM di sebuah desa. Posisi tinggi di perusahaan multi-nasional dan kehidupan nyaman di Jakarta rela ia tinggalkan demi mewujudkan hidup lebih bermakna.
Membaca statusnya di laman Facebook, ia terlihat sangat menikmati kesibukannya. Apalagi keputusannya didukung penuh oleh suami dan anak. Mungkin impian RA Kartini bahwa perempuan Indonesia memiliki kebebasan, kesetaraan, kemandirian, dan kemapanan sudah terwujud pada diri teman saya ini.
Dengan bebas ia bisa menentukan mimpinya. Bersama pasangannya ia setara menentukan jalan hidup, sebagai pribadi yang merdeka ia memiliki kemapanan dan kemandirian untuk membangun hal yang berguna bagi sekitarnya.
Pantas rasanya jika ia saya anggap sebagai contoh "Kartini" masa kini yang berjuang untuk memajukan dan "memerdekakan" masyarakat di desa tempat ia tinggal sekarang.
Baca Juga
Teman saya yang lain punya cerita berbeda. Bekerja puluhan tahun di bidang kreatif, serta merta ia tinggalkan ketika menyadari bahwa ia ingin berkeliling Indonesia. Ia lalu membuat blog berisi cerita dan foto mengenai perjalanannya. Dalam waktu relatif singkat, blog-nya banyak dikunjungi. Tak disangka, banyak yang menyatakan ingin ikut bertualang ke pelosok Indonesia.
Tangkas teman saya melihat peluang. Ia kemudian menciptakan sebuah komunitas wisata di mana ia membantu mengatur perjalanan, akomodasi, dan acara. Sekarang, setelah mengunjungi banyak pulau-pulau di Indonesia, ia juga dikenal sebagai penulis wisata dan pernah beberapa kali tampil di layar kaca. Tak bisa saya bayangkan apabila ia hidup di masa RA Kartini!
Memang harus saya akui bahwa perempuan Indonesia di era digital semakin tangkas dan cerdas. Apalagi dengan kemudahan sarana komunikasi yang tersedia sekarang. Coba saja lihat jumlah komunitas perempuan yang ada. Komunitas-komunitas tersebut pada mulanya berdiri karena kesamaan kebutuhan atau kegemaran.
Ada yang beranggotakan para ibu menyusui, para perempuan yang peduli pada gaya hidup, para penderita dan survivor kanker payudara yang saling menguatkan, para perempuan yang ingin meningkatkan minat baca anak-anak di penjuru Indonesia, para perempuan yang ingin belajar berwirausaha, hingga para perempuan yang berbagi tip rumah tangga lewat tulisan pendek.
Tanpa disadari, komunitas-komunitas tersebut menyebar "virus" positif yang pengaruhnya terasa dalam skala lebih luas. Ada yang kemudian bisa secara rutin mengirimkan buku dan majalah bekas ke pelosok Indonesia, ada yang menerbitkan buku mengenai cara berwirausaha dari rumah, ada juga yang rutin memberi sumbangan pengobatan kepada penderita kanker payudara.
Tanpa adanya hal-hal yang diidamkan RA Kartini, yakni kemerdekaan, kebebasan, keseteraan, kemandirian dan kemapanan, tentu sangat muskil bagi komunitas-komunitas itu untuk bisa terwujud dan bergerak.
Sekarang berbagai profesi juga membuka pintunya lebar-lebar untuk kaum perempuan. Kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan formal pun dirasakan oleh kebanyakan perempuan Indonesia, sebagaimana kesetaraan dalam jabatan tertentu. Sudah menjadi hal yang lumrah melihat perempuan menjalankan profesi yang dulu didominasi kaum laki-laki, termasuk menjabat di institusi pemerintahan.
Kemandirian kaum perempuan juga tampak kian kuat. Bisa jadi karena berbagai kemudahan di era yang serba canggih ini, perempuan menjadi lebih leluasa untuk melakukan banyak hal sendiri.
Sedangkan untuk urusan kemapanan, karena semakin banyak perempuan yang bekerja atau berbisnis, sehingga banyak perempuan yang memiliki kebebasan dalam mengatur rencana keuangan.
Tak sedikit juga perempuan yang memiliki kemapanan finansial, sehingga mereka bisa melakukan banyak hal untuk mengembangkan diri sendiri, perusahaan, atau lingkungan.
Berdasarkan banyak hal mengenai perempuan Indonesia, tak berlebihan rasanya jika saya beropini bahwa apa yang diidamkan RA Kartini sudah mulai tampak wujudnya, meski masih jauh dari merata.
Namun saya pribadi bisa merasakan geliat para "Kartini era digital", yang akan terus bergerak dan merobohkan tembok-tembok yang memenjara perempuan agar mereka bisa merdeka dan berdaya sepenuhnya.