Liputan6.com, Jakarta Saya lahir dan dibesarkan di sebuah bangsa dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Tapi, negara tempat saya menghirup oksigen ini bukanlah Negara Islam. Karena itulah sejak saya kecil, melihat wanita Muslim memakai jilbab, hijab, atau kerudung adalah hal yang lumrah.
Nenek saya selalu memakai selendang untuk menutupi kepala dan rambutnya, meski ia berkebaya dan berkain batik. Guru TK saya ada yang memakai kerudung dengan padanan busana kerja yang syar’i. Teman sekolah saya ada juga yang memakai jilbab dengan padanan seragam berpotongan serba panjang.
Baca Juga
Bahkan pedagang telur di pasar dekat rumah orangtua saya, memakai kerudung yang kerap ia padukan dengan busana dari batik yang menurut saya mirip daster.
Advertisement
Tidak ada yang istimewa dengan wanita Muslim yang memakai jilbab atau hijab, karena mereka ada di hadapan saya dan beraktivitas layaknya saya dan wanita lain yang tidak memakai atribut tersebut sejak dulu. Beberapa label busana Muslim pun sudah bermunculan sejak dulu dan bertahan sampai kini.
Yang justru menggelitik perhatian saya adalah perkembangan dalam jumlah dan keragaman wanita yang memakai hijab dalam 10 tahun terakhir. Sadar atau tidak, jumlah wanita yang berhijab memang semakin banyak. Dan kebanyakan dari wanita yang berhijab itu berusia di bawah 25 tahun dan sudah bekerja.
Apabila dilihat dari sisi kebutuhan wanita bekerja pada usia tersebut, itu berarti keinginan untuk tetap terlihat menarik meski berpenampilan santun dan syari'i yang cukup besar, serta daya beli yang cukup tinggi.
Â
Baca Juga
Menurut opini saya pribadi, dua hal itu menjadi faktor yang turut berkontribusi dalam "merevolusi" gaya busana Muslim. Generasi muda Muslim yang umumnya berhijab karena kemauan sendiri, itu juga memiliki keinginan untuk tetap terlihat gaya, namun bukan dengan memakai busana Muslim seperti yang dipakai ibu-ibu mereka.
Animo mereka yang besar secara tidak langsung mencipta sebuah gelombang perubahan untuk menghadirkan konsep berbusana santun dan syar'i namun gaya, muda, modern dan fashionable.
Menariknya, generasi Muslim milenial ini hidup dalam dunia tanpa sekat. Berterima kasihlah pada teknologi yang telah melahirkan sebuah dunia tanpa batas. Kecanggihan teknologi memunculkan sebuah kehidupan sosial dalam dunia maya.
Di sanalah para generasi muda pengguna hijab dengan mudah mendapat informasi dari berbagai sumber, di antaranya adalah para pelopor Muslim fashion blogger, seperti Jana Kossaibati, Hana Tajima, Basma Kahie, Zinah Nur Syarif, dan Dina Toki-o, dan masih banyak lagi.
Lewat penampilan sehari-hari dan tip dari bloggers yang berbeda-beda lokasi, tetapi memiliki gaya dan keyakinan yang sama itulah, para generasi Muslim milenial ini menyerap informasi seputar gaya dan penampilan untuk menghadirkan sebuah konsep berbusana santun dan syar'i yang sesuai dengan selera dan aktivitas mereka.
Beruntung juga tidak sedikit insan kreatif yang juga berasal dari generasi yang sama. Memiliki hasrat untuk menjawab kebutuhan generasi muda Muslim, dengan menghadirkan busana dalam konsep dan nafas yang selaras dengan animo mereka. Lewat insan kreatif muda Muslim itulah, berbagai indie label dan brand modest wear lahir dan bertumbuh.
Pertumbuhan indie label dan brand modest wear itu berjalan seiring aktivitas yang kian beragam, serta daya beli yang semakin besar.
Menariknya, para pelaku yang mencurahkan kreativitas mereka menjadi berbagai koleksi busana ini, memberi celah untuk para calon pembeli yang tidak memakai jilbab atau hijab, namun memiliki kebutuhan serupa: busana yang gaya, muda, modern, fashionable dan santun! Bahkan calon pembeli yang tertarik pun meruah kepada mereka yang tidak menganut keyakinan yang sama, namun memiliki kebutuhan yang serupa.
Pasar global, utamanya dalam industri mode, mulai menoleh pada keramaian yang tengah terjadi. Generasi Muslim milenial ini mulai diperhitungkan dan menjadi target. Kebutuhan mereka, gaya hidup, aktivitas hingga kepedulian mereka pun diperhatikan agar para pelaku industri mode raksasa bisa turut memainkan bolanya di gelanggang yang sama.
Mereka juga tidak ragu berkolaborasi dengan para Muslim fashion blogger, yang gaya berbusananya kerap menginspirasi dan menjadi panutan generasi Muslim milenial.
Diversifikasi produk pun terjadi. Ada yang menawarkan koleksi busana santai, busana kerja, busana pesta, busana serba kaus, busana dari kain tenun, hingga busana yang memiliki kemampuan padu-padan yang tinggi.
Tidak hanya itu, berbagai variasi gaya kerudung pun bermunculan. Berbagai material, berbagai warna, berbagai bahan, agar bisa serasi dengan busana yang dikenakan.
Begitu besarnya daya magnet dari generasi Muslim milenial itu, sampai memicu perancang busana dunia sekelas Dolce & Gabbana turut menawarkan koleksi busana dan aksesori yang memang dirancang untuk wanita berjilbab atau berhijab.
Bahkan rumah mode asal Prancis, Chanel, telah menargetkan pasar Timur Tengah, dengan meluncurkan koleksi resort di sana yang sangat bisa dikenakan oleh mereka yang berhijab.
Kembali ke obrolan awal di atas, melihat wanita Muslim berhijab adalah hal yang lumrah, terutama di Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Namun, kekuatan para generasi Muslim milenial inilah yang justru membawa perubahan besar, yang mungkin merupakan kebangkitan modest wear secara global.
Bisa jadi ini merupakan revolusi dalam industri mode dunia yang selama ini nyaris mengabaikan potensi dari kalangan tersebut.
Â