Liputan6.com, Jakarta - Soal reshuffle kabinet, mungkin sudah bosan kita membacanya. Ada yang kita sesalkan, ada yang kita syukuri. Ada yang sudah lama kita kenal dan inginkan, ada juga sosok baru yang mungkin belum bisa menjanjikan apa-apa. Juga ada yang diganti, yang harus saya katakan, berbeda antara citra positif (dan pencitraannya) dengan realisasi kerjanya.
Melihat dari luar sudah pasti jauh berbeda dengan melihat dari dalam. Apalagi menilainya. Anyway, apapun "penglihatan" dan perasaan kita masing-masing, semuanya menghendaki hal yang sama: kehidupan yang lebih baik. Dan harap maklum, negeri ini tidak dibangun oleh para komentator, melainkan oleh orang-orang yang bekerja bersama-sama.
Manajemen Ketangkasan
Advertisement
Soal ketangkasan (agility) bukanlah soal Joko Widodo dan Jusuf Kalla semata, sekalipun keduanya adalah entrepreneur yang tangkas. Ketangkasan adalah konsep manajemen yang amat penting di awal abad ke-21 ini, tatkala dunia telah dikendalikan oleh lawannya, yaitu rigidity.
Peraturan-peraturan terus dibuat, perizinan berbayar semakin banyak. Tembok-tembok besar menghalangi manusia berusaha. Jebakan-jebakan hukum sulit kita mengerti. Semakin hari semakin banyak aturan yang saling bertentangan, karena memang area kerja setiap kementerian saling berhubungan namun tanggung jawabnya berbeda.
Yang satu tinggal terima APBN dan menghabiskannya, namun yang lain punya kewajiban menyumbang APBN (Pajak, Bea Cukai dan Kementerian BUMN). Yang satu mengawasi, yang lain menjalankan. Ketika anggaran dipotong, nafsu masing-masing kementerian untuk mengejar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) pun menggelora. Lalu bertabrakan dengan, sebut saja, BUMN yang kelak akan berkurang keuntungan atau setoran dividennya.
Dari regulatory rigidity (peraturan-peraturan yang rigid/kaku), kita lalu menyaksikan satu-dua menteri yang lebih kaku dari aparatur sipil negara di bawahnya. Ketika mereka menjadi amat reaktif, setiap kesalahan selalu dipindahkan ke pundak orang lain.
Sebuah meme yang disebarluaskan anak-anak muda menunjukkan kegalauan seorang mantan menteri: "Pagi melarang, sore mengizinkan". Tetapi tak lama kemudian ia membuat aturan-aturan yang tak bisa dijalankan pelaku-pelaku ekonomi kecil.
Personal rigidity menjadi persoalan yang rumit karena orang seperti ini juga menampilkan "personal branding" yang lain, yang mengesankan ia adalah pahlawan publik. Dengan sosok seperti itu, ia bahkan bisa menghambat pembangunan, bahkan menciptakan ketidakamanan karena sistem menjadi kacau dan terdapat saling ketidakpercayaan.
Ibarat roda bergerigi yang saling berhubungan, ketika yang satu menahan, maka bunyinya akan mengganggu telinga, lalu patah. Regulatory, personal, space, budget, leadership, system, dan seterusnya, kalau semuanya serba rigid, jangan harap didapat hasil yang baik. Begitulah memilih pemimpin. Pintar saja tak cukup. Dan belum tentu juga rigid itu selalu dilakukan karena etika, bisa jadi itu hanya personality.
Maka untuk mendapatkan agility, dibutuhkan upaya membebaskan jalan dari aneka rintangan. Ibarat pelari, tak mungkin sprinter melaju kencang dari detik pertama dalam arena yang penuh rintangan. Ini bukan soal peraturan semata, melainkan juga soal leadership dan manusianya.
Sering saya sebutkan, kita tak mencari singa yang mengembik. Karena, "lebih baik menggembala kambing yang bisa mengaum ketimbang singa yang mengembik." Untuk menghasilkan kabinet yang agile diperlukan tiga hal: Understanding, Planning, dan Implementing.
Singa yang Mengembik
Harus diakui memiliki ketiga hal itu tidak mudah. Kita memiliki Presiden-Presiden sekelas Soekarno dan Gus Dur yang amat pandai (strong in understanding), juga cepat bertindak (implementing), mungkin saja lemah dalam perencanaan.
Kita punya Presiden pandai seperti SBY, namun dalam beberapa segi menjadi kurang tajam dalam penerapan aturan dan rencana yang sudah dirumuskan.
Joko Widodo, di satu pihak, kental dalam implementasi sehingga dalam waktu singkat ia justru menerapkan hal-hal yang, maaf, kurang berani diterapkan pendahulu-pendahulunya.
Pencabutan (pengurangan) subsidi BBM, pengoperasian sejumlah infrastruktur strategis, hukuman mati bagi para tahanan narkoba, penenggelaman kapal-kapal pencuri ikan dan sebagainya. Dalam soal implementasi kita bersyukur, ia tangkas.
Pertanyaannya, dalam kurun waktu tiga tahun ke depan, bagaimana ia mentranslasi berbagai ancaman dan peluang dari gejolak ekonomi global dan perubahan besar (massive disruption), yang tengah dihadapi bangsa ini ke dalam rencana-rencana baru yang bisa dijalankan oleh para menteri di bawahnya.
Sementara, masalah-masalah baru terus berdatangan dan menuntutnya untuk mengambil tindakan cepat. Mana yang harus di dahulukan?
Kalau understanding (yang membutuhkan refleksi), planning, dan implementing bisa dipadukan ke dalam roda pemerintahan yang tangkas tadi, Indonesia bisa keluar sebagai The Champion. Dalam tataran praktis, ketiga hal itu mudah dijalankan kalau salah satu dari tiga hal ini terpenuhi.
Pertama, negaranya kecil, masalah yang dihadapi sederhana. Tengoklah Malaysia dan Singapura. Persoalan yang dihadapi tak serumit negeri ini sehingga banyak hal bisa diisolasi dan pemimpin mudah menerapkan prioritas, fokus.
Kedua, ideologi dan kepemimpinan otoriter. Ini jelas tak memungkinkan bagi Indonesia, walaupun Tiongkok yang jauh lebih besar mampu melakukannya.
Dan ketiga, etos kerja yang kooperatif dan berbudaya produktif. Kita tahu sebagian kita masih memiliki mental inlander, mental warisan negeri terjajah dengan ciri-ciri mudah reaktif, baru bekerja kalau disuruh atau diawasi dan mudah diadu domba.
Lihat saja bagaimana sejumlah orang memotong kalimat-kalimat seperti di atas, lalu menyebarluaskannya melalui media sosial dengan akun-akun bodong kepada para pendahulu dan pengikut-pengikutnya yang lalu reaktif beramai-ramai, mudah diadu domba.
Ketiga hal itu tampaknya sulit kita lakukan di negeri ini. Karena itu, memiliki anggota kabinet yang dapat bekerjasama, tangkas, dan mudah bekerja menjadi amat-sangat penting. Mereka bukan pemain tunggal yang hebat, yang lalu hanya menari-nari di hadapan kita lewat media sosial, melakukan camera branding, dan personal gallery.
Lantas, apakah sudah otomatis orang-orang pilihan baru itu akan efektif?
Tentu saja mereka harus diberi waktu. Namun satu hal yang perlu digarisbawahi adalah, Indonesia tengah mengalami babak-babak baru perubahan besar yang sulit dipahami dengan menggunakan"old mindset". Kita tengah berada di era disruption yang rumit, yang menargetkan seluruh incumbent, baik bisnis, pendidikan maupun partai politik. Akan terjadi shifting besar-besaran melalui generasi millenials yang sulit dipahami orang-orang lama dan para elit.
Seperti nasihat pendiri Pay Pal, Peter Thiel.
“Every moment in business happens only once". The next Bill Gates will not build an operating system. The next Larry Page and Sergey Brin won’t make a search engine. And the next Mark Zuckerberg won’t create a social network. If you are copying these guys, you aren’t learning from them".
Saya harap para anggota kabinet baru merenungi nasihat Peter Thiel tersebut, karena Indonesia memang rumit dan banyak peraturan dan manusia-manusia yang rigid. Orang rigid bukan karena paham, melainkan karena kurang berwawasan, kurang luas, tak memiliki alternatif, kurang berani, atau ia hanya menjadi alat bagi orang lain. Selamat bekerja.
Â