Liputan6.com, Jakarta - Atribusi adalah bahasan psikologi tentang sebab-musabab perilaku. Disebut atribusi internal ketika perilaku individu lebih disebabkan oleh faktor-faktor pada dirinya sendiri. Sebaliknya, atribusi eksternal menjadi simpulan manakala faktor-faktor di luar diri individu yang dominan membentuk perilakunya.
Apabila ditarik ke ranah pidana, ihwal atribusi akan berujung pada penentuan status terdakwa. Jika atribusi internal adalah penjelasan atas perilaku terdakwa, maka ia akan divonis bersalah. Kontras dengan asumsi tidak ada intervensi ekstrayudisial, ketika perilaku jahat terdakwa dipandang terjelaskan dengan atribusi eksternal, maka ia akan divonis tidak bersalah.
Baca Juga
Fokus jaksa adalah mencari atribusi internal terdakwa. Sehingga, tendensi jaksa adalah memperberat ganjaran sanksi terhadap terdakwa. Penasehat hukum, karena berkutat pada atribusi eksternal si pesakitan, maka kecenderungannya adalah membebaskan atau meringankan hukuman atas diri si pesakitan.
Advertisement
Dalam kasus Jessica, sudah bisa ditebak, jaksa menilai terdakwa bersalah. Lebih lanjut, jaksa menyebut lima unsur pemberatan: perencanaan matang, kekejian, hubungan pertemanan antara terdakwa dan korban, kedukaan keluarga korban, dan terdakwa tidak memperlihatkan ekspresi bersalah.
Dari lima unsur tersebut, empat di antaranya merupakan unsur-unsur yang melekat pada diri terdakwa. Karena itu, dapat dikatakan bahwa perilaku terdakwa disebabkan oleh atribusi internal.
Namun bertolak belakang dengan perkiraan publik, betapa pun dakwaan yang dikenakan terjelaskan sebagai atribusi internal terdakwa, jaksa ternyata hanya menuntut hukuman penjara 20 terhadap terdakwa. Padahal, Pasal 340 KUHP memungkinkan jaksa mengajukan tuntutan hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati.
Semakin mencengangkan jika hal-hal lain, baik yang dikonstruksi jaksa pada sesi-sesi persidangan maupun opini yang lalu-lalang di masyarakat, juga disertakan dalam sorotan terhadap diri terdakwa. Hal-hal lain tersebut kemudian dipilah sebagai unsur yang meringankan, netral, atau pun memberatkan.
Acuan yang saya gunakan adalah kajian Garvey beberapa tahun silam tentang respon para juri dalam kasus-kasus yang memungkinkan penjatuhan hukuman mati (capital cases).
Terkait diri terdakwa, unsur-unsur yang memberatkan adalah pertama, kesan yang sempat dimunculkan jaksa melalui saksi dari kepolisian Australia bahwa Jessica mempunyai riwayat kejahatan.
Kedua, potensi kebahayaan terdakwa pada waktu mendatang, yang dikemukakan berdasarkan keterangan ahli mengenai kemungkinan eskalasi tindakan kekerasan terdakwa.
Terkait diri korban, yang memberatkan terdakwa adalah korbannya berjenis kelamin perempuan. Sedangkan asal-muasal korban dari keluarga yang hangat, merujuk Garvey, bersifat netral, yaitu tidak meringankan dan tidak pula memberatkan.
Dari sisi pihak selain terdakwa dan korban, dua unsur dalam studi Garvey yang juga terdapat pada kasus Jessica ternyata bersifat netral. Yaitu, kegemparan di masyarakat serta harapan sebagian kalangan agar terdakwa dihukum seberat-beratnya bahkan diganjar dengan hukuman mati.
Merangkum semua unsur pemberatan yang dikemukakan jaksa dan unsur-unsur memberatkan lainnya yang ada dalam penelitian Garvey, kian terlihat bahwa sesungguhnya ada begitu banyak unsur yang memberatkan. Atas dasar itu, secara linear muncul dugaan bahwa terdakwa Jessica akan dituntut jaksa dengan hukuman maksimal.
Sudah barang tentu, ketika khalayak luas terkejut karena jaksa ternyata hanya menuntut terdakwa dengan hukuman dua puluh tahun penjara. Jaksa niscaya berdalih bahwa tuntutan sedemikian rupa sudah tepat. Namun ketidaksinkronan antara banyaknya unsur-unsur yang memberatkan di satu sisi dengan tuntutan jaksa di sisi lain, tak ayal memunculkan tafsiran bahwa jaksa boleh jadi tidak begitu yakin pada isi tuntutannya sendiri.
Dengan kata lain, jaksa pada satu sisi membangun simpulan bahwa aksi terdakwa adalah produk dari atribusi internal. Tetapi, pada sisi lain, tuntutannya yang hanya dua puluh tahun justru mencerminkan seolah-olah jaksa melihat atribusi eksternal di balik perilaku terdakwa. Bagaimana bisa demikian?
Kembali ke studi Garvey, ketika para juri pada capital cases mempunyai keraguan-raguan atas kebersalahan terdakwa, juri memilih untuk mengajukan hukuman seumur hidup ketimbang hukuman mati terhadap terdakwa.
Hukuman, dengan demikian, menjadi indikator kondisi psikis juri. Juri beranggapan bahwa hanya ketika terdakwa diganjar dengan hukuman seumur hidup itulah proses koreksi terhadap vonis (extortion) tetap mungkin dilakukan suatu saat nanti.
Jika uraian di atas diterapkan untuk mereka-reka suasana batiniah tim jaksa dalam kasus Jessica, beralasan untuk menduga bahwa mereka pun mengalami kebimbangan serupa. Jaksa memilih tuntutan 20 tahun penjara, alih-alih hukuman seumur hidup maupun hukuman mati, karena ada sekian persen ketidakyakinan mereka akan kebersalahan Jessica.
Secara tidak langsung, melalui tuntutan 20 tahun, jaksa juga menyediakan peluang andai kelak proses koreksi atas vonis hakim juga dirasa perlu untuk dilakukan.
Di negara semacam Amerika Serikat, extortion kian sering dilakukan seiring dengan kemajuan ilmu forensik, utamanya terkait DNA. Pembunuhan tergolong sebagai kasus dengan jumlah extortion yang tinggi. Dan penyebab mayoritas dilakukannya extortion pada kasus-kasus pembunuhan di negeri Paman Sam adalah tidak profesional dan tidak etisnya kerja kepolisian, dakwaan yang keliru (dipaksakan), serta bukti-bukti forensik yang lemah.
Pertanyaannya, apakah diam-diam ketiga faktor itu pula yang menggelayut di benak jaksa pada saat mengajukan tuntutan sebatas dua puluh tahun penjara? Hanya jaksa dan Allah SWT yang tahu jawabannya. Juga, apakah majelis hakim menangkap sinyal kegamangan jaksa itu? Setali tiga uang, hanya hakim dan Zat yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana yang bisa menjawabnya.