Liputan6.com, Jakarta - The world’s most powerful man. Itulah laporan utama majalah terkemuka The Economist dua minggu lalu yang mengulas China dan pemimpinnya, Xi Jinping.
Bukan Donald Trump, bukan pula Vladimir Putin: manusia terkuat, paling berkuasa, dan paling menentukan arah perjalan sejarah dunia ke depan adalah tokoh kelahiran Beijing, yang dalam lima tahun terakhir ini memegang tiga jabatan penting sekaligus, yaitu Presiden Republik Rakyat China, Ketua Komite Sentral Militer, dan Sekjen PKC (Partai Komunis China).
Baca Juga
Dalam kongres PKC yang baru saja berakhir, Xi Jinping bahkan secara resmi diangkat menjadi manusia setengah dewa. Dalam konstitusi partai ini sekarang, kompilasi pidato dia dimasukkan sebagai pemikiran fundamental, sixiang.
Advertisement
Hanya Mao Xedong yang pernah diperlakukan setinggi itu - pemikiran Deng Xiaoping juga pernah dimuat dalam konstitusi partai, tetapi hanya disebut sebagai teori, lilun, yang derajatnya setingkat di bawah.
Kaum pengagum Deng (full disclosure, termasuk saya), tentu saja bisa berdebat dan menyampaikan keberatan.
Deng turut memimpin long march yang monumental itu pada 1935-1936, dua kali terbuang dan didepak oleh Mao, serta pada periode 1978-1995 memimpin transformasi China lewat aplikasi mekanisme pasar, dan meraih sukses besar yang kemudian diwarisi dan dikembangkan oleh generasi pemimpin baru sekarang.
Karena itu, bagi banyak intelektual terkemuka - antara lain Henry Kissinger, Francis Fukuyama, Ezra Vogel - Deng Xiaoping layak disebut sebagai salah satu negarawan terbesar abad ke-20, sejajar dengan Franklin Roosevelt dan Winston Churchill.
Apa sebenarnya yang sudah dilakukan Presiden Xi selama lima tahun terakhir, selain keberaniannya memberantas korupsi, yang membuatnya layak mendapat posisi begitu tinggi melampaui Deng Xiaoping?
Tentu saja saya tidak ingin membawa tulisan ini pada perdebatan intramural seperti itu.
Setuju atau tidak, itulah faktanya saat ini: Xi Jinping, manusia paling kuasa, pemimpin tertinggi 1,4 miliar manusia, dengan butir-butir pemikiran yang harus menjadi referensi utama, dari komite sentral partai hingga ke ruang-ruang kelas di sekolah dasar.
Dengan legitimasi baru ini, tokoh berusia 64 tahun itu praktis menjadi pemain tunggal dalam puncak piramida kekuasaan China.
Secara prinsipil, berbeda dengan kepemimpinan Deng yang bersifat kolegial, tidak ada lagi yang bisa menghambat Presiden Xi untuk berkata, seperti Louis XIV di Prancis: l’etat, c’est moi, negara adalah aku, aku adalah negara.
Majalah Economist sendiri, setia pada tradisi jurnalisme dalam aliran liberal klasik, melontarkan skeptisisme terhadap perkembangan seperti itu, dengan kalimat cerdas: Xi Jinping might be good for the party, but not necessarily for the people of China.
                              Â
Xi Jinping Versus Donald Trump
Saya cenderung setuju pada skeptisisme seperti itu. Kekuasaan yang terlalu terpusat di tangan satu orang di negeri sebesar China, akan menciptakan persoalan teramat kompleks. Apalagi jika orang tersebut, seperti Presiden Xi, tepat berada di persilangan tiga lembaga utama sekaligus, yaitu partai, birokrasi, dan militer.
Namun sebelum membahas problem politik ini, satu hal memang harus diakui: dalam tahun-tahun terakhir ini, China dan Xi Jinping menjadi daya tarik tersendiri. Katakanlah sebagai narasi alternatif terhadap apa yang sedang terjadi di AS dengan Donald Trump, di Rusia dengan agresi teritorial Vladimir Putin, atau di Eropa dengan meningkatnya populisme dan xenophobia.
Dibandingkan dengan Trump misalnya, person to person, Xi Jinping akan tampil sebagai sosok yang kalem, berisi, dan berwibawa. Donald Trump, setelah hampir setahun di Gedung Putih, justru menjadi makin parah.
Penjelasan favorit saya dalam menggambarkan sosok Presiden Trump sejauh ini adalah: dia tidak memiliki cukup disiplin untuk menjadi seorang fasis, dan dia juga tidak cukup lucu untuk menjadi seorang komedian.
Selain itu, dalam proyeksi kekuatan internasional, AS sekarang tampak goyah dan menjadi hegemon yang kehilangan kepercayaan diri.
Edward Luce, kolumnis Financial Times, di awal tahun ini menerbitkan sebuah buku dengan judul yang langsung menjelaskan apa yang kini sedang terjadi: The Retreat of Western Liberalism.
Sementara itu, China justru melakukan hal sebaliknya dengan mengembangkan kebijakan luar negeri yang lebih asertif.
Malah, di Davos pada Januari lalu, Presiden Xi menegaskan bahwa China akan memimpin globalisasi perdagangan, lewat prinsip-prinsip yang sudah disepakati di WTO.
Hal terakhir ini sebenarnya merupakan salah satu ironi terbesar di awal abad ke-21: Xi Jinping formalnya adalah pemimpin negara komunis, tetapi dengan jeli dia melihat sebuah ruang kosong yang sedang ditinggalkan "pemiliknya," dan karena itu dia muncul menjadi the new champion of the liberal international order, setidaknya dalam retorika.
Hal seperti ini tak terbayangkan terjadi dua atau tiga tahun lalu.
Di luar masalah persona individual dan politik global semacam itu, faktor terpenting yang berada di balik daya tarik China adalah sukses besar yang diraihnya dalam pembangunan ekonomi.
Dalam soal ini banyak hal bisa dijelaskan. Namun, pada intinya bisa dikatakan bahwa keberhasilan China belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah, tumbuh cepat selama empat dekade dengan skala jauh lebih masif, dibanding pertumbuhan yang dialami naga-naga Asia sebelumnya, seperti Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan.
Saat Deng Xiaoping mulai melakukan transformasi, setelah masa panjang kekuasaan Mao yang kelam, China adalah negara terbelakang, dengan GDP per kapita USD 200-300, hampir sama dengan negara miskin Afrika seperti Somalia.
Sekarang, angka itu sudah mendekati USD 8.000, dan 600 juta orang sudah berhasil terangkat dari jurang kemiskinan.
Semula, reformasi ekonomi dimulai di sektor pertanian, yang dikombinasikan dengan penciptaan zona perdagangan bebas di beberapa kota pantai timur dan selatan.
Langkah ini kemudian disusul dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran, plus perluasan basis manufaktur berorientasi ekspor.
Setelah itu, khususnya dalam sepuluh tahun terakhir, China mulai merambah basis produksi bernilai tinggi, dan sekarang sudah berada di garis terdepan sektor-sektor baru yang inovatif, seperti e-commerce, e-payment (Ali Baba, WeChat), artificial intelligence, dan robotics.
Semua itu membalikkan posisi China, dari negara tertinggal menjadi salah satu dinamo ekonomi dunia. Bahkan kalau ukurannya memakai purchasing power parity, skala ekonomi China tahun depan diramalkan akan menjadi nomor satu di dunia, menyalip posisi Amerika Serikat.
Menyilaukan? Dahsyat? That’s the point: sementara ekonomi AS bergerak lambat, dan Eropa baru mulai melangkah keluar dari krisis yang tajam, China seolah meloncat dari satu puncak sukses ke puncak lainnya. Karena itulah, Presiden Xi dipandang penuh kagum oleh banyak kalangan.
                               Â
Advertisement
Xi Jinping dan Pertumbuhan China
Kembali pada kekuasaan Xi Jinping yang begitu dominan, apa yang kini bisa kita katakan? Apakah dengan konsentrasi kekuasaan yang begitu besar di tangannya sendiri, pelan-pelan dia akan membangun sistem absolutisme personal, mengulang kembali tradisi bad emperor yang di China memiliki sejarah begitu panjang?
Mampukah dia melanjutkan tipologi pemerintahan, yang kurang lebih saat ini dapat disebut good and successful authoritarianism?
Dalam hal ini, kita bisa berkata bahwa diktum Actonian tentang kekuasaan berlaku universal, termasuk di China. Kalau belum sekarang, dampaknya yang ekstrem mungkin akan terjadi nanti.
Selain itu, harus pula kita ingat bahwa semua negara Asia yang mengalami sukses pembangunan ekonomi, kini telah menjadi negara demokrasi yang relatif stabil - Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Indonesia, dan dalam hal tertentu juga Malaysia.
Sejauh ini, satu-satunya negara yang menjadi pengecualian dari progresi sejarah seperti ini adalah Singapura.
Apakah China akan terus-menerus menjadi Singapura raksasa? Saya agak ragu. Argumen tentang nilai-nilai Asia, etika Konfusius dan Sinitic civilization tentu akan aneh, jika sekarang digunakan dalam menggambarkan kemungkinan jangka panjang dari perkembangan politik Asia, termasuk China.
Teori modernisasi dan teori demokratisasi universal telah terbukti secara empiris, walaupun manifestasinya tidak seragam, tidak serempak, dan dinamikanya bergantung pada konteks masing-masing negara.
Sejarah memang tidak berjalan lurus, tapi bukankah sebenarnya sekarang saat yang tepat bagi China untuk mempersiapkan the inevitable?
Reformasi politik justru paling ideal dilakukan dalam situasi ekonomi yang tumbuh dan menguat.
Kalau menunggu krisis ekonomi dulu, ongkos sosialnya akan terlalu mahal, dan di negeri dengan lebih semiliar penduduk - bukan Singapura dengan 5 juta penduduk - situasi buruk yang mungkin tercipta akan sulit terbayangkan sekarang.
Apakah bagi Xi Jinping pertumbuhan China akan terus menggapai langit?
Dalam ekonomi, hanya satu hal yang pasti: siklus bisnis adalah bagian dari hukum alam, seperti gravitasi. Bahkan cukup beralasan untuk berkata bahwa semakin lama keniscayaan itu ditunda, semakin destruktif pula dampaknya jika pada akhirnya itu terjadi.
Sun Tzu, filsuf dan pemikir strategi dalam sejarah China klasik, pernah berkata: kemenangan terbesar justru harus diraih sebelum peperangan berlangsung. Barangkali kearifan seperti inilah yang sekarang harus didengarkan Presiden Xi.
Dalam hal ini tentu kita tidak berbicara tentang full-blown democratization atau reformasi serempak. Kesalahan Gorbachev sekian dekade lalu dalam mengubah Uni Soviet, memang perlu dihindari.
Tapi pelonggaran parsial kontrol ketat politik, pemisahan yang jelas antara partai dan birokrasi, penciptaan kepastian hukum yang lebih menyeluruh, pemberian otonomi yang leluasa kepada pemimpin di daerah: semua ini, dan banyak lagi, tetap dapat dilakukan secara bertahap untuk membentuk sistem politik yang lebih responsif terhadap perubahan serta dinamika baru masyarakat China.
Jadi singkatnya, kalau Xi Jinping dan lapisan elite di Beijing melakukannya sekarang, they are doing the reform from the position of relative strength, dan karena itu skala dan tempo perubahan mungkin dapat mereka sesuaikan dengan baik.
Salah satu jebakan yang ada sekarang adalah self-delusion - sukses ekonomi yang dahsyat cenderung menyilaukan mata. Ia bisa menipu bukan hanya para pengagum China di Davos, New York, atau London, tetapi mungkin terutama kaum pemimpin di Beijing sendiri, termasuk Presiden Xi.
Bahkan di kalangan intelektual, kalau kita mengikuti perkembangan literatur studi kawasan dan pembangunan, saat ini sudah mulai muncul konsep-konsep baru, seperti The China Model, yang berpandangan bahwa dominasi politik PKC seperti yang ada selama ini adalah sesuatu yang permanen dan ideal.
Hal terakhir ini mengingatkan kita pada kaum fellow-travellers, seperti Jean Paul Sartre di Prancis, yang memuji komunisme di Uni Soviet pada tahun 1950-an.
Semoga kaum pemimpin di Beijing terhindar dari delusi semacam itu. Pertaruhannya terlalu besar, jika mereka terbuai sendiri dengan sukses yang telah mereka raih sejauh ini.
Buat saya, jika Xi Jinping memang mampu membaca kehendak zaman, dan dengan kekuasaan besar yang baru saja diraihnya, mulai mengambil langkah dalam memimpin transformasi politik China - dengan semua ini barulah kita dapat berkata, ia memang layak disejajarkan dengan Deng Xiaoping dalam panteon kepahlawanan The Middle Kingdom.
Dan barangkali juga, sebagai sebuah bonus, semua itu akan menjadi hadiah yang manis bagi dunia di awal abad ke-21 yang agak muram ini.
**Tulisan ini pertama kali terbit di qureta.com.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: