Liputan6.com, Jakarta - Peristiwa persekusi pasangan kekasih di Cikupa yang sempat viral beberapa waktu lalu harus menjadi perhatian kita bersama. Betapa nilai-nilai untuk bersama-sama menjaga harkat dan martabat kemanusiaan nyaris luntur.
Kehormatan manusia seolah bisa begitu saja dirudapaksa oleh sesama manusia.
Plautus mengatakan, homo homini lupus atau manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Ungkapan ini saya kutip bukan untuk mendramatisir peristiwa. Namun semata untuk menggambarkan ganasnya perilaku emosional kolektif.
Advertisement
Tentu, orang-orang yang melakukan persekusi merasa superior, sehingga menganggap bisa melakukan apa saja kepada person yang dipersekusi, yang nyata-nyata berada dalam posisi inferior.
Pasangan kekasih itu bukan hanya menerima kekerasan, namun turut mendapatkan perlakukan yang merendahkan martabat dan kehormatan manusia.
Korban main hakim sendiri tentu mengalami trauma mendalam. Apa yang korban alami pasti membekas dan mungkin akan terus menghantui pikirannya seumur hidup.
Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan mengenai peristiwa itu. Pertama, peristiwa itu dipicu oleh orang yang memiliki pengaruh atau wewenang.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, oknum Ketua RT diduga merupakan provokator hingga kejadian memilukan itu terjadi. Bahkan, oknum Ketua RT itu yang mengajak warga untuk mengarak dan mengabadikan melalui telepon genggam.
Bukan hanya itu, segala perlakuan keji terhadap sepasang kekasih itu pun diunggah ke media sosial.
Secara sosial, Ketua RT merupakan unsur tokoh masyarakat. Keberadaannya sangat diharapkan menjadi eliksir penawar rasa getir. Segala permasalahan yang muncul hendaknya bisa diselesaikan dengan bijaksana sejak tingkatan RT.
Kalau pun persoalan tidak bisa diselesaikan, Ketua RT masih memiliki atasan yaitu kepala desa atau lurah. Ideal sekali bila permasalahan dibawa ke meja musyawarah yang merupakan karakter masyarakat Nusantara.
Namun disesalkan, oknum Ketua RT itu tidak melapor ke kepala desa dan berusaha menyelesaikan permasalahan sendiri dengan caranya.
Persekusi Perilaku Jahiliah
Saya menduga, oknum ketua RT itu sedang ingin menunjukkan power atau eksistensinya sehingga mengajak masyarakat beramai-ramai menjadi eksekutor. Atau mungkin, pranata sosial yang mulai rusak sehingga muncul anggapan, sanksi sosial lebih tepat diberikan kepada orang yang diduga melakukan tindakan asosial.
Tentu hal itu tidak bisa dibenarkan. Saya tidak akan detail membahas soal kronologis atau benar-tidaknya pasangan itu mesum. Sebab, kalau pun benar pasangan kekasih itu berbuat asusila, tidak ada satu pun referensi hukum yang membenarkan tindakan persekusi sampai menelanjangi.
Seandainya saya menangkap pencuri di rumah saya, tetap saja saya tidak berhak memberi hukuman kepada pencuri itu. Si pencuri hanya bisa dijatuhi hukuman setelah melalui proses pengadilan.
Ini menandakan sistem hukum kita sangat menghargai harkat dan martabat manusia. Bukankah kita semua diajari untuk mengedepankan asas praduga tidak bersalah? Presumption of innocent mengarahkan kita untuk menganggap baik semua orang, sebelum adanya vonis hakim.
Bila asas hukum sangat ketat membatasi soal tuduhan, kenapa kita begitu mudah melakukan penghakiman?
Peristiwa itu juga mungkin tidak lepas dari adanya fenomena bystander effect. Fenomena ini merupakan gejala saat ada yang membutuhkan bantuan, namun orang yang memiliki peluang untuk menolong, justru berpikir bahwa akan ada orang lain yang menolong.
Celakanya, kecenderungan itu justru pada akhirnya membuat tidak ada satu pun orang yang memberikan pertolongan.
Menuduh orang berbuat asusila (zina) bukanlah tuduhan yang main-main. Berbagai sumber hukum mensyaratkan adanya proses pembuktian yang ketat atas tuduhan itu.
Untuk itulah, sebagai masyarakat Nusantara yang beradab dan beragama, kita tinggalkan perilaku persekusi yang merupakan perilaku jahiliah itu.
Advertisement
Hentikan Persekusi
Kecepatan kepolisian dalam merespons peristiwa itu merupakan bentuk perlindungan harkat dan martabat manusia.
Biar bagaimana pun, tidak boleh ada yang melakukan penghukuman tanpa proses peradilan. Bahkan, negara saja diatur sedemikian ketatnya saat akan menjatuhkan hukuman.
Tindakan tegas kepada para terduga pelaku persekusi adalah bentuk penegakan hukum sekaligus pendidikan hukum (law education).
Peristiwa persekusi itu harus benar-benar dijadikan pelajaran. Bahwa mengedepankan hukum dan prasangka baik haruslah diutamakan. Sebab jika tidak, bisa berakibat buruk bagi semua pihak.
Ketidakpahaman akan hukum mencerminkan minimnya pendidikan hukum. Sehingga saat terjadi peristiwa, sekelompok masyarakat menggunakan kekuatannya untuk menjatuhkan hukuman persekusi.
Dampaknya bisa sangat negatif yaitu menyebabkan korban trauma, bahkan di beberapa kasus sampai meregang nyawa.
Tidak hanya itu, dampak negatif lainnya adalah tercorengnya nilai-nilai kearifan dan yang pasti, pelaku persekusi pada akhirnya harus berurusan dengan hukum.
Terduga pelaku persekusi harus menanggung konsekuensi. Beberapa orang ditetapkan sebagai tersangka dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Hal itu tentu tidak diinginkan, karena berdampak negatif terhadap diri dan keluarga. Namun, hukum harus ditegakkan agar kejadian serupa tidak terulang.
Masyarakat harus diberikan pemahaman hukum bahwa main hakim sendiri adalah tindakan keliru.
Sila kedua dalam Pancasila jelas menyebutkan "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Itulah pendidikan hukum yang harus digencarkan ke masyarakat, agar tumbuh rasa yang menjadikan nilai kemanusiaan yang adil dan berkeadaban sebagai aspek utama.
Dengan demikian, masyarakat akan tumbuh menjadi manusia yang adil yaitu yang mengedepankan hukum, dan manusia yang beradab yaitu manusia yang menghargai dan menjunjungi tinggi nilai kemanusiaan.
Sudah saatnya nilai-nilai hukum dikedepankan. Soal benar dan salah biarlah hukum yang menentukan. Jika memang mencurigai sesuatu hal, maka segera laporkan ke aparat yang berwenang agar segera ditangani sesuai hukum yang berlaku.
Pada intinya, Indonesia adalah negara hukum, persekusi atau main hakim sendiri harus dihentikan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: