Liputan6.com, Jakarta - KPU RI sudah menetapkan tanggal pencoblosan pilkada serentak 2018, yaitu pada 27 Juni 2018. Ada 171 daerah yang mengikuti pilkada 2018. Mana saja?
Tahapan pilkada serentak 2018 dimulai 10 bulan sebelum hari pencoblosan. Itu berarti tahapan dimulai Agustus 2017.
Pilkada serentak 2018 akan lebih besar dibandingkan pilkada sebelumnya. Sebanyak 171 daerah akan berpartisipasi pada ajang pemilihan kepala daerah tahun ini. Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan pilkada.
Advertisement
Beberapa provinsi di antaranya adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Potensi kekerasan serta ancaman menggunakan isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) dalam politik pragmatis seperti ini akan meluas, karena komodikasi ujaran kebencian begitu marak dalam dunia sosial.
Di sisi lain, masyarakat hanya sekedar menerima informasi tanpa memiliki budaya kritis untuk memilih dan menyeleksi berita tersebut.
Hilangnya budaya kristis menyebabkan masyarakat mudah digiring pada isu negatif. Dibutuhkan kesadaran bersama menjaga momentum Demokrasi tanpa adanya politik kebencian yang mengaduk SARA.
Sentiment SARA yang merusak persatuan bangsa dan menyebabkan potensi bangsa ini kehilangan masa depan, karena memilih pemimpin yang tidak memiliki keutamaan publik untuk melayani rakyatnya.
Penggunaan isu SARA, seperti membuat agitasi yang menyulut sentimen dan sisi emosional sebagian masyarakat. Akibatnya, hasutan dan ujaran kebencian akhirnya membuat pemilih menjadi irasional.
Â
Kampanye Hitam
Kampanye hitam pada dunia politik sebuah upaya terorganisasi untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan pemilih.
Kampanye hitam dapat dilakukan melalui berbagai media elektronik, cetak, maupun internet. Ini juga termasuk situs-situs berita yang mendadak bermunculan dengan nama domain yang provokatif, tapi umumnya tidak kredibel.
Ada agenda tertentu di balik meluasnya keresahan karena sentimen dan hasutan. Harapannya, kelompok tertentu akan memetik keuntungan politik.
Meski begitu, sebenarnya tidak mudah mengkapitalisasi sentimen keagamaan dan etnisitas,yang dipolitisasi demi keuntungan elektoral belaka.
Argumentasi logisnya, karena masyarakat sebenarnya sudah sangat rasional dan cukup dewasa menyikapi hembusan SARA demi tujuan politik.
Isu SARA kembali mencuat dan menjadi instrumen partai, untuk merebut simpati masyarakat di tengah situasi carut-marut politik, ekonomi, dan sosial.
Ini secara tidak langsung mengafirmasi kegagalan partai melahirkan figur berkualitas. Mereka kekurangan visi dan ideologi.
Defisit inilah yang membuat ruang publik menjadi korban dimanfaatkan untuk memfasilitasi ajang kampanye hitam, dengan mengakumulasi bahasan-bahasan provokatif, tendensius, saling serang, termasuk menggunakan isu SARA. Padahal masyarakat sudah jengah.
Â
Advertisement
Pemilu Pertama
Mari sedikit menengok pemilu 1955, di mana partai-partai bisa dikatakan cukup punya ideologi dan berpihak pada masyarakat. Ada yang memperjuangkan nasib petani, buruh, sosialis, dan orang kecil.
Partai waktu itu dalam konteks untuk merebut hati rakyat, dengan memperjuangkan ideologi rakyatnya.
Menurut Goode (2005), memang semestinya ruang publik linier dengan norma, ekspektasi, serta tujuan demokrasi masyarakat. Demokrasi diisi dengan keadaban, dan ruang publik dipergunakan sebagai sarana membangun panggung diskursus konstruktif partai dan rakyat, tentang berpolitik serta bernegara.
Ini dilakukan tanpa harus menyentuh dan menyalahgunakan isu SARA.
Pada situasi pemilu pertama 1955, tidak ada isu SARA untuk menyerang lawan. Partai bicara tentang program kerja. Politik masih beradab dan beretika.
Malahan ketika itu partai agama pun tidak berbicara agama. Partai Katolik, Partai Masyumi, semua berbicara tentang program.
Pemilu 1955 dinilai paling demokratis karena dalam berdebat, adu program dan perencanaan tetap menggunakan etika berpolitik. Meskipun mereka menggunakan partai agama, tetap mengedepankan politik akal sehat.
Isu SARA yang kembali muncul jelang pilkada 2017, lebih karena tidak adanya visi misi yang jelas peserta.
Penyebab lain, tidak adanya kepercayaan diri untuk bersaing secara sehat karena mereka tidak punya solusi untuk membawa keluar dari kumparan berbagai masalah.
Akhirnya, isu SARA hanya untuk membakar emosional yang potensial melahirkan konflik. Jika peserta pilkada percaya diri dan mempunyai program yang baik untuk menyejahterakan masyarakat, tak perlu menggunakan isu agama dan etnis.
Penggunaan isu SARA sudah tidak mempan. Masyarakat tidak mudah lagi terprovokasi untuk ikut-ikutan merespons lemparan isu agama dan etnis.
Maka dari itu, masyarakat harus pandai-pandai menilai dan mengukur kapabilitas kandidat dari agenda perubahan yang ditawarkan, serta solusi berbagai persoalan.
Hindari kompetisi politik hasut-menghasut dan menyakiti. Akhirnya bangsa ini kehilangan harapan mewujudkan keadaban politik.
Kita berharap, pilkada serentak mengutamakan nilai–nilai Pancasila dengan menjaga persatuan serta mengedepan kepentingan bangsa, bukan kepentingan kekuasan.
Partai politik punya tangung jawab moral untuk menjaga persatuan bangsa dengan mengedepankan agenda serta program, bukan politik SARA menguasai ruang publik. Saatnya tahun persatuan menjadi jiwa dari semua partai politik.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â