Liputan6.com, Jakarta - Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian meyakini Pilkada 2018 akan berlangsung aman. Keyakinan ini disampaikannya saat berpidato di Auditorium Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Jalan Tirtayasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu 24 Januari 2018.
"Khusus masalah pilkada, kesimpulan utama kita bahwa potensi kerawanan pilkada ini sebetulnya tidak terlalu tinggi," kata Tito saat itu.
Pernyataan Jenderal Tito ini didasarkan peta politik yang akurat, karena ada 116 pasangan calon gubernur dan wakil Gubenur yang sudah mendaftar, yang akan bertarung di 17 provinsi.
Advertisement
Peta koalisi partai pendukung calon gubenur dan wakil gubenur terlihat sangat cair. Hal tersebut tergambar dari sisi ideologi semua pasangan, yakni percampuran nasionalis dan agama.
Peta koalisi seperti ini memungkinkan isu SARA akan sulit dijual dalam pilkada. Ke depan diharapkan pilkada diwarnai dengan adu gagasan, bukan lagi diwarnai oleh isu-isu SARA, yang dijadikan materi dalam kampanye untuk membunuh karakter calon gubernur dan wakil gubenur pesaing.
Saatnya pilkada serentak ini, rakyat mengedepakan akal sehat dalam memilih, sehingga terpilih pemimpin yang memiliki jiwa kerahiman.
Dalam memilih pemimpin, kita harus melihat adakah di antara para calon pemimpin itu yang memiliki kerahiman, meskipun tidak sempurna atau mendekati sempurna, yang terutama pemimpin yang dekat dengan rakyatnya dan memiliki belas kasih.
Kita ditugaskan untuk memilih pemimpin itu, dan jika kita diilhami oleh nilai-nilai Pancasila, kita akan menemukan pemimpin yang tepat dan benar.
Apakah Pancasila menjadi rohnya saat mengambil sebuah kebijakan, atau Pancasila sekadar hiasan belaka? Kalau pemimpin memiliki roh Pancasila, dia akan mencintai rakyat dan memperhatikan kebijakan-kebijakan untuk rakyatnya.
Pancasila harus dijadikan aplikasi kebajikan. Seperti kata Bung Karno dalam pidatonya, "apakah kita mau Indonesia merdeka dengan kaum kapital yang merajalela atau yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?"
Ungkapan Bung Karno di atas masih menjadi pilihan sampai hari ini, saat kaum kapitalis lebih berkuasa dari pemimpin dan rakyat. Saat kepentingan kapitalis lebih diutamakan daripada kesejahteraan rakyat, saat jurang kesenjangan semakin lebar.
Beragam kasus terus muncul di depan mata, dan kita semakin merasakan relevansi ungkapan Bung Karno itu saat ini, apalagi ketika kedaulatan negera terus tergerus. Tanpa perubahan, kita akan kehilangan kedaulatan, dan masa depan semakin suram.
Inilah momentum yang tepat untuk melakukan perubahan. Mari mencari pemimpin yang mampu menciptakan perubahan mendasar itu. Memutuskan ketergantungan para mafia dan cukong ekonomi.
Untuk itu, semuanya bisa dimulai dari mental. Dengan meyakinkan diri bahwa kita memiliki kemampuan mengelola sumber daya dan mengoptimalkannya demi kesejahteraan rakyat.
Mentalitas elit yang korup harus dibabat habis. Kebijakan yang cenderung hanya menguntungkan mereka dan kaum kaya (karena kepentingan politik dinasti) harus dienyahkan jauh-jauh. Itu semua hanya akan membuat mereka tidak mampu menjadi pelayan terbaik buat rakyat.
Inilah saatnya rakyat memilih pemimpin dengan visi yang jelas dan terukur. Bukan pemimpin yang asal berjanji. Kecerdasan rakyat sangat menentukan nasib masa depan negeri ini.
Perubahan Indonesia masa depan akan ditentukan oleh pemimpin yang bisa memadukan keberanian, kebajikan, dan kemampuan dalam tata kelola pemerintahan untuk melayani rakyat dengan jujur dan tulus.
Â
Jujur dalam Kuasa
Sikap jujur dalam berkekuasaan memang sering disebut sebagai sebuah kemustahilan. Namun, dalam banyak fenomena kekuasaan, masih ada orang baik dan jujur di tengah kemunafikan dan keserakahan.
Kita merindukan sosok pemimpin otentik dan berkeutamaan. Pemimpin yang mampu membawa rakyat menuju gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup berempati secara mendalam dengan kemauan rakyatnya.
Pemimpin yang mampu mengubah bangsa ini, dari bangsa yang tidak memiliki kepercayaan diri menuju bangsa yang kuat dan tangguh, Indonesia adalah bangsa besar, tetapi seringkali itu hanyalah dalam angan-angan. Kenyataannya, kita sebagai bangsa kerap masih terjajah oleh bangsa lain.
Masih terlalu sedikit contoh untuk pola kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri ini. Kebanyakan justru adalah mereka yang memimpin dengan kecenderungan layaknya seorang pebisnis. Akibat itu, barter kepentingan dalam dunia politik dan ekonomi sering terjadi dan banyak melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyakitkan.
Tidak jarang di dalamnya mengendap kepentingan yang bersifat pribadi dan golongan. Hanya pemimpin terbaik yang akan mampu mengembalikan kepercayaan diri sebagai bangsa besar, yang selama ini luntur seiring waktu.
Kita bisa bangkit melalui kepercayaan diri yang kuat. Karena itu, pemimpin ke depan hendaknya mampu menjadi tonggak agar kita bisa kembali bangga menjadi Indonesia.
Â
Advertisement
Mencari Negarawan
Selama ini kepercayaan diri sebagai bangsa luntur karena para elit negeri ini banyak yang berperan sebagai calo, bukan negarawan yang tulus.
Kita bisa melihat praktik jual-beli di semua lini di negara yang telah mendeklarasikan kebangkitan nasionalnya ratusan tahun silam. Kita bisa melihat bagaimana kebangsaan kita tak lebih dari kebangsaan upacara, bukan kebangsaan perilaku.
Banyak fenomena yang bisa menjelaskan mengapa perjalanan kita sebagai sebuah bangsa sering terseok-seok di tengah jalan.
Kekayaan sumber daya alam yang melimpah tak kunjung bisa dinikmati sebagai kemakmuran rakyat, tetapi justru dikuasai oleh kepentingan golongan tertentu. Sumber daya alam yang melimpah belum benar-benar dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat semesta.
Kemiskinan, pengangguran, dan perbaikan kualitas pendidikan belum menjadi cita-cita bersama yang mendesak untuk dicarikan jalan keluar. Kebijakan publik pun belum disusun atas dasar kepentingan publik secara sungguh-sungguh.
Kenyataan banyak lahirnya calo politik (rent seeker) hingga detik ini sangatlah memprihatinkan. Apalagi, dibalik praktik percaloan itu ada kekuatan besar para pemilik modal yang sangat berperan.
Semua itu tidak boleh dibiarkan, maka kita harus bergerak untuk memilih pemimpin yang mau tulus mengabdi bagi kesejahteraan bangsa ini. Pemimpin yang betul-betul memperhatikan nasib masa depan bangsa, bukan nasib dirinya sendiri saja.
Semoga rakyat memiliki ketajaman nurani dan kecerdasan dalam memilih pemimpin yang bisa melayani warganya dengan ketulusan hati. Jika agenda ini dijalankan dalam pilkada maka, harapan Jenderal Tito akan terwujud.
Pemilu mengedepankan akal sehat dan kecerdasan, bukan lagi proganda SARA. Kita yakin analisa Jenderal Tito akan terwujud karena rakyat akan belajar dari peristiwa Jakarta dalam memilih pemimpin masa depan, tidak lagi terjebak pada proganda yang memperalat SARA untuk mencapai kekuasaan.
Â