Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal (Dittipidsiber Bareskrim) telah menangkap 18 orang terkait kasus dugaan ujaran kebencian dan penyebaran berita bohong alias hoaks sejak awal tahun ini.
Maraknya hoaks di ranah publik mencerminkan kultur bangsa yang begitu mudah masuk dalam perangkap budaya kematian.
Baca Juga
Budaya kematian itu tercermin dalam sikap ketidakmampuan menggunakan daya nalar, dalam menyeleksi pemberitaan atau berita, antara mana yang penuh dengan rekayasa dan mana yang faktual.
Advertisement
Di balik itu semua, peristiwa ini terjadi karena masih rendahnya budaya kritis dalam masyarakat kita. Selama ini, pendidikan kritis tentang cara berpikir, bertindak, dan bernalar tidak pernah diajarkan.
Budaya kritis muncul dari kesadaran kritis yang tumbuh dalam alam budaya berpikir. Budaya kritis lahir dari sikap yang selalu mempertanyakan kebenaran dan sumber kebenaran yang sesungguhnya.
Teori kritis mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang segala sesuatu, dan menyediakan cara-cara pengganti untuk menafsirkan peran sosial media massa.
Sebagai contoh, sebagian teoritikus kritis berargumen bahwa media pada umumnya menyokong status quo, bahkan mungkin ketika status quo sedang di bawah tekanan atau mulai retak.
Teori kritis sering menyediakan penjelasan rumit, dan kecenderungan media secara konsisten berlaku seperti itu. Teori kritis sering kali menganalisis institusi tertentu, meraba-raba sejauh mana tujuan yang diharapkan bisa diusahakan dan dicapai. Media massa dan budaya massa yang mereka promosikan telah menjadi fokus teori kritis.
Para peneliti kritis mengaitkan media massa dan budaya massa dengan berbagai permasalahan sosial. Bahkan, ketika media massa tidak dilihat sebagai sumber permasalahn tertentu, media massa dikritik karena memperparah atau membuat masalah menjadi sulit diidentifikasi dan dipecahkan.
Pendidikan kritis melahirkan sikap dan cara berpikir yang tidak mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang menggunakan proganda sebagai alat untuk mengaduk emosi publik lewat ujaran kebencian dan SARA.
Â
Membangun Kecerdasan
Kecerdasan masyarakat dalam menggunakan media sosial hanya bisa dibangun lewat sebuah kesadaran kritis, dengan cara mendidik rakyat untuk lebih mampu memilih berita dan konten yang memiliki sumber akurat.
Di sinilah pentingnya pendidikan literasi media. Literasi media secara singkat dapat dikatakan sebagai kemampuan menerima informasi dari media secara kritis. Juga mengkritisi sisi lain dari informasi tersebut yang berada di luar teks.
Misalnya: siapa yang memberikan informasi? Siapa pemilik medianya? Siapa yang membiayainya? Apa sih tujuannya menyebarkan informasi tersebut? Untuk kepentingan siapa informasi tersebut disebarkan? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dengan tersebarnya informasi tersebut? Dan seterusnya.
Sebab mesti kita sadari, kebanyakan media yang ada dewasa ini dibangun berdasarkan atas dua kepentingan besar, yakni kepentingan politis atau kepentingan ekonomi; bahkan mungkin kedua-duanya, kepentingan politis dan ekonomi. Kemampuan masyarakat dalam menyeleksi berita yang tidak jelas sumbernya, hanya bisa dilakukan dengan cara pendidikan yang memerdekakan.
Buah pendidikan yang memerdekakan adalah menciptakan manusia kritis, sebagaimana berulang kali pernah ditekankan oleh Romo Mangunwijaya, bahwa siswa harus memiliki kekritisan dalam merespon situasi. Tanpa kemampuan itu, hoaks akan selalu menjadi hantu.
Orientasi pendidikan sejatinya adalah untuk memerdekakan dan membebaskan, "memanusiakan manusia" melalui proses "humanisasi" dan "hominisasi" yang secara singkat kita sebut dengan "humaniora".
Tetapi dalam kenyataannya, pendidikan hampir selalu bertolak belakang dengan humanisme, dan ini bukanlah sesuatu hal yang baru.
Di Indonesia, dengan konsep yang terus berjalan seperti ini, belenggu-belenggu dari sisa feodalisme khas Jawa dan kolonial, pendidikan menjadikan siswa sebatas sebagai kader-kader politik mini dan sumber daya manusia yang disiapkan untuk melaksanakan dan mendengarkan apa yang menjadi kepentingan pemerintah dan kaum usahawan melalui indoktrinasi.
Â
Advertisement
Membenahi Pendidikan
Sekolah adalah tempat untuk mendidik anak-anak muda. Tempat di mana para penerus bangsa dibentuk. Berbagai macam idealisme, karakter, dan pola pikir ada di dalamnya, dan tugas pendidik adalah melahirkan orang-orang yang memiliki nilai-nilai humanisme seperti yang dicita-citakan.
Pendidik mempunyai kewenangan penuh terhadap apapun yang terjadi di dalam kelas.
Paradigma bahwa siswa hanya sebagai obyek pendidikan di mana superioritas pendidik begitu menguasai, seakan-akan kebenaran hanya di tangan pendidik, menciptakan jurang pemisah antara siswa yang diajar dengan dirinya sendiri, dan menciptakan jarak dengan rasa takut pada nilai yang buruk yang akan diterima jika tindakan mereka tidak sesuai dengan keinginan pendidik.
Pendidikan yang tidak menghasilkan manusia-manusia humanis haruslah ditempatkan dalam kerangka evolusi, dengan tujuan untuk menciptakan murid, bangsa, bahkan sampai umat manusia kepada pendewasaan diri, yang teremansipasi, merdeka, humanis, dan sanggup bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
Bahkan pencarian jati diri dalam humanismenya, menurut Romo Mangun, tidak boleh berhenti. Pencarian jati diri dan pendewasaan diri haruslah bergerak evolutif yang berujung pada kesadaran akan eksistensi diri.
Pendidikan haruslah mengantarkan manusia menjadi sosok yang terbuka kepada nilai-nilai kemanusiaan universal, meskipun tetap berpegang kepada nilai-nilai keIndonesiaan.
Pendidikan juga harus mampu menjadikan manusia bersikap menurut dinamika relativitas, dengan tidak main mutlak-mutlakan, hal ini berdasarkan pada pemahaman bahwa segala sesuatu bersifat relatif.
Generasi muda harus meluaskan horizonnya dengan berpikir kreatif, eksploratif, inklusif, dan pluralistik.
Berkaca bahwa hidup ini adalah multidimensional, jika satu jalan atau cara yang dilakukan gagal, maka masih terbuka jalan atau cara lain yang bisa ditempuh atau dilakukan.
Ini berarti bahwa hidup itu selalu penuh dengan kemungkinan, selama pikiran kita tidak terbelenggu hanya kepada satu konsep atau paradigma.
Setiap sistem pendidikan ditentukan oleh filsafat tentang manusia dan citra manusianya, sehingga pendidikan tidak pernah netral. Maka visi seorang manusia, pemerintahan ataupun institusi swasta sangat menentukan arah pendidikan yang berpengaruh kepada uraiannya.
Apakah negara merupakan penganut paham pesimististik (menurut Fukuyama dalam The End History and the last Man, 1992), atau optimististik (merujuk kepada Fons Elders dalam Humanism Toward the Third Millenium, 1993).
Apakah negara bersifat religius atau sekuler, dan sebagainya. Oleh sebab itu perlulah di sini kita menelisik apa dan bagaimana visi dari pemerintah atau instansi swasta dalam menyelenggarakan pendidikan.
Dengan semua ini, kita diharapkan menjadi sadar, bahwa pengetahuan akan pendidikan memperlihatkan kepada kita bagaimana era ini penuh dengan tantangan dan harapan, yang dinamis dan multisentra terhadap peluang kerjasama untuk menciptakan kemanusiaan yang beradab.
Juga yang visioner sekaligus profetis untuk prospek ke depan yang lebih terbuka, untuk menjadi manusia-manusia baru yang berpikir kritis, berani, berpandangan luas dan universal, mampu berwacana dan berdiplomasi, serta menghasilkan gagasan-gagasan pembaharuan yang segar.
Kesadaran untuk membenahi pendidikan menjadi faktor yang sangat penting dan menentukan dari upaya yang menyeluruh untuk mengatasi kian maraknya hoaks di dunia sosial.
Â