Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menerbitkan ketentuan baru Pajak Penghasilan atas Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang berlaku sejak 1 Juli 2018.
PP tersebut mencabut PP Nomor 46 Tahun 2013 yang telah berlaku efektif selama lima tahun sejak pemberlakuannya 1 Juli 2013. Peraturan baru ini dipandang sangat penting sehingga Presiden RI Joko Widodo berkenan meluncurkan pertama kali di JX International (Jatim Expo) Surabaya pada 22 Juni 2018.
Latar belakang terbitnya PP 23/2018 sebagaimana tercantum dalam konsiderans menimbang dan penjelasan umumnya adalah  untuk mendorong masyarakat berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal, dengan memberikan kemudahan dan lebih berkeadilan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu untuk jangka waktu tertentu.
Advertisement
Beberapa pokok perubahan penting dalam peraturan baru ini adalah sebagai berikut:
1. Pengenaan PPh Final hanya berlaku dalam jangka waktu tertentu, yaitu paling lama:
a. 7 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi
b. 4 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma; dan
c. 3 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas
(sebelumya jangka waktu tidak dibatasi).
2. Tarif PPh Final 0,5 persen (sebelumnya 1 persen).
3. Wajib Pajak dapat memilih untuk tidak dikenai PPh Final tetapi dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif umum dalam UU PPh (sebelumnya tidak ada pilihan).
4. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas tidak dapat menggunakan ketentuan baru ini (sebelumnya tidak diatur).
5. Mekanisme pelunasan PPh Final dilakukan dengan:
a. Disetor sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu; atau
b. Dipotong atau dipungut oleh Pemotong atau Pemungut Pajak dalam hal Wajib Pajak bersangkutan melakukan transaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut Pajak.
(sebelumnya mekanisme pelunasan hanya disetor sendiri oleh Wajib Pajak)
Tidak terdapat perubahan dalam batas jumlah peredaran bruto yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dalam PP 23/2018 ini yaitu tidak melebihi Rp 4.800.000.000 dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Sementara itu, Peraturan Menteri Keuangan yang akan mengatur lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran dan pemotongan atau pemungutannya belum terbit hingga saat penulisan artikel ini.
Â
Lebih Mencerminkan Keadilan
Telah diterima secara universal pemajakan yang adil haruslah berdasarkan asas ability to pay (daya pikul). Jadi pembayaran pajak didasarkan pada kemampuan Wajib Pajak dalam memikul beban pajak (Steven Utz, 2002).
Ukuran paling ideal untuk mengukur kemampuan membayar pajak adalah penghasilan neto, bukan penghasilan bruto. Pengertian penghasilan neto dalam hal ini adalah penghasilan kena pajak yaitu penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh penghasilan tersebut sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
Untuk orang pribadi diberikan tambahan pengurang berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Dengan asas ability to pay, setiap Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan kena pajak yang sama akan membayar Pajak Penghasilan dalam jumlah sama (keadilan horizontal) sementara semakin besar penghasilan Wajib Pajak semakin besar pula pajak yang harus dibayar (keadilan vertikal).
PP 23/2018 ini lebih mencerminkan keadilan dibandingkan PP 46/2013 sebelumnya karena pengenaan Pajak Penghasilan terhadap UMKM pada akhirnya akan berbasis penghasilan neto dan dikenakan dengan tarif umum berdasarkan UU PPh. Pengenaan PPh bersifat final hanya bersifat sementara.
Untuk dapat mengenakan pajak berdasarkan penghasilan neto maka diperlukan informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak. Informasi tersebut idealnya dapat diperoleh dari penyelenggaraan pembukuan.
Namun, realitanya belum semua Wajib Pajak mampu membuat pembukuan yang menghasilkan laporan keuangan berupa neraca dan laba rugi.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah untuk membatasi jangka waktu pemberlakuan PPh Final dengan tarif 0,5 persen sudah tepat sehingga cukup waktu bagi Wajib Pajak UMKM untuk belajar hingga mampu menyelenggarakan pembukuan.
Terkait dengan kewajiban pembukuan ini pemerintah perlu memikirkan standar pembukuan khusus untuk UMKM yang lebih sederhana dari standar akuntansi keuangan perusahaan pada umumnya agar Wajib Pajak UMKM tidak kesulitan dalam melaksanakan kewajiban dalam menyelenggarakan pembukuan dimaksud.
Dari sisi besaran tarif,penurunan dari 1 persen menjadi 0,5 persen tentu disambut gembira oleh sejumlah Wajib Pajak UMKM meskipun bagi sejumlah pengusaha UMKM lainnya masih belum dianggap adil.
Betapa tidak, dengan penurunantarif PPh Final menjadi 0,5 Â persen, maka penghasilan kena pajak UMKM misalnya yangberbentuk badan dianggap sebesar 4 persen dari peredaran bruto.
Tarif 0,5 persen PPh Final dari peredaran bruto sama dengan penerapan tarif Pasal 31E UU PPh yaitu 12,5 persen dikalikan dengan penghasilan kena pajak sebesar 4 persen dari peredaran bruto.
Tarif PPh Final sebesar 0,5 persen dirasakan masih tinggi oleh Wajib Pajak UMKM badan yang rata-rata hanya mampu memperoleh penghasilan kena pajak di bawah 4 persen dari peredaran bruto.
Namun, demikian PP 23/2018 cukup adil dengan memberikan pilihan bagi Wajib Pajak UMKM jika menghendaki penghasilannya tidak dikenai PPh Final 0,5 persen dari peredaran bruto tetapi dengan tarif umum PPh yang dikenakan dari penghasilan neto.
Ini asalkan mampu menyelenggarakan pembukuan sehingga besar kecilnya PPh yang akan dibayar oleh Wajib Pajak UMKM akan sangat tergantung dari besarnya penghasilan neto.
Dalam hal penghasilan neto menunjukkan angka negatif atau merugi, pengusaha UMKM tidak perlu membayar pajak dan bahkan kerugiannya dapat dikompensasikan dengan penghasilan kena pajak dalam 5 (lima) tahun pajak berikutnya.
Â
Advertisement
Masih Terdapat Ketidakpastian
Dari tiga hal yang menjadi tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum yang paling substantif adalah keadilan (Gustav Radbruch).
Namun, demikian ketentuan yang mengandung unsur ketidakpastian dapat mengakibatkan ketidakadilan. Oleh karena itu norma hukum termasuk ketentuan perpajakan haruslah jelas, pasti serta tidak menimbulkan multitafsir.
Menurut penulis, PP 23/2018 masih mengandung unsur ketidakpastian berikut ini:
1. Pekerja Bebas Yang Mempekerjakan Orang Lain
Pasal 2 ayat (4) dari PP 23/2018 mencantumkan beberapa jenis profesi pekerjaan bebas yang penghasilannya tidak termasuk yang dikenai PPh Final.
Dalam penjelasan pasal tersebut diberikan contoh bahwa apabila seorang ahli pemain piano memperoleh penghasilan dari mengajar piano tanpa terikat oleh suatu hubungan kerjamaka atas penghasilan tersebut tidak akan dikenai PPh yang bersifat final karena dianggap menyerahkan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Namun jika ia memiliki usaha kursus piano dan mempekerjakan orang lain maka penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sehingga penghasilan dimaksud akan dikenai PPh Final berdasarkan PP 23/2018.
Tidak dijelaskan dalam contoh apakah orang yang dipekerjakan di tempat kursus tersebut juga mengajar piano sehingga dapat juga ditafsirkan hanya pekerja biasa misalnya petugas keamanan, petugas kebersihan kantor atau petugas administrasi kursus yang tidak mengajar piano.
Contoh dalam penjelasan Pasal 2 ayat (4) tersebut tidak jelas serta dapat menimbulkan multitafsir yang berakibat ketidakpastian apakah setiap orang pribadi yang menjalankan profesi pekerjaan bebas sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (4) PP 23/2018 ketika menjalankan usaha melalui pendirian kantor dengan mempekerjakan orang lain, terlepas dari apakah pekerja dimaksud juga melakukan pekerjaan yang sama dengan yang dilakukan profesional tersebut atau tidak lalu kemudian menjadi dapat dikenai PPh yang bersifat final.
Misalnya apakah seorang advokat yang mendirikan kantor konsultan hukum pribadi (bukan firma) mempekerjakan beberapa staf sarjana hukum yang bukan advokat dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final atau tidak.
Â
Selanjutnya
2. Persekutuan komanditer/firma vs Perseroan Terbatas
Pasal 3 ayat (2) huruf b PP 23/2018 mengatur Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas tidak termasuk Wajib Pajak yang dikenai PPh Final.
Dalam penjelasan pasal tersebut diberikan contoh dua orang konsultan pajak yang membentuk firma untuk menjalankan usaha konsultan pajak.
Mengingat jasa yang diberikan firma tersebut sama dengan yang diberikan kedua konsultan pajak yaitu sehubungan dengan pekerjaan bebas berupa konsultan pajak, maka firma tersebut tidak termasuk Wajib Pajak berbentuk firma yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 23/2018.
Dalam praktiknya beberapa konsultan pajak mendirikan usaha pemberian jasa konsultan pajak dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT).
Sementara itu yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b PP tersebut adalah hanya dalam hal Wajib Pajak badan berbentuk CV atau firma.
Dengan demikian timbul pertanyaan apakah terdapat perbedaan perlakuan antara usaha beberapa konsultan pajak yang mendirikan badan usaha berbentuk CV/firma dengan yang berbentuk PT. Jika benar dibedakan demikian tentu hal ini merupakan diskriminasi yang berakibat ketidakadilan.
Selanjutnya tidak jelas benar perlakuan PP23/2018 dalam hal perusahaan berbentuk firma yang didirikan oleh dua orang atau lebih rekan di mana hanya satu orang yang memiliki keahlian khusus.
Misalnya rekan yang memiliki izin praktik Konsultan Pajak hanya satu orang sedangkan rekan lainnya bertindak selaku tenaga pemasaran atau penanggungjawab administrasi dan keuangan.
Tidak pasti perlakuannya apakah firma jenis ini termasuk Wajib Pajak bentuk firma yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final atau tidak, sebab yang dicontohkan dalam penjelasan Pasal 23/2018 adalah kantor konsultan pajak dalam bentuk firma di mana kedua rekan dalam firma tersebut memberikan jasa sehubungan dengan pekerjaaan bebas yaitu jasa konsultan pajak, dalam arti keduanya mempunyai keahlian khusus sebagai konsultan pajak.
Â
Ruston Tambunan
Managing Partner Citasco
Advertisement