Sukses

OPINI: Menyikapi Risiko Krisis Ekonomi Turki ke RI

Pengelolaan ekonomi Turki saat ini boleh dibilang kurang sehat dengan mencermati memburuknya defisit kembar.

Liputan6.com, Jakarta - Ada apa dengan Turki?

Secara fundamental, pengelolaan ekonomi Turki saat ini boleh dibilang kurang sehat dengan mencermati memburuknya twin defisit (fiskal dan neraca berjalan).

Taksiran tahun ini twin defisit sekitar 9 persen terhadap Gross Domestic Product (GDP). 6,4 persen merupakan current account deficit 2018F (sumber Bloomberg).

Berarti negeri ini membutuhkan dana asing untuk membiayai defisit tersebut.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini sekitar 4,1 persen memang terbilang rendah dibandingkan tahun 2017 (7,4 persen). Lingkungan eksternal "new normal" yang kurang bersahabat bagi negara berkembang (strong dollar, higher interest rate dan higher oil price) memicu pelemahan kurs dan inflasi (sekitar 13 persen).

Namun sentral bank ditenggarai mendapat tekanan dari pemerintah untuk tidak melakukan pengetatan, termasuk menaikkan bunga. 

Bisa dimaklumi mencermati tingkat pengangguran yang mencapai 10 persen. Investor bereaksi negatif seperti ditunjukkan oleh angka credit default swap (CDS) Turki yang kini lebih tinggi dibanding Brazil, negara yang mengalami rating downgrade.

Apalagi setelah meluaskan konflik politik dengan (Presiden) Amerika Serikat yang semakin memperburuk situasi.

Yield obligasi negara Turki melonjak hingga 22 persen dan selama tahun berjalan mata uang Turki Lira anjlok 45 persen.

Krisis ekonomi dan gagal bayar obligasi Turki berisiko menekan ekonomi Eropa mengingat banyak lembaga keuangannya memiliki surat utang Turki.

Sumber Bank for International Settlement per 1Q18 mengungkap Spanyol memiliki eksposure sekitar 36 persen surat berharga Turki disusul  Perancis (16 persen), Italia-UK-US (masing-masing 8 persen) dan Jerman (6 persen). Itu sebabnya kita menyaksikan pelemahan euro yang terbaca sebagai penguatan dolar Amerika Serikat.

Euro sendiri cenderung melemah terhadap rupiah

Krisis ekonomi Turki pada hakikatnya memperpanjang siklus strong dolar Amerika Serikat yang hanya bisa diredakan apabila ekonomi kawasan Eropa bisa menguat seperti terjadi selama 2017.

Dampak Terhadap Indonesia

Dengan asumsi perbankan Indonesia boleh dibilang tidak memiliki eksposure terhadap surat berharga Turki, maka dampak langsung krisis ekonomi Turki relatif terbatas.

Namun, pasar modal Indonesia, secara umum turut terkena dampak currency risk yang terkait penguatan dolar AS (DXY) dan memburuknya sentimen terhadap negara berkembang (seperti ditunjukkan oleh JP Morgan Emerging Market Spread dan CDS).

Seperti terlihat pada dashboard terlampir, kedua faktor tersebut turut menekan rupiah sehingga melewati angka 14.500.

 

Kami cermati dua faktor eksternal lain yakni suku bunga dan rasio cost_to_income commodity price relatif membaik. Suku bunga LIBOR cenderung stagnan ketika yield T-bond menurun.

Sementara penurunan harga minyak menahan kenaikan rasio cost_to_income commodity price (COMCUAN).

Model kami mengindikasikan kurs rupiah akan cenderung tertekan sehingga membuka kemungkinan BI akan terpaksa menaikkan suku bunga.

Pemerintah seharus mempercepat upaya memanfaatkani penguatan dollar dan kenaikan harga energi minyak baik melalui kebijakan substitusi energi (B20 biodiesel) dan memacu pariwisata.

Sampai Kapan?

Belajar dari pengalaman Indonesia 1998, penyembuhan twin defisit mengharuskan perlambatan ekonomi yang bisa memicu krisis politik.

Apakah akan juga terjadi di Turki? Tidak ada yang tahu.  Konflik politik dengan Amerika Serikat bisa terus berlanjut bila para pimpinan negara tidak dapat berkompromi.

Situasi terbilang memanas. Opini Presiden Erdogan muncul di harian New York Times yang bernada mengancam akan mengakhiri persekutuan dengan Amerika Serikat.

Secara ekonomi, kondisi sekarang berbeda dengan kondisi yang melatari krisis 1998 dan 2008. Ketika perekonomian global tidak mengalami kekurangan likuiditas.

Excess liquidity yang ditunjukkan melalui excess reserve masih terbilang massif di perbankan Amerika Serikat dan kawasan Eropa.

Hanya saja negara berkembang (yang mengalami twin defisit termasuk Indonesia) harus membayar dengan biaya yang lebih mahal. 

Sejauh ini pemerintah Indonesia telah melakukan kebijakan diferensiasi termasuk menaikkan suku bunga. Tinggal menunggu apakah investor asing melakukan diskriminasi antar negara berkembang.

 

Budi Hikmat

Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Invesment Management

Video Terkini