Liputan6.com, Jakarta - Barangkali tidak terlalu sulit mengingat peristiwa teror bom yang terjadi di Surabaya. Sebagai realisisasi gerakan-gerakan terorisme, hal ini memicu perdebatan yang tidak hanya memerlukan narasi kontraterorisme secara makro, tetapi juga membuka tirai terorisme yang di dalamnya bersemayam peran perempuan.
Alhasil, terorisme bukan hanya skala yang melulu berbicara tentang keyakinan, tetapi juga gender di dalamnya.
Semakin intimnya gerakan terorisme dan perempuan ini bisa dilihat dari berbagai peristiwa. Kekhawatiran-kekhawatiran keterlibatan perempuan dalam terorisme menjadi pelatuk antisipatif. Komnas Perempuan (2018) semisal, menilai bahwa keterlibatan perempuan dalam gerak terorisme bisa dilihat dari peran strategis perempuan untuk mentransmisikan ideologi radikal dan anak-anak menjadi martir.
Advertisement
Rasa simpati dan menjadi pendukung dengan mempersiapkan makananan, kesehatan dan lain sebagainya, lanjut Komnas Perempuan, merupakan sel-sel sifat dan sikap perempuan yang digunakan jaringan terorisme untuk menggunakannya. Dan kesimpulannya, perempuan menjadi agensi pelaku terorisme sekaligus objek rekrut menerima doktrin radikal dan alat ideologisasi hingga martir pelaku kekerasan itu sendiri.
Narasi perempuan sebagai ibu yang dilekatkan dalam diri perempuan, membuat jaringan terorisme semakin tertarik dan mudah menggunakan perempuan sebagai agensi terorisme. Domestifikasi peran-peran perempuan dalam gelegar hierarki patriarki, sudah menjadi barang mapan.
Asumsi-asumsi bahwa perempuan yang lemah dan nomor dua dalam relasi gender, diakui atau tidak, adalah fenomena yang mengakibatkan keterlibatan perempuan menjadi lebih mudah.
Ia mempunyai ruang gerak yang lebih dominan untuk lebih dekat dengan anak-anaknya untuk melakukan doktrinasi nilai-nilai radikal hingga ujung menjadikan anaknya sebagai martir terorisme.
Pemahaman ahistoris tentang perang, kekerasan dan militerisme yang merupakan domain ekslusif laki-laki, juga ikut serta dalam biak pemanfaatan perempuan dalam gerakan terorisme. Wacana maskulinitas inilah yang kemudian digunakan oleh jaringan terorisme untuk lebih mendekati perempuan sebagai agensinya.
Dengan demikian, kecurigaan terhadap perempuan dalam realisasi atau pelaku terorisme dianggap tabu. Tak dinyana, aksi bom bunuh diri yang melibatkan anggota keluarga, bisa dikatakan sebagai upaya mengecoh pihak keamanan dengan menghapus kecurigaan terhadap perempuan sebagai pelaku terorisme.
Di sinilah tesis penting Charles Hirschkind dan Saba Mahmood dalam Feminism, the Taliban, and Politics of Counter-insurgency (Abdul Ghofur dan Sulistiyono Susilo, 2015). Mereka mengatakan bahwa gender memainkan peran penting dalam dukungan terhadap radikalisasi sekaligus deradikalisasi.
Hemat penulis, inilah yang luput dari perhatian kita dalam gerakan-gerakan kontraterorisme, yang melulu memandang gerakan terorisme sebagai domain ekslusif kaum Adam, sehingga menghilangkan kecurigaan dan perhatian terhadap perempuan dalam gerakan terorisme.
Akselerasi
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang heterogen dan terbuka terhadap pemikiran-pemikiran sekaligus gerakan dari luar, berimplikasi pada keteledoran dalam penangkalan terorisme, baik dalam pencegahan maupun sesudahnya.
Padahal, di titik tertentu, heterogonitas dan keterbukaan ini menumbuhkan optimisme sebab kesadaran-kesadaran kolektif untuk berorganisasi dan membangun kesadaran keberlanjutan perempuan itu ada.
Tak terkecuali dalam diri Muslimat NU yang bisa dikatakan sebagai organisasi keperempuanan dengan modal dan pemahaman tentang keyakinan (Islam) yang moderat.
Tidak berhenti di situ, sejarah-sejarah dalam napak tilas keperempuanan NU, hingga akhirnya menjadi Muslimat NU seperti sekarang ini juga buah dari kesadaran perempuan.
Keterlibatan perempuan NU bisa dilihat dalam Muktamar ke-13 di Menes, Banten. Sebelumnya, memang tidak ada keterlibatan atau tidak dilibatkan dalam setiap forum. Dan pada tahun 1938 itulah, perempuan hadir dan mulai bersuara, seperti Ny R Djuaesih dan Ny Siti Sarah hingga pada akhirnya, Nahdloutul Ulama Muslimat terbentuk. Dan pada 29 Mare 1946, Badan Otonom yang kini menjadi Mulimat NU lahir dengan struktur sendiri (islami.co, 2016).
Hingga kini, Muslimat NU sudah genap berusia 73 tahun dan pada pekan kemarin hari lahirnya dirayakan di Jakarta dengan jumlah peserta yang berjumlah besar. Jika ditilik dari sejarah lahirnya, barangkali tidak berlebihan jika dikatakan ada spirit gender bersemai di dalamnya.
Persamaan terhadap laki-laki, seperti berpendapat, menjadi nilai penting untuk diakselarikan dalam peristiwa-peritiwa yang belakangan ini terjadi seperti aksi kekerasan yang menunjukkan perempuan terlibat di dalamnya.
Program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh Muslimat NU bisa aplikatif. Pada bulan Februari 2018 Muslimat NU melakukan sejumlah program pemberdayaan untuk mewujudkan Sustainable Develepment Goals (SDGs).
Organisasi yang bernaung pada nilai-nilai moderatisme Islam ini nampaknya mempuanyai kekuatan-kekuatan yang bisa digunakan sebagai gerakan kontra-terorisme.
Selain pendidikan dan gerakan lainnya, disiratkan dalam program 2018 itu adalah gerakan literasi digital. Hal ini menarik mengingat perkembangan zaman yang kian cepat, tentu saja kaitannya dengan gerakan kontraterorisme.
Pada tahun 2014, Josh James yang dikutip Murad Maulana, mengemukakan bahwa setiap menitnya ada pengguna You Tube mengupload 72 jam konten video baru, pengguna Facebook membagikan 2.460.000 potongan konten, pengguna Twitter membagikan 277.000 tweet dan pengguna Instagram mengupload 216.000 foto.
Artinya bahwa ada ratusan hingga jutaan konten yang diterima oleh masyarakat melalui layar digital. Dan ini menarik apabila dikaitkan dengan penggunaan laman digital yang kerap menyiarkan konten-konten yang secara implisit berkaitan erat dengan gerakan-gerakan terorisme.
Dari fenomena ini, penulis menilai bahwa literasi digital menjadi point penting yang harus direalisasikan oleh Muslimat NU yang sudah matang di usianya yang ke-73.
Dengan modal jamaah yang besar, akan lebih positif jika nilai-nilai sejarah lahirnya Muslimat NU dan penggunaan layar digital termaktub dalam laku sehari-sehari, tentu saja dengan tujuan transfomasi nilai-nilai Islam moderat dan kontraterorisme, lebih khusus yang melibatkan perempuan di dalamnya.
Â
*Penulis adalah Ubaidillah, Kader Muda NU, kini sebagai Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat.