Oleh Didin Nasirudin, Managing Director Bening Communication dan Pemerhati Politik AS
Liputan6.com, Jakarta - The Daily Beast pada 20 Oktober melaporkan bahwa tim kampanye Joe Biden telah menyiapkan anggaran sangat besar untuk menyewa ratusan pengacara guna menghadapi kemungkinan terjadinya sengketa hasil pemilu.
Baca Juga
Tidak hanya itu. Menurut seorang donatur papan atas kepada Sam Stein dari The Daily Beast, tim kampanye Biden bahkan sudah membayar "uang panjar" atau "deposit" kepada sejumlah pengacara papan atas. Tujuannya agar para pengacara tersebut tidak bisa disewa tim kampanye Trump ketika hasil Pilpres 3 November menuai sengketa.
Advertisement
Tim Biden bisa melakukan hal ini karena sumbangan dana dari donatur kecil maupun kakap terhadapnya dan Partai Demokrat tidak pernah surut. Menurut The Daily Beast, pada September lalu ketika tim Trump mulai kesulitan menggalang dana, Biden bisa mengalirkan US$147 setiap detik ke pundi-pundi kampanyenya.
Pilpres AS 2020 memang beda dari pilpres-pilpres sebelumnya. Pada pilpres kali ini, pandemi COVID-19 menjadi isu sentral. COVID-19 tidak saja merontokkan ekonomi AS tapi juga elektabilitas Donald Trump. Tidak mengherankan jika saat ini mayoritas lembaga poling atau analis pemilu independen memperkirakan Joe Biden akan akan menang telak pada 3 November. Beberapa lembaga analis pemilu seperti Princeton Election Consortium dan JKH Forecast bahkan memprediksi Biden akan meraih lebih dari 350 suara elektoral.
Sejumlah lembaga poling dan analis pemilu yang pro-Partai Republik, seperti Rasmussen Report dan Trafalgar Group, memang mengeluarkan angka-angka yang mengindikasikan pada Pilpres 2020 akan menjadi pengulangan pilpres 2016. Namun, tokoh-tokoh besar di industri poling, baik yang berhaluan kiri maupun kanan yakin kali ini mereka tidak salah.
Prediksi Pilpres 2020 Diyakini Akurat
Pendiri FiveThirtyEight, Nate Silver, misalnya menunjukkan akurasi prediksi hasil midterm election atau pemilu sela 2018 sebagai modal keyakinannya. Prediksi Silver dan tim pada miderm 2018 memang sangat akurat. Mereka tidak saja sukses memprediksikan Demokrat akan merebut suara mayoritas di DPR, Republik memperkuat dominasi mereka di Senat dan Demokrat meningkatkan jumlah gubernur mereka, tapi juga membuktikan 490 dari 506 (97%) prediksi hasil Pemilu DPR, Senat, dan Gubernur di midterm election 2018 yang mereka rilis terbukti akurat.
Beberapa pollster bahkan menjadikan Pilpres 2020 sebagai pertaruhan terakhir mereka. Salah satunya adalah Frank Luntz, pollster terkemuka untuk para kandidat Partai Republik, yang kali ini memprediksi Biden akan menang. "Jika angka-angka poling kali ini ternyata salah. Jika Donald Trump benar dan para pollster salah memprediksi hasil pilpres kali, maka orang-orang seperti saya harus mencari profesi baru," kata Luntz dalam wawancaranya dengan Bret Baier, chief political correspondent Fox News.
Memang, dengan angka-angka poling yang menunjukkan Biden unggul di 8 dari 10 swing states yang dimenangkan Trump pada 2016, capres Partai Demokrat ini memiliki banyak jalur kemenangan. Jalur paling mudah adalah mengembalikan Wisconsin, Michigan, dan Pennsylvania ke status lamanya sebagai Blue Wall. Sebaliknya, Trump hanya bisa berharap pada tingkat partisipasi pemilih (voter turnout) Republik dan polling error yang jauh lebih besar dari 2016, sehingga bisa memenangkan swing states yang menurut poling-poling saat ini sudah di luar jangkauannya.
Para analis politik AS berkeyakinan, voter suppression (upaya mempersulit pemilih untuk mencoblos) dan Mahkamah Agung akan menjadi senjata andalan Trump untuk memutarbalikkan prediksi hampir semua pollster dan analis pemilu. Sebelumnya tim kampanye Trump melalui Rudy Giuliani dan Steve Bannon berupaya memanfaatkan interferensi Rusia serupa 2016 melalui 'misteri laptop Hunter Biden', tapi gagal total.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
PT Pos AS Sebagai Instrumen Voter Supression Terbesar
Rencana voter suppression paling serius yang dilakukan Trump adalah dengan mengangkat Lois DeJoy sebagai CEO dan Postmaster General US Post Service (USPS)--semacam direktur utama PT Pos-nya AS—pada Mei 2020. DeJoy adalah pebisnis di sektor logistik yang juga salah satu penyandang dana atau donatur kampanye Trump.
Sebulan sejak pengangkatannya, DeJoy mengeluarkan sejumlah kebijakan kontroversial: meniadakan kerja lembur, melarang petugas melakukan perjalanan ekstra atau telat pulang ke kantor ketika mengirim surat, mencopot dan membongkar ratusan mesin sortir surat berkecepatan tinggi serta mencopot sebagian kotak pengiriman surat yang terpasang di jalan-jalan. Kebijakan DeJoy yang kontroversial tersebut membuat pengiriman pos melalui kantor pos menjadi luar biasa lambat.
Menurut laporan CNBC, tes pengiriman surat melalui pos selama 3 bulan yang dilakukan oleh NBCLX dan NBC Owned Television Stations menunjukkan bahwa pengiriman surat-surat penting (first-class), termasuk surat-surat resmi terkait pemilu bisa memakan waktu hingga 5 hari. Keterlambatan pengiriman surat lebih sering terjadi akhir Oktober menjelang pilpres ini dibandingkan dengan tanggal-tanggal sebelumnya.
Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan mengingat sangat besarnya surat suara pemilu yang dikirim melalui pos. Menurut catatan The New York Times, hingga 31 Oktober lalu 57.6 juta pemilih AS mengirim surat suara mereka yang sudah dicoblos melalui pos. Angka ini hampir 240% dari total surat suara melalui pos pada 2016 yang hanya mencapai 24.2 juta, berdasarkan data United States Election Project, University of Florida.
Pengiriman surat suara melalui pos atau mail-in/absentee ballot selama pandemi ini memang sangat dipermudah. Jika sebelumnya absentee ballot hanya diperuntukkan bagi mereka yang kesulitan melakukan pencoblosan langsung di TPS, seperti tentara dan diplomat yang bertugas di luar negeri, lansia, atau orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik, kini setiap orang boleh meminta formulir surat suara absentee ballot, meskipun setiap negara bagian memiliki kebijakan tersendiri mengenai hal ini.
Yang pasti, permintaan absentee ballot di AS selama pandemi meningkat drastis, terutama di swing states. Menurut The New York Times, peningkatan permintaan absentee ballot terbesar terjadi di Pennsylvania, yakni 2.868% dari 2016. Permintaan absentee ballot juga meningkat 797% di Wisconsin, 738% di Georgia, 609% di North Carolina, 269% di Michigan, 235% di Ohio, 179% di Florida dan 137% di Iowa.
Meningkatnya absentee ballot di tengah pengiriman surat via pos yang sangat lambat memiliki implikasi yang serius terhadap hasil pilpres AS. Partai Demokrat menjadi pihak yang paling khawatir dengan kondisi ini karena mayoritas pemilih yang meminta absentee ballot di sejumlah swing states penting adalah pemilih Demokrat: Pennsilvania 65% Demokrat vs 25% Republik, North Carolina 46% Demokrat vs 20% Republik, Florida 45% Demokrat vs 31% Republik dan Iowa 46% Demokrat vs 33% Republik.
Menurut riset yang dilakukan The Brennan Center for Justice's Democracy Program, pada midterm elections 2018 lalu, 1.5% absentee ballot dinyatakan tidak sah dengan alasan (1) diterima setelah tenggat waktu (deadline), (2) tidak ditandatangani, atau (3) tanda tangan tidak matching.
Angka absentee ballot yang tidak sah di beberapa swing states jauh lebih tinggi: North Carolina 6.1%, Pennsylvania 4.5% dan Georgia 3.1%. Dengan permintaan absentee ballot yang mencapai 2.868% di Pennsylvania, 738% di Georgia, dan 609% di North Carolina, tim kampanye dan legal Partai Demokrat harus berjuang keras untuk memastikan agar absentee ballot tidak sah dari pemilih Demokrat masih dalam batas wajar. Jika tidak, hal ini sama saja dengan memberi hadiah kemenangan kepada Trump.
Voter suppression akibat pengiriman yang telah melalui pos bukan menjadi satu-satunya cara yang dipakai Partai Republik untuk memenangkan kembali Trump. The Voting Rights Alliance mencatat 61 bentuk voter suppression yang banyak dipakai oleh partai berkuasa, terutama Partai Republik, termasuk pembatasan jumlah TPS, sehingga antrean mengular, intimidasi pemilih, penempatan polisi di TPS, dan tidak ada TPS di kampus-kampus.
Â
Advertisement
Perkara Pilpres MA Sebagai Senjata Pamungkas Trump
Penentuan pemenang pilpres melalui Mahkamah Agung (MA) di tingkat negara bagian maupun pusat adalah rencana lain yang disiapkan tim kampanye Trump dan Partai Republik untuk memenangi pemilu jika upaya voter suppression gagal. Inilah salah satu alasan Trump dan Senat Republik bersikeras mengangkat Amy Coney Barret yang berhaluan ultrakonservatif sebagai Hakim Agung MA, pengganti mendiang Ruth Bader Ginsburg (RBG) yang liberal hanya beberapa menjelang pilpres 3 November, dengan pelantikan pada 2 November.
Trump dan para petinggi Partai Republik membayangkan skenario Pilpres 2000 akan berulang. Saat itu, capres Partai Demokrat Al Gore unggul sementara dengan 266 suara elektoral, sementara George W. Bush meraih 243 suara elektoral. Florida yang memiliki 29 suara elektoral menjadi penentu kemenangan bagi keduanya.
Ketika perhitungan suara selesai, ternyata Bush unggul dari Gore dengan selisih beberapa ratus suara saja. Karena selisih suara di bawah 0.5%, MA Negara Bagian Florida memerintahkan penghitungan ulang surat (recount). Namun, ketika penghitungan ulang tengah berlangsung, Bush membawa kasus ini ke MA pusat yang kemudian membatalkan proses recount MA Florida dengan keputusan 5-4 suara Hakim Agung. Dengan demikian, Bush menjadi pemenang Pilpres 2000 dengan perolehan 272 suara elektoral.
Naiknya Barret sebagai Hakim Agung penganti RBG yang liberal membuat MA AS kini memiliki enam Hakim Agung konservatif dan 3 Hakim Agung liberal. Jadi, jika terjadi pengulangan sengketa pilpres seperti pada tahun 2000—Trump unggul dengan selisih sangat kecil di satu atau beberapa negara bagian—presiden petahana ini memiliki peluang besar untuk kembali dimenangkan MA dengan suara 6-3. Apalagi 2 Hakim Agung lain, Brett Kavanaugh dan Neil Gorsuch, juga diangkat oleh Trump. Selain itu, mayoritas Hakim Agung MA negara bagian Florida, Wisconsin, Michigan, dan Arizona juga berhaluan konservatif.
Akan tetapi, Biden juga punya senjata ampuh: memenangi pilpres dengan meraih suara elektoral sebanyak-banyaknya seperti prediksi poling-poling dengan margin keunggulan sebesar-besarnya di swing states, terutama Pennsylvania, Michigan, dan Wisconsin, sehingga memperkecil kemungkinan perkara hasil pilpres dibawa ke MA.
"Jika margin kemenangan [Biden] cukup tinggi, maka tidak akan ada banyak perkara hukum yang bisa menantang hasil perhitungan suara pilpres," kata Wendy Weiser, Direktur Democracy Program di the Brennan Center for Justice, NYU School of Law.