Sukses

OPINI: Pengaruh Krisis Afghanistan Terhadap Masa Depan Politik Joe Biden dan Partai Demokrat

Apakah blunder terkait penarikan pasukan AS dari Afganistan akan menjadikan Joe Biden presiden untuk satu periode?

Oleh: Didin Nasirudin, Managing Director Bening Communication dan Pemerhati Politik Amerika Serikat

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa hari lalu saya mendapat pertanyaan menggelitik dari seorang teman: 'Apakah blunder terkait penarikan pasukan AS dari Afganistan akan menjadikan Joe Biden presiden untuk satu periode?'

Ini pertanyaan sederhana yang tidak mudah dijawab, terutama karena deklarasi perang, penggelaran atau penghentian aktivitas militer, serta kebijakan politik luar negeri lain, bukan faktor kunci yang mempengaruhi keputusan pemilih.

Tapi teman saya tersebut berkeyakinan, Afganistan bisa membuat nasib Biden sama dengan Gerald Ford yang gagal di pilpres 1976 karena reputasinya yang anjlok pasca-kejatuhan Saigon pada 30 April 1975. Atau Jimmy Carter yang gagal terpilih kembali akibat insiden pendudukan Kedubes AS di Teheran oleh para mahasiswa pendukung Ayatullah Khomeini pada November 1979.

Afghanistan beda dengan Vietnam; 3 Presiden AS di Era Perang Vietnam Menang Besar di Pilpres

Memang, banyak media AS melihat persamaan antara kejatuhan Saigon ke tangan tentara Vietnam Utara dengan kejatuhan Kabul ke tangan tentara Taliban. Misalnya, harian New York Post edisi 13 Agustus 2021 menjadikan “BIDEN’S SAIGON” sebagai judul berita di halaman depan.

Contributing editor Politico Magazine Joshuna Zeitz mengakui, suasana kacau luar biasa yang terjadi saat ribuan warga Afghanistan menyerbu landaspacu bandara untuk bisa keluar dari Afghanistan, layak disebut "Saigon on Steroids' atau 'Joe Biden's Saigon Moment."

Tapi Zeitz yakin, "Afghanistan is not Vietnam, and it is not at all clear that Biden will suffer the same political consequences as Ford."

Sejarah mencatat, sebelum Presiden Ford menarik total tentara AS dari Vietnam, tiga presiden AS sudah terlibat dalam Perang Vietnam, diawali oleh Presiden Dwight D. Eisenhower yang mengirim 700 personel Military Assistance Advisory Group (MAAG) untuk melatih Tentara Republik Vietnam.

Keterlibatan AS di Vietnam mengalami eskalasi di era Presiden John F. Kennedy (JFK) dan penerusnya Lyndon B Johnson (LBJ), setelah JFK terbunuh. Di akhir jabatan LBJ, jumlah tentara AS di Vietnam mencapai lebih dari 500.000 personil.

Keterlibatan AS di Perang Vietnam mengalami de-eskalasi di era Presiden Richard M. Nixon dengan penarikan mundur secara bertahap pasukan AS dari Vietnam dari 500.000 pada awal jabatannya menjadi 24.000 pada akhir 1972. Nixon juga menjalankan kebijakan Vietnamisasi, yakni memperluas, mempersenjatai dan melatih tentara Vietnam Selatan, serta meningkatkan keterlibatan mereka dalam pertempuran.

Tapi di era Nixon, pemberitaan negatif mengenai Perang Vietnam juga meningkat, sehingga demo anti-perang terjadi di mana-mana. Apalagi di era Nixon terbit ‘Pentagon Papers’ yang mengungkapkan berbagai kebohongan pemerintah kepada rakyat AS dan Kongres terkait Perang Vietnam.

Setelah Nixon lengser di tengah periode kedua akibat skandal Watergate, kebijakannya dilanjutkan oleh Ford yang terpaksa berakhir dramatis dengan kajatuhan Saigon ke tangan pasukan Vietnam Utara pada 30 April 1975.

Menariknya, ketiga presiden yang berkuasa di tengah keterlibatan AS di Perang Vietnam, yakni Eisenhower, LBJ dan Nixon, menang telak di pilpres. Eisenhower terpilih kembali di pilpres 1956 dengan meraih 457 Vs. 73 suara electoral (86,23%); LBJ menang di pilpres 1964 dengan meraih 486 Vs. 52 suara electoral (90,15%); Nixon juga terpilih kembali di pilpres 1972 dengan pencapaian spektakuler yakni 520 Vs. 17 suara electoral (96,65%).

 

2 dari 3 halaman

'It's economy, stupid.'

Mengapa demikian? Seperti saya sampaikan di awal, kebijakan luar negeri termasuk keterlibatannya hanya salah satu komponen penentu terpilih tidaknya seorang capres. Isu-isu ekonomi—pengangguran, inflasi, pertumbuhan ekonomi—menjadi perhatian utama pemilih dalam pemilu. James Carville, Pemimpin Tim strategi Bill Clinton di pilpres 1992, secara vulgar mengungkapkannya dalam kalimat pendek: "It's economy, stupid."

Eisenhower populer karena dalam 2 tahun terakhir periode pertamanya, angka pengangguran berhasil turun ke +4,2%, GDP tumbuh rata-rata +4.6% dan inflasi rendah rata-rata +1,7%.

LBJ menang di pilpres 1964 karena pada tahun itu angka pengangguran masih rendah yakni +5% sementara GDP tumbuh +5,8% dan inflasi hanya +1%. Popularitas LBJ juga didorong kebijakan dalam negeri yang disebut ‘The Great Society’ yang fokus pada perluasan hak sipil, tunjangan kesehatan masyarakat medicare/Medicaid, bantuan untuk pendidikan dan seni, serta pembangungan di perkotaan dan pedesaan. Sebelum pilpres, LBJ juga menandatangai Civil Rights Act of 1964 yang melarang diskriminasi di AS.

Nixon terpilih kembali di 1972 karena angka pengangguran dan inflasi relatif rendah, sementara ekonomi pada tahun 1972 rata-rata tumbuh 5,4. Nixon juga diuntungkan ‘Southern Strategy’, yakni strategi menarik dukungan kaum kulit putih konservatif sebagai pemilih mayoritas di negara bagian AS bagian selatan (Southern States) yang tidak puas dengan Civil Rights Act of 1964.

Menurut Zeitz, kekisruhan yang terjadi saat pasukan AS meninggalkan Vietnam telah menciptakan liputan media yang ‘brutal’ dan berdampak pada anjloknya citra Ford. Tapi menurutnya, pemilih tidak menghukum Ford di pilpres semata-mata karena kekacauan yang terjadi di Vietnam.

Poling-poling saat itu menunjukkan, 43% pemilih khawatir dengan inflasi, 33% was-was dengan pengangguran dan hanya 7% pemilih yang peduli dengan masalah internasional. Ford gagal terpilih karena semasa dia menjabat, ekonomi AS sempat mengalami kontraksi 2 tahun berturut-turut, angka pengangguran mencapai 8% dan inflasi melambung ke angka 12,3%.

Ironisnya, Jimmy Carter, presiden Partai Demokrat yang mengalahkan Ford di pilpres 1976, juga gagal terpilih kembali, karena pada tahun pilpres (1980) ekonomi AS mengalami kontraksi, angka pengangguran mencapai 7,2% dan inflasi menebus angka 12,5%. Jadi tidak semata karena insiden pendudukan Kedubes AS di Teheran!

Biden Andalkan Agenda Build Back Better—dengan Dukungan Lebih Kecil di DPR dan Senat

Bagaimana dengan Biden? Seperti halnya Ford, Biden juga mewarisi puing-puing dan sampah ‘forever war’ dari presiden-presiden terdahulu. Biden memang tercatat sebagai politisi yang kerap mendukung aksi militer, namun ketika situasi di media perang tidak menguntungkan, dia tidak segan mengusulkan pemerintah untuk menarik pulang para tentara AS.

"Biden adalah seorang ‘empire politician’ yang meyakini bahwa pertanyaan soal perang bukan masalah moral, tapi bagaimana perang berdampak terhadap kredibilitas, keamanan dan reputasi AS," kata Jeremy Scahill, koresponsen senior The Intercept.

Penarikan pasukan AS dari Afghanistan memang menjadi pertaruhan besar Biden, terutama pada saat pemerintah AS berupaya keras agar negaranya terbebas dari deraan pandemi, memulihkan perekonomian dan membangun pondasi yang kuat agar AS lebih kompetitif menghadapi para rivalnya, terutama China.

Tapi Biden percaya bahwa formula sukses agenda ‘Build Back Better’ yang diusungnya, akan sangat populer di kalangan masyarakat AS dan membuat ekonomi AS menggeliat lagi. ‘Build Back Better’ adalah rencana ambisius untuk menciptakan lapangan pekerjaan, memangkas pajak dan menurunkan biaya-biaya bagi keluarga-keluarga pekerja, yang anggarannya diperoleh dari aturan pajak yang lebih adil dan membuat orang-orang terkaya serta korporasi-korporasi besar berkontribusi secara adil, dengan prioritas pada pengendalian pandemi COVID-19, memberikan bantuan ekonomi, menangani perubahan iklim, memajukan ‘racial equity’ dan hak-hak sipil serta tindakan segera untuk mereformasi sistem imigrasi dan memulihkan posisi AS di dunia.

Julian Zelizer, pakar sejarah Princeton University, seperti dikutip Ronald Brownstein di The Atlantik, menyebut agenda ‘Build Back Better’-nya Biden selevel dengan agenda ‘the New Deal’ Franklin D. Roosevelt atau ‘The Great Society’ LBJ.

Yang membedakan mereka adalah Roosevelt dan LBJ menjalankan agendanya dengan dukungan suara partai mayoritas di Senat dan DPR, sementara Biden mengusung agendanya hanya dengan didukung oleh 220 Anggota DPR (50,9%) dan 50 Senator (50%) Partai Demokrat.

Kendati demikian, dalam 7 bulan pemerintahannya, Biden telah sukses atau siap menggolkan sejumlah program besar untuk mewujudkan janji ‘Build Back Better’.

Pertama, Undang-undang American Rescue Plan Act of 2021, atau Paket Stimulus COVID-19, dengan anggaran US$1,9 triliun (Rp 27.456,4 triliun), yang berupa bantuan tunai dan tax credit bagi individu dan keluarga kelas menengah ke bawah.

Kedua, RUU Paket Infrastruktur senilai US$1,2 triliun (Rp17.340,9 triliun) untuk pembangunan infrastruktur fisik (jalan, jembatan, sekolah, bandara, keamanan siber, broadband dll). Aturan yang bersifat bipartisan dan didukung oleh 19 anggota Senat Partai Republik ini sudah hampir pasti dapat pengesahan di DPR untuk segera menjadi undang-undang.

Ketiga, RUU ‘human infrastructure’ dengan anggaran US$3,5 triliun (Rp50.577,6 triliun) yang dialokasikan untuk social safety net (seperti Pendidikan, perawatan anak, kesehatan, cuti digaji dll.) dan program-program pengendalian perubahan iklim (seperti pengembangan energi ramah lingkungan, pendanaan teknologi surya berbiaya rendah dll). RUU ini di atas kertas bisa disahkan menjadi UU tanpa perlu dukungan satupun anggota Kongres Partai Republik.

Apakah dengan alokasi anggaran triliunann dolar untuk program-program ambisius tersebut partai Demokrat akan terhindar dari ‘kutukan’ mid-term election seperti di mid-term election 1934 pasca-the New Deal, dan Biden akan menjadi presiden dua periode seperti halnya Roosevelet?

 

3 dari 3 halaman

Afghanistan Turunkan Popularitas Biden, Tapi Isu Luar Negeri Mudah Dilupakan

Menurut Harry Enten, penulis dan analis senior CNN, turunnya net job approval Biden dari +10% ke 3% akibat Afghanistan, anjloknya keunggulan Partai Demokrat dalam poling generic congressional ballot dari 4% ke 2%, serta kekalahan kader Partai Demokrat di sejumlah ‘special election’ untuk memperebutkan kursi DPR yang kosong, bisa memberi indikasi bahwa prospek Partai Demokrat di mid-term election cukup suram.

Tapi, menurut Enten pula, Partai Demokrat dan Biden masih punya peluang untuk tetap aman di mid-term 2022 dan pilpres 2024. “Publik AS punya ‘short memory’ untuk tindakan-tindakan yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri. Perkembangan terakhir di Afghanistan yang membuat popularitas Biden anjlok mungkin bisa menurunkan peluang Partai Demokrat di midterm elections 2022 dan prospek Biden di pilpres 2024. Tapi bisa juga hal itu tidak menimbulkan dampak sama sekali,” tegas Enten.

Apakah publik AS juga akan memiliki ‘short memory’ mengenai serangan bom bunuh diri di dekat bandara Hamid Karzai pada hari Kamis (26/8) yang menewaskan setidaknya 90 warga Afghanistan dan 13 tentara AS?

Sangat mungkin. Presiden Partai Republik Ronald Reagan menghadapi krisis perang yang jauh lebih berat di periode pertama pemerintahannya. Pada 23 Oktober 1983 atau satu tahun menjelang pilpres 1984, barak militer yang ditempati oleh pasukan AS dan Perancis sebagai anggota Multinational Force in Lebanon (MNF) mendapat serangan bom bunuh diri yang menawaskan 241 tentara AS dan 58 tentara perancis serta 6 warga sipil.

Tapi pada 6 November 1984, President Ronald Reagan terpilih Kembali menjadi presiden setelah mengalahkan capres Partai Demokrat Wolter Mondale dengan 525 vs. 13 suara elektoral (97.6%)!

Reagan terpilih kembali karena dianggap sukses memulihkan perekonomian dari stagflasi di era 1970an dan resesi di tahun 1981-1982, serta persepsi yang berkembang bahwa di bawah Reagan kebanggaan dan reputasi nasional AS bankit kembali. Kemenangan Reagan juga ditopang oleh “Southern Strategy” warisan Nixon.

Jadi peluang Partai Demokrat di midtem 2022 dan Biden di pilpres 2024 akan lebih ditentukan oleh dampak agenda Build Back Better terhadap keberhasilannya mengatasi pandemi COVID-19, pengurangan pengangguran yang hingga bulan Juli masih 5,4%, mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang di Q1 dan Q2 sudah di atas 6% dan menurunkan angka inflasi yang juga masih di angka 5,4% pada bulan lalu.

Donald Trump Sebagai Senjata Ampuh Partai Demokrat

Biden dan Partai Demokrat juga punya senjata ampuh untuk midterm dan pilpres: The United States House Select Committee on the January 6 Attack bentukan Nancy Pelosi Cs yang menyelidiki penyerbuan Capitol Hill oleh para pendukung Donald Trump pada 6 Januari 2021 lalu. Setelah mendengarkan kesaksian dari sejumlah polisi yang bertugas, Select Committe berencana akan membuka rekaman percakapan sejumlah orang termasuk para anggota Kongres serta setidaknya 30 orang di lingkaran dalam Trump yang bekerja di 7 badan pemerintah.

Jika mid-term elections biasanya menjadikan presiden berkuasa sebagai pusat perhatian publik, maka pembentukan Select Committee ini bisa membuat Trump sebagai pemimpinde facto Partai Republik menjadi fokus perhatian. Menurut sejumlah analisis, United States House Select Committee on Benghazi oleh DPR Partai Republik pada 2014 menjadi salah satu faktor yang menghancurkan peluang Hillary Clinton di pilpres 2016. Jadi tidak mustahil, United States House Select Committee on the January 6 Attack akan menbuyarkan mimpi Trump untuk menjadi presiden kembali di 2024.

Pimpinan Partai Republik di DPR Kevin McCarthy seperti dikutip Politico sudah menyatakan kekhawatirannya bahwa Partai Demokrat akan menjadikan komite ini sebagai alat yang ampuh untuk membuat Trump terlihat tidak bisa dipercaya (un-trustable) di mata swing voters sehingga bertampak pada kesuksesan Partai Republik di 2022 dan 2024!

Tapi perlu diingat, midterm elections 2022 masih 15 bulan dan pilpres 2024 masih 3 tahun lebih. Dinamika politik AS masih sangat fluid dan bisa berubah dengan cepat menjelang dua pesta demokrasi akbar di negara adidaya tersebut.