Liputan6.com, Jakarta Industri migas semakin tertekan setelah kelompok tujuh negara (G7) sepakat menghentikan pendanaan untuk proyek energi fosil. Beberapa negara Uni Eropa juga menghentikan jaminan ekspor untuk proyek infrastruktur energi berbasis fosil.
Pada KTT COP26 di Glasgow, 19 negara sudah berkomitmen untuk menghentikan pendanaan proyek berbasis energi fosil.
Baca Juga
Prancis menargetkan penghentian listrik dari batubara pada 2022, disusul Jerman pada 2038. Pemerintahan AS telah menetapkan target pengurangan 50-52 persen emisi gas rumah kaca pada 2030.
Advertisement
China menegaskan penghentian proyek pembangkit listrik batubara di luar negeri. IEA melaporkan investasi global sektor kelistrikan yang didominasi sektor EBT meningkat 5 persen pada 2021.
Komitmen Indonesia terhadap target netral karbon pada tahun 2060 diperkuat dengan kebijakan meniadakan proyek pembangunan PLT batubara dan penetapan porsi EBT sebesar 51,6 persen dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2021-2030.
Transisi dari energi berbasis fosil ke EBT tidak lantas membuat pasokan energi fosil berhenti secara drastis. Meski energi fosil menyumbang sepertiga emisi karbon, perkembangan EBT Indonesia masih lamban. Total utilisasi hanya 10 GW atau 2,5 persen dari total potensi yang dimiliki.
Padahal potensi energi terbarukan mencapai 417,8 gigawatt (GW), yang terdiri dari potensi arus laut, panas bumi, bioenergi, angin, air, dan energi surya.
Realisasi EBT dalam bauran energi tahun 2020 baru mencapai 11,2 persen. Capaian Indonesia tertinggal jauh dari Vietnam yang porsi EBT nya mencapai 44% dan sukses membangun 5,5 GW pembangkit surya dan angin sekitar 800 MW.
Keberlanjutan Industri Migas Nasional
Meski pengembangan EBT menjadi prioritas, faktanya kontribusi sektor migas tetap dominan. Porsi minyak sebesar 31,6 persen dan porsi gas sebesar 19,1 persen di tahun tahun 2020. Industri migas juga masih jadi andalan penerimaan devisa negara. Di tengah tekanan pandemiCovid-19, sektor migas mampu memberikan setoran sebesar Rp 70,4 triliun dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).1
Faktanya Indonesia masih impor minyak mentah (crude) maupun BBM. Impor terjadi karena kebutuhan crude, BBM dan LPG jauh lebih tinggi daripada produksi dan terbatasnya kapasitas kilang domestik. Produksi minyak mentah sebesar 706 ribu barel per hari dan produksi gas 5.461 juta standar kaki kubik per hari, sedangkan kebutuhan BBM sebesar 1,4 juta barel per hari dan kapasitas produksi BBM domestik sebesar 800 ribu barel per hari.
Dengan asumsi tidak ada penemuan cadangan baru, cadangan minyak hanya bertahan 9,5 tahun lagi dan cadangan gas sampai 19,9 tahun (ESDM, 2021).
Komitmen Indonesia mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil tercermin pada porsi minyak yang diproyeksikan turun menjadi 25 persen di tahun 2025.
Meski secara persentase turun namun secara volume justru meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sektor konsumsi.
Adapun penetrasi kendaraan listrik dinilai belum mampu menggeser dominasi kendaraan berbasis BBM setidaknya dalam 10 tahun mendatang. Mencermati kondisi sektor migas tersebut, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi industri migas, antara lain: ketergantungan terhadap impor minyak mentah dan BBM, upaya menemukan cadangan migas baru, bagaimana meningkatkan investasi sekaligus menjaga keberlanjutan industri migas yang ramah lingkungan.
Berikut lima catatan terhadap pembenahan industri migas nasional di tengah era transisi energi:
Advertisement
Pertama
Satu-satunya cara untuk melepaskan ketergantungan terhadap impor minyak adalah menggenjot produksi domestik. Faktanya, 85 persen produksi yang dihasilkan saat ini berasal dari lapangan mature. Sejak 10 tahun terakhir cadangan migas nasional mengalami penurunan yang signifikan.
Rendahnya tingkat temuan cadangan baru dan tidak adanya cadangan migas dalam jumlah besar, menjadi faktor mendasar yang menghambat naiknya produksi migas. Diperlukan eksplorasi yang massive dengan konsep, strategi dan teknologi yang mampu memetakan data-data baru, khususnya pada cekungan-cekungan potensial, khususnya di kawasan timur Indonesia.
Kedua
Kegiatan eksplorasi dan pengembangan lapangan migas membutuhkan investasi yang besar. Biaya pemboran sumur eksplorasi lepas pantai sampai 40-200 juta USD. Padahal investasi hulu migas turun sebesar 50 persen pada periode 2014-2020. Terlebih, investasi tersebut didominasi kegiatan produksi daripada untuk eksplorasi.
Advertisement
Ketiga
Dalam perspektif investor, bisnis hulu migas ditentukan oleh empat hal yaitu kondisi subsurface, regulasi, kebijakan fiskal, dan kemudahan akses pasar. Riset Wood Mackenzie menunjukkan iklim investasi migas Indonesia berada di bawah rata-rata global4
Skala daya tarik fiskal hulu migas Indonesia hanya mencapai 2,4 pada skala 0-5, dengan rata-rata global sebesar 3,3. Riset tersebut fokus pada sistem fiskal dengan tiga faktor, yakni stabilitas fiskal, prospectivity, dan cost environment.
Indonesia dan banyak negara lain menggunakan sistemproduction sharing contract (PSC) yang menekankan kepada mekanisme pengelolaan bagi hasil produksi, antara pemilik sumber daya dan investor.
Setelah sejak awal menerapkan cost recovery sebagai mekanisme pengembalian biaya operasi, beberapa tahun ini pemerintah juga menerapkan skema gross split. Adanya kebijakan fleksibilitas fiskal di mana kontraktor diberikan kebebasan untuk memilih skema gross split atau cost recovery merupakan langkah positif menarik investasi. Sejumlah paket insentif dan stimulus fiscal diharapkan mampu mendorong attractiveness bisnis hulu migas.
Keempat
Persaingan portofolio investasi hulu migas dalam skala regional maupun global semakin ketat. Trend global yang mendorong energi bersih membuat investor memiliki opsi portofolio bisnis energi yang beragam. Kebijakan pembatasan pendanaan terhadap bisnis industri berbasis fosil, telah memaksa banyak perusahaan energi melakukan transformasi bisnis.
Hal ini terlihat pada diversifikasi bisnis dan alokasi investasi ke arah energi bersih.Perusahaan seperti Exxon dan Chevron tetap fokus pada bisnis migas terintegrasi dengan inovasi pada teknologi rendah karbon. BP, Shell dan Equinor agresif merambah bisnis energi terbarukan. Saudi Aramco mulai melirik energi baru dengan meluncurkan proyek pembangkit tenaga surya skala raksasa dengan nilai investasi 1 miliar dollar AS.
Petrobras bermitra dengan Total membangun proyek energi terbarukan di Brasil dan biogas skala komersial di India. Adapun transformasi bisnis National Oil Company (NOC) China, melalui strategi pengembangan portfolio yang berbasis expertise masing-masing. CNPC yang selama ini fokus di bidang produksi migas on shore ekspansi ke bisnis gas dan LNG.
Sinopec mengembangkan bisnis hydrogen dan fasilitas pengisian baterai kendaraan listrik. CNOOC yang piawai dalam produksi lepas pantai, serius mengembangkan proyek pembangkit listrik tenaga angin.
Advertisement
Kelima
teknologi Carbon Capture and Storage/Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/CCUS) sebagai solusi pengurangan emisi karbon yang sudah dilengkapi dengan aturan nilai ekonomi karbon perlu didukung dengan aturan turunan dan skema pendanaan khusus. Di beberapa negara, teknologi CCS terbukti handal pada lapangan migas yang mengandung CO2 tinggi, meningkatkan produksi dan mampu mengurangi emisi.
Di tengah tantangan transformasi industri migas terhadap perubahan iklim, setidaknya terdapat dua agenda strategis untuk diselesaikan, yaitu formulasi strategi yang paling efektif dalam menjawab persoalan bagaimana industri migas dapat kompetitif namun sejalan dengan transisi energi dan perlunya keselarasan dan sinkronisasi antara arah kebijakan energi nasional, khususnya penyelesaian RUU EBT dan RUU Migas. Roadmap transisi energi yang tengah disusun pemerintah, diharapkan menjadi langkah strategis mewujudkan sistem energi nasonal yang bersih, terjangkau dan dapat diandalkan.
Â
Ditulis oleh:
Eko Setiadi
Senior Analyst Pertamina Energi Institute
PT Pertamina (Persero)