Sukses

OPINI: Menavigasi Perjalanan Migrasi Cloud dengan Keahlian yang Tepat

Perusahaan dan organisasi kini dituntut untuk bergeser secara cepat, tetap dibutuhkan keahlian yang tepat sehingga dapat mengoptimalkan beragam kapabilitas yang ditawarkan cloud.

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi COVID-19 masih terus berlangsung dan memengaruhi semua aspek kehidupan. Beberapa negara di Asia–-termasuk Indonesia-–saat ini juga masih terus berjuang mengatasi jumlah kasus harian yang tinggi.

Situasi ini pun memacu kita untuk makin menjadikan Internet sebagai salah satu kebutuhan primer yang diandalkan.

Pemanfaatan teknologi untuk menemukan solusi-solusi inovatif terhadap berbagai tantangan yang dimunculkan pandemi patut mendapatkan acungan jempol.

Organisasi-organisasi di seluruh dunia telah mengubah inisiatif penggunaan cloud dari sekadar kebutuhan operasional menjadi strategi untuk bertahan hidup.

Menghadapi tuntutan untuk mampu beradaptasi dan memilih arah baru dengan cepat, perusahaan mau tidak mau harus mempercepat langkah transformasi digitalnya melalui adopsi cloud. Yang disebut dengan business as usual, bisnis seperti biasa, tidak relevan lagi. Sekarang, bisnis tidak lagi biasa.

Meski demikian, walaupun perusahaan dan organisasi dituntut untuk bergeser secara cepat, tetap dibutuhkan keahlian yang tepat untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatan dari beragam kapabilitas yang ditawarkan cloud.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 7 halaman

Menyelaraskan Divisi SDM dan TI

Transformasi digital tidak terjadi dengan cara menekan sebuah tombol yang dapat mengimplementasikan cloud secara instan. Melainkan, dibutuhkan beragam keahlian digital yang sayangnya tengah mengalami kelangkaan.

Sebuah studi yang baru-baru ini dirilis AlphaBeta Research dan diprakarsai AWS, berjudul Unlocking APAC's Digital Potential: Changing Digital Skill Needs and Policy Approaches, meneliti enam negara di Asia, antara lain Jepang, Korea Selatan, India, Singapura, Indonesia dan Australia.

Studi tersebut menemukan, jumlah pekerja yang menerapkan keahlian digital di tempat kerja harus bertumbuh sebanyak lima kali lipat (dari 149 juta pada tahun 2020 menjadi 819 juta pada tahun 2025) agar dapat menyesuaikan dengan laju perkembangan teknologi.

Di sisi lain, jumlah pekerja yang memerlukan keahlian cloud tingkat lanjut juga diharapkan bertambah sebanyak tiga kali lipat.

Maka, banyak pelaku industri di kawasan kita yang baru saja mulai memahami kompleksitas di balik pengelolaan lingkungan cloud perusahaan secara efektif, termasuk tingkat spesialisasi yang dibutuhkan.

 

3 dari 7 halaman

Teknologi Cloud Relatif Baru

Teknologi cloud masih relatif baru. Sejak muncul sebagai ranah teknologi terbaru sekitar 15 tahun lalu, berbagai kapabilitas yang ditawarkan cloud, seperti machine learning (ML) dan kecerdasan artifisial (AI), telah berkembang dengan amat pesat.

Banyak organisasi pun tidak mengetahui bagaimana cara memulainya, meskipun antusiasme mereka sangat tinggi.

Selain itu, banyak perusahaan belum memiliki bayangan maupun gambaran tentang wujud organisasi yang cloud-first, atau mengutamakan cloud. Bagaimana arsitekturnya, bagaimana ia dibangun dan dioperasikan? Apa saja SDM yang dibutuhkan agar dapat berfungsi dengan benar? Berapa banyak karyawan yang diperlukan, dan apa saja keahliannya? Dan bagaimana cara mencari karyawan-karyawan tersebut?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, perlu diselaraskan antara divisi TI dan SDM perusahaan. Artinya, perekrutan, pelatihan, dan manajemen dilakukan secara sinkron dan sedemikian rupa, sehingga dapat menghasilkan tim-tim baru yang siap memanfaatkan cloud. Anggota tim tidak hanya belajar keahlian baru, tetapi juga bisa berkontribusi secara langsung terhadap kesuksesan organisasi tersebut.

 

4 dari 7 halaman

Mengadopsi Pola Pikir Cloud-First

Setelah rintangan pertama berhasil diatasi, pelaku organisasi harus mengadopsi pola pikir cloud-first. Cloud harus menjadi fondasi yang mendasari strategi teknologi perusahaan demi memaksimalkan manfaat yang dihadirkan kekuatan komputasi secara hyperscale.

Berbagai kekurangan infrastruktur on-premises yang tradisional dapat dijawab oleh cloud, termasuk efisiensi energi, pengurangan emisi, biaya yang lebih rendah, kelincahan, skalabilitas dan keamanan.

Terkait keahlian yang dibutuhkan, infrastruktur on-premises membutuhkan karyawan dengan spesialisasinya masing-masing yang kemudian bertanggung jawab atas salah satu bagian dari keseluruhan infrastruktur TI secara terpisah.

Masing-masing tim atau karyawan melaksanakan hanya salah satu dari beberapa pekerjaan berikut, yaitu komputasi, penyimpanan, jaringan, keamanan, aplikasi, pemeliharaan server, perangkat keras, operating systems (OS), virtualisasi dan update perangkat lunak, atau manajemen patch.

Dengan infrastruktur cloud, penyedia layananlah yang bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban tersebut. Dengan kata lain, karyawan yang sebelumnya mengerjakan hal-hal tersebut kini dapat berkembang menjadi cloud engineer yang dapat menjalankan berbagai fungsi dan menguasai berbagai spesialisasi.

 

5 dari 7 halaman

Menemukan Keahlian Yang Tepat

Tidak dapat dimungkiri, ada beberapa keahlian cloud yang paling banyak dicari. Menurut riset AlphaBeta, desain arsitektur cloud secara konsisten tampil di peringkat teratas.

Seiring bertambahnya volume data, semakin dibutuhkan pula desain arsitektur cloud dengan tingkat keamanan tinggi. Kemampuan untuk membantu organisasi bermigrasi dari infrastruktur on-premises ke cloud juga kritikal, terutama di sektor-sektor non-teknologi seperti manufaktur, pendidikan, dan ritel.

Kecakapan digital lainnya yang turut memperkaya keahlian cloud, termasuk keamanan siber, AI, dan ML, semakin penting pula. Studi tersebut menemukan, di keenam negara yang menjadi subjek riset, rata-rata pekerja akan butuh mempelajari setidaknya tujuh keahlian digital baru hingga tahun 2025, seperti data mining, teknik-teknik data science, serta pemodelan data dalam skala besar.

Kini telah hadir berbagai sumber daya yang dapat membantu perusahaan maupun individu untuk melampaui kesenjangan skills dan menyiapkan tim yang mampu menyongsong cloud.

AWS berkomitmen untuk membekali setiap individu dan organisasi dengan pengetahuan yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan tujuannya, khususnya yang terkait dengan cloud, dan memajukan perusahaan maupun karirnya.

Lebih dari 500 kursus tersedia secara daring, tanpa dipungut biaya, dan bebas diakses kapan saja. Kursus-kursus ini juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, tak terkecuali Bahasa Indonesia. Lebih lanjut, AWS telah berkolaborasi dengan lembaga pendidikan dan badan pemerintah untuk menyediakan akses terhadap pelatihan cloud bagi pelajar dan pekerja.

 

6 dari 7 halaman

AWS Asia Pacific (Jakarta) Region di Indonesia

Lewat dihadirkannya AWS Asia Pacific (Jakarta) Region di Indonesia, kami juga turut aktif dalam meningkatkan kapasitas pekerja masa depan. Misalnya, inisiatif yang bertajuk Laptops for Builders merupakan program yang kami hadirkan khusus bagi Indonesia guna menyalurkan pengetahuan mendasar tentang cloud kepada siswa-siswi SMA dan SMK.

Lewat program ini, para instruktur dan tenaga pendidik dilatih untuk merancang dan menyampaikan kurikulum edukasi cloud kepada para muridnya. Kami juga menyumbangkan sarana pembelajaran berupa laptop yang dapat digunakan untuk pelatihan.

Untuk menghadirkan keahlian digital di kalangan pelajar, kami pun menggaet beragam organisasi lokal, termasuk Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) sebagai salah satu lembaga Muslim terbesar di Tanah Air dengan jaringan pesantrennya yang luas.

Kami tidak berhenti di sini. AWS juga mendukung beasiswa cloud dan back-end developer yang ditawarkan Dicoding, sebuah startup pendidikan developer yang berbasis di Jawa Barat, kepada 100 ribu partisipan pertama.

Program tersebut tersedia dalam Bahasa Indonesia dan mencakup kurikulum back-end development yang komprehensif dengan tujuan memfasilitasi perjalanan yang mudah diakses dan menyenangkan bagi developer lokal.

 

7 dari 7 halaman

Memudahkan Transisi

Setelah bermigrasi ke cloud, pelaku organisasi harus mempertimbangkan bagaimana cara terbaik untuk melatih kembali karyawan yang sebelumnya bertugas mengelola infrastruktur on-premises.

Kabar baiknya, keahlian yang telah diperolehnya sebelumnya pun mudah untuk diterapkan kembali di cloud, dengan program pelatihan yang baik. Ini adalah cara yang paling efektif untuk mempertahankan budaya inovasi di lingkungan organisasi. Dan, untuk membuka potensi cloud sepenuhnya, meningkatkan keahlian staf TI menjadi hal yang paling esensial.

Cloud membuka kesempatan berinovasi dengan cara-cara yang segar dan menarik bagi karyawan TI tradisional. Perusahaan juga berkewajiban untuk menakar kesiapannya dalam mengadopsi cloud, kapasitas pekerjanya, dan memiliki gambaran yang jelas tentang susunan timnya.

Untuk mengetahuinya, dapat dilakukan learning needs analysis yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti siapa saja anggota tim yang membutuhkan pelatihan kembali, serta di area mana saja para karyawan dapat menciptakan nilai tambah di dunia yang serba digital ini.

Bermigrasi ke cloud bukan solusi instan terhadap tantangan-tantangan digital yang dihadapi perusahaan. Dibutuhkan keahlian yang tepat, dan bagi staf TI tradisional dengan pengalaman panjang di industri, banyak keahlian-keahlian ini yang hanya memerlukan beberapa sesi pelatihan singkat.

Perjalanan menuju cloud membutuhkan perencanaan yang matang, tim yang tepat, dan tujuan yang jelas. Alhasil, jalan setapak menuju transformasi digital tampak lebih jelas dan mudah diikuti.

 **Penulis adalah Gunawan Susanto, Country Manager, Indonesia, AWS.