Liputan6.com, Jakarta - Salah satu yang terlintas terkait palang pintu perlintasan kereta api adalah kecelakaan kereta api. Sering terjadi kecelakaan yang melibatkan kereta api dan kendaraan lain di pintu perlintasan.
Satu kecelakaan yang yang cukup menyita perhatian adalah tabrakan kereta api dengan odong-odong di Serang, Jawa Barat. Peristiwa nahas tersebut menelan korban sembilan nyawa, sementara tujuh orang lainnya mengalami luka-luka.
Advertisement
Baca Juga
Sangat miris jika membaca berita kecelakaan perlintasan sebidang yang hampir sebagian besar terjadi di jalur perlintasan kereta baik yang berpalang pintu maupun tidak. Berdasarkan data PT. Kereta Api Indonesia (Persero) sepanjang 2021, terdapat 271 kecelakaan kereta api dengan total korban mencapai 159 orang (67 orang meninggal dan 92 orang luka-luka).
Sejauh ini, ketika kecelakaan di perlintasan sebidang terjadi, yang selalu dijadikan kambing hitam adalah ketiadaan palang pintu dan pengguna jalan yang tidak berhati-hati saat melintasi perlintasan sebidang ini (Rahma hidayat, 2010).
Pasal 91 Undang-Undang No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian menyebutkan, “perpotongan antara kereta api dan jalan dibuat tidak sebidang. Pengecualian hanya dapat dilakukan dengan tetap menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan.”
Selain itu, pada pasal 114 Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan bahwa pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pengemudi kendaraan wajib;
(a) berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain,
(b) mendahulukan kereta api; dan (c) memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.
Pemerintah dan instansi terkait sejauh ini telah melakukan pencegahan dengan berbagai cara seperti sosialisasi dan himbauan untuk berhati-hati di setiap perlintasan sebidang, pemasangan peralatan keselamatan perlintasan sebidang, melengkapi rambu-rambu, pemeliharaan early warning system (EWS).
Selain itu juga perawatan dan perbaikan jalan raya di perlintasan sebidang, pembuatan jalan kolektor, memberikan penjagaan perlintasan yang kompeten dan telah tersertifikasi.
Namun, dari data KAI didapatkan bahwa masih banyak perlintasan sebidang yang tidak dilengkapi dengan palang pintu. Tentu saja butuh usaha ekstra dari pemerintah dan instansi terkait untuk melengkapi semua perlintasan dengan palang pintu dan EWS yang memadai.
Berapa banyak perlintasan sebidang yang tidak dilengkapi oleh palang pintu?
Belajar dari Jepang
Tidak ada data resmi yang penulis dapatkan untuk menjawab pertanyaan di atas. Dari beberapa sumber menyatakan lebih dari sepertiga perlintasan yang ada di Indonesia tidak memiliki palang pintu ataupun penjaga. Tentu saja, hal ini sangat mengkhawatirkan, terlebih lagi kesadaran masyarakat dalam berkendara dan mematuhi rambu-rambu lalu lintas masih terbilang rendah.
Untuk jangka panjang, perlu dilakukan pemaksaan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pengguna jalan agar berhati-hati ketika melewati perlintasan sebidang. Menurut penulis, ada dua cara yang bisa kita tiru dari Jepang.
Pertama, melengkapi sign (rambu) berhenti sejenak (dalam bahasa Jepang tomare) selama 3-5 detik dan melihat kanan-kiri (kakunin) untuk memastikan tidak ada kereta yang melintas.
Kedua adalah menambahkan materi perlintasan kereta api ke dalam ujian pengambilan SIM kendaraan baik tes tertulis maupun praktik.
Tentu saja palang pintu menjadi hal utama yang wajib disiapkan oleh pemerintah dan instansi terkait untuk mencegah pengguna jalan menerobos perlintasan.
Hal berikutnya yang bisa dilakukan adalah memasukkan materi terkait berhenti sejenak dan melihat atau menoleh ke kanan dan ke kiri di simulasi perlintasan kereta api, baik yang menggunakan palang pintu maupun tidak.
Hal ini pernah penulis dapatkan ketika mengikuti ujian praktik SIM A di Jepang. Salah satu materi ujiannya adalah ketika mengemudi di jalan yang melewati perlintasan kereta api tanpa ada palang pintu.
Poin penting dalam ujian tersebut adalah;
(1) Mematuhi rambu berhenti di tempat yang telah ditentukan, tidak boleh melewati garis terdepan dari batas yang telah ditentukan
(2) Pengemudi WAJIB mencondongkan tubuh dan kepala ke depan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri (posisi menoleh 90 derajat) untuk memastikan tidak ada kereta yang sedang melintas.
Bahkan tes berhenti sejenak dan menoleh ke kanan dan ke kiri ini, tidak hanya berlaku di perlintasan kereta saja, tetapi juga untuk setiap persimpangan jalan yang memiliki tanda berhenti sejenak. Tentu saja, hal penting lainnya adalah bagaimana penegak hukum yaitu polisi harus tegas dalam menindak pengemudi yang melanggar ketentuan ini.
Meskipun, kedua cara ini tidak akan langsung mengurangi angka kecelakaan di perlintasan, namun dalam jangka panjang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mematuhi rambu-rambu lalu lintas khususnya di persimpangan jalan dan perlintasan kereta api.
Kegiatan sosialisasi juga perlu digalakkan di lembaga-lembaga pendidikan serta sosialisasi di sejumlah media dan komunitas..
Penulis: Iwan Sukarno, Dosen Program Studi Teknik Logistik Universitas Pertamina
Advertisement