Liputan6.com, Jakarta Pada 25 September 2023 kemarin Jurnal ilmiah internasional ternama Nature mempublikasi artikel penelitian berjudul A Molnupiravir-associated Mutational Signature in Global SARS-CoV-2 Genomes, yang banyak menarik perhatian publik.
Pada hasil penelitian ini disebutkan bahwa Molnupiravir adalah obat antiviral yang selama ini kita kenal luas digunakan dalam pengobatan COVID-19, yang bekerja dengan memacu mutasi pada genomik virus ketika replikasi terjadi. Jadi, secara umum mutasi akibat obat ini akan merusak virus dan bahkan membunuhnya. Artinya, peningkatan mutasi yang diakibatkan oleh obat Molnupoiravir akan menurunkan jumlah virus (viral load).
Baca Juga
Tetapi ternyata, pada sebagian pasien yang diobati dengan Molnupiravir di mana infeksi akibat virus SARS-CoV-2 (penyebab COVID-19) tidak sepenuhnya hilang, maka mungkin saja ada potensi penularan selanjutnya, yang dikenal dengan onward transmission of molnupiravir-mutated viruses.
Advertisement
Publikasi penelitian ini menunjukkan bagaimana kumpulan data sekuen SARS-CoV-2 menunjukkan bukti mutagenesis obat Molnupiravir ini. Dengan pendekatan sistematik, para peneliti ini menemukan jenis kelas spesifik dari cabang filogenetiknya, ditandai dengan proporsi tinggi mutasi G ke A dan C ke T. Mutasi ini mereka jumpai pada sekuen yang dikumpulkan sejak tahun 2022, yaitu sesudah mulai digunakan secara luasnya pengobatan dengan Molnupiravir treatment, pada negara-negara yang menggunakannya dan pada kelompok umur masyarakat yang menggunakannya, jadi tidak secara umum.
Virus Terus Berkembang
Para peneliti ini mengidentfikasi spektrum mutasi, dengan konteks utama nukleotidanya, yang sebagian mereka yang mendapat obat Molnupiravir, yang pada sebagian di antara mereka menunjukkan penularan berkelanjutan (onwards transmission). Para peneliti ini juga menganalisa catatan medik untuk mengkonfirmasi ada tidaknya hubungan langsung antara percabangan G ke A ini dengan penggunaan obat Molnupiravir.
Pada dasarnya memang akan selalu akan ada berbagai temuan penelitian ilmiah baru tentang COVID-19, yang penyakitnya memang “baru” berusia sekitar 3 tahun. Hasil-hasil penelitian yang ada akan terus berkembang dan perlu dikaitkan satu dengan lainnya, sebelum kita dapat mencapai kesimpulan yang benar-benar konklusif nantinya.
Advertisement