Sukses

OPINI: Abaikan Poling Karena Perang Lapangan, Money Politics dan October Surprise Akan Jadi Penentu Pilpres AS

Secara statistik, keunggulan yang diraih Trump di swing states saat ini tidak berbeda dengan yang dimiliki Harris pada minggu pertama Oktober: Semuanya masih dalam margin of error, sehingga Harris maupun Trump memiliki peluang yang hampir sama untuk menang—atau kalah.

Berdasarkan opini dari:
Menyandang gelar sarjana di bidang teknologi reaktor nuklir dan master di bidang komunikasi politik, penulis adalah Managing Director Bening Communication dan pemerhati politik Amerika Serikat.

Liputan6.com, Jakarta - Dua minggu menuju pilpres Amerika Serikat (AS) 5 November, Donald Trump berada di atas angin. Poling rata-rata swing states, ramalan hasil pilpres dan pasar taruhan menunjukkan Trump menang atas Kamala Harris.

Menurut poling rata-rata RealClearPolitics, Trump unggul di tujuh swing states Wisconsin, Michigan, Pennsylvania, Nevada, Georgia, North Carolina dan Arizona dengan marjin antara +0,1% hingga +1,4% sehingga bisa menang dengan 312 vs 226 suara elektoral jika pilpres digelar hari ini.

Trump juga unggul dalam berbagai situs prediksi. Menurut Silver Bulletin, peluang Trump untuk menang di pilpres mencapai 53,1% sedangkan Harris 46,6%. Menurut FiveThirtyEight, peluang Trump mencapai 53% sementara Harris 47%. Sedangkan menurut The Hill – Decision Desk HQ, peluang Trump dan Harris sama besar 50%.

Hal serupa terjadi di pasar taruhan. Dari delapan situs taruhan yang dimonitor oleh RealClearPolitics, Trump unggul atas Harris di semuanya, dengan peluang rata-rata 57,7% vs 40,9%.

Semua angka-angka tersebut bertolak belakang dengan situasi lebih dari dua minggu lalu. Saat itu Harris unggul dalam poling rata-rata RealClearPolitcs, meraih probabilitas untuk menang di atas 50% menurut Silver Bulletin, FiveThirtyEight maupun The Hill-Decision Desk HQ, dan mengungguli Trump di hampir semua pasar taruhan.

Tapi pendukung Trump belum saatnya untuk euforia dan pendukung Harris pun tidak perlu waswas karena  sejumlah faktor membuat angka poling rata-rata dan prediksi tidak begitu berarti.

Angka Poling Rata-Rata Terakhir Selalu Tidak Sama Dengan Hasil Aktual

Secara statistik, keunggulan yang diraih Trump di swing states saat ini tidak berbeda dengan yang dimiliki Harris pada minggu pertama Oktober: Semuanya masih dalam margin of error, sehingga Harris maupun Trump memiliki peluang yang hampir sama untuk menang—atau kalah.

Di samping itu, fakta sejarah politik AS menunjukkan bahwa hasil aktual perhitungan suara pilpres AS selalu berbeda dengan prediksi berdasarkan poling-poling terakhir menjelang pemilu. Misalnya di pilpres 2016 dan 2020, hasil perhitungan suara aktual Trump di swing states lebih baik dari angka poling rata-rata. Sedangkan di pilpres 2012 yang mempertarungkan Barack Obama dan Mitt Romney, perolehan aktual Obama di sebagian besar swing states di atas poling rata-rata.

Jika hasil poling rata-rata RealClearPolitics saat ini yang mengunggulkan Trump di tujuh swing states bertahan hingga 5 November, Trump akan menang atas Kamala Harris dengan 312 vs 226 suara elektoral. Jika hasil poling rata-rata di 2024 meleset mengikuti pola 2020, Trump akan menang dengan perolehan yang sama, dan jika meleset seperti 2016 Trump tetap menang dengan selisih suara elektoral lebih kecil yakni 306 vs 232. Tapi jika poling rata-rata meleset seperti di 2012, Trump akan kalah dengan perolehan 246 vs 292 suara elektoral!

 

2 dari 3 halaman

Poling Politik dan Prediksi Berbasis Pasar Taruhan Rawan Manipulasi

Pakar strategi dari Partai Demokrat, Simon Rosenberg, mengidentifikasi adanya upaya kubu Trump untuk mempengaruhi angka poling rata-rata. Menurut Analisa Rosenberg, sejak akhir Agustus hingga Oktober sejumlah lembaga poling yang pro-Partai Republik merilis lebih dari 70 poling yang mengunggulkan Trump, terutama di Pennsylvania dan North Carolina.

Pada mid-term elections 2022 Rosenberg mengamati tren serupa dan saat itu membuktikan bahwa red wave yang diprediksi akan terjadi hanya akal-akalan para pollster sayap kanan. Rosenberg melihat upaya Partai Republik untuk membangun narasi red wave di pemilu 2024 dilakukan secara lebih masif dan lebih terstruktur.

Bahkan pasar taruhan yang menurut sejumlah pakar angka prediksinya lebih akurat dibandingkan poling politik disinyalir tidak lapas dari manipulasi. Wall Street Journal (WSJ) mencontohkan Polymarket, pasar prediksi terbesar berbasis kripto yang dalam dua minggu terakhir menunjukkan Trump memilik peluang 60% untuk menang di pilpres. Tapi WSJ menemukan bahwa naiknya angka taruhan yang mengunggulkan Trump di Polymarket sangat dipengaruhi oleh empat akun yang menggelontorkan US$30 juta di posisi Trump sebagai pemenang pilpres, sehingga peluangnya naik.

Firma analisis Arkham Intelligence meyakini keempat akun tersebut miliki entitas yang sama. Angka US$30 juta tersebut, menurut investor kripto kawakan Adam Cochran, bukan sekadar taruhan tapi bagian dari kampanye kubu Trump untuk membangun narasi bahwa menjelang 5 November capres Partai Republik ini meraih momentum untuk menang.

Upaya Get Out the Vote Bangunkan Pemilih di Luar Politik Maistream

Di minggu-minggu terakhir menjelang pilpres, upaya memobilisasi suara di lapangan atau get-out-the-vote (GOTV) bisa menjadi penentu kemenangan. Menurut pakar politik yang meneliti perilaku pemilih AS, Donald P. Green, kepada The Washington Post, poling politik melaporkan opini pemilih yang kemungkinan besar akan mencoblos (likely voters), sedangkan GOTV merupakan upaya untuk membangunkan mereka-mereka yang kemungkinan besar tidak akan mencoblos (unlikely voters). Jadi pada fase ini angka poling rata-rata kurang bermakna.

Dmitri Melhorn, pakar strategi Partai Demokrat di Oakland Corps mengatakan, dari 42 juta pemilih terdaftar di tujuh swing states, 5 juta di antaranya berbeda dengan orang-orang kebanyakan dalam menyikapi isu-isu politik. Mereka terputus dari percakapan politik mainstream, sehingga pada saat ini belum memutuskan apakah akan mencoblos atau kalaupun mencoblos belum tahu akan memilih siapa.

Angka 5 juta sangat besar dalam pilpres AS yang kemenangan ditentukan oleh hasil perhitungan suara di tujuh swing states. Sebagai perbandingan, pada pilpres 2016, Trump mengalahkan Hillary Clinton dengan marjin di tujuh swing states hanya 526.232 suara. Sedangkan di pilpres 2020, Biden unggul atas Trump dengan selisih yang lebih kecil lagi di tujuh swing states yang sama yakni hanya 237.879 suara.

Nah untuk upaya GOTV ini tim Harris dan Trump menggunakan pendekatan berbeda. Harris lebih mengandalkan model GOTV tradisional yang dikontrol oleh tim kampanye dan Democratic National Conggres (DNC) dengan memanfaatkan sokongan dana gabungan yang luar biasa besar yakni US$633,1 juta (Rp 9,8 triliun) yang dihimpun dari 1 Juli hingga 30 September 2024, menurut data Forbes. Menurut laporan sejumlah media, dana yang dihimpun Harris hingga Oktober sudah menembus US$1 miliar (Rp 15,5 triliun).

Harris juga didukung oleh sejumlah organisasi pendukung atau Political Action Committee (PAC) seperti America Votes, BlackPAC, Somos PAC, Unite Here dan Future Forward yang menggelontorkan dana ratusan juta dolar untuk aktivitas GOTV tersebut.

Dengan anggaran yang luar biasa besar, menurut laporan The New York Times Harris mempekerjakan 2.500 staff yang berlokasi di 353 kantor. Pada minggu kedua Oktober, mereka sudah mengetuk 600.000 pintu dan melakukan 3 juta panggilan telepon di swing states. Sedangkan America Votes berencana mengetuk pintuk 30 juta kali di tujuh swing states yang fokusnya adalah 2,5 juta pemilih yang diyakini condong ke Partai Demokrat.

Kubu Demokrat juga menggelar beragam acara gratis seperti konser, street festival, pertunjukan musik di atas mobil bak terbuka atau pangung-panggung dadakan di lokasi-lokasi early voting guna menggaet para pemilih baru yang lebih menyukai pesta atau hiburan ketimbang menghadiri acara-acara politik.

Di kubu Trump, tim kampanye dan Republican National Committee (RNC) menghimpun dana yang jauh lebih kecil dari gabungan tim Harris dan DNC yakni hanya US$194,5 (Rp 3,02 triliun) hingga akhir September. Dengan dukungan dana yang relatif lebih kecil, tim kampanye Trump mengklaim punya ratusan staf yang digaji dan 300 kantor di swing states.

Tim Trump memang lebih mempercayakan aktivitas GOTV mereka kepada tiga PAC utama yakni America PAC yang dibentuk oleh Elon Musk, Turning Point Action, dan Faith and Freedom Coalition. Faith and Freedom Coalition sendiri mengklaim memperjakan 4000 staf paruh waktu dan memiliki target mengetuk 10 juta pintu.

 

3 dari 3 halaman

Kampanye Bernuansa Money Politics Mulai Muncul

Besarnya dana politik yang terkumpul di tengah persaingan yang sangat ketat antara Harris dan Trump mendorong munculnya upaya bernuansa money politics. Di kubu Trump, menurut laporan BBC, Elon Musk menggelar undian dengan hadiah total senilai US$ 1 juta setiap hari kepada pemilih terdaftar yang sudah menandatangani petisi pro-constitution petition yang digelar oleh American PAC. Sebelumya, Musk membagi-bagikan uang US$ 47 kepada setiap pemilih terdaftar yang mau menandangani petisi tersebut.

Di kubu Harris, The Washington Post melaporkan grup-grup pendukung capres Partai Demokrat ini membagi-bagikan uang senilai US$160 kepada lebih dari 75.000 pemilih yang bersedia mengajak teman dan kerabat mereka untuk memilih Harris di pilpres.

October Surprise atau Kejutan Oktober Membayangi

Jeff Greenfield, penulis dan analis tentang televisi jaringan, dalam tulisan bertajuk 'The October Surprise May Be Arriving Shortly' di Politico mengatkan banyak hasil pilpres sejak era Ronald Reagan yang ditentukan bukan oleh ratusan poling di swing states, ribuan simulasi, atau perhitungan ilmiah dan pseudo-ilmiah, melainkan oleh sesuatu yang dikenal sebagai October Surprise.

Greenfield, mencontohkan video pengakuan Osama Bin Laden menjadi dalang serangan 11 September 2001 yang muncul di 29 Oktober 2004 menjadi penyebab John Kerry kalah tipis oleh George W. Bush di pilpres 2004.

Ancaman kolapsnya sistem keuangan AS menjelang pilpres menyusul kebangkrutan Lehman Brothers pada 15 September 2008 memperkuat daya saing Barack Obama atas rivalnya dari Partai Republik sehingga menang telak di pilpres 2008.

Pengumuman Direktur FBI, James Comey, pada 28 Oktober 2016 tentang dibukanya kembali penyelidikan atas penggunaan email pribadi dalam kegiatan pemerintah oleh Menlu AS, Hillary Clinton, menjadi salah satu sebab kekalahan Clinton oleh Trump yang hingga poling-poling terakhir tidak diunggulkan.

Pada pilpres 2024, di kubu Parta Demokrat belum terjadi insiden berarti pada saat Harris dan cawapres Tim Walz intensif berkampanye dan mengambil langkah berani dengan melakukan wawancara dengan berbagai media mainstream termasuk Fox News.

Di kubu Partai Republik, mereka sempat khawatir dengan film The Apprentice yang dirilis pada 11 Oktober lalu. Tapi dengan mengacu pada Box Office Mojo, film tersebut ternyata tidak terlalu laku di pasaran. Tim Trump juga mati-matian berupaya agar special counsel Jack Smith menunda perilisan dokumen terkait tuduhan subversi Trump di pilpres 2020. Tapi ketika Smith akhirnya merilis dokumen setebal 2.000 halaman tapi penuh dengan 'sensor' pada 18 Oktober lalu, dampaknya hampir tidak terlihat di poling-poling. Mungkin para pemilih AS sudah lupa dengan peristiwa penyerbuan Capitol Hill tersebut.

Terdapat sejumlah sejumlah insiden kecil di beberapa event kampanye Trump seperti ucapan yang menjelek-jelekan Detroid, Townhall di Pennsylvania menjadi ajang pemutaran lagu 'jadul', atau menyebut para suami dari peserta kampanye sebagai 'fat pig'. Tapi ketiga insiden tersebut sepertinya tidak cukup kuat untuk menjadi October Surprise.

Apakah October Surprise yang ditunggu-tunggu Greenfield akan benar-benar muncul dalam dua minggu kedepan dan mengubah peta persaingan Harris-Trump di saat-saat terakhir? Kita tunggu saja!

Video Terkini