Liputan6.com, Jakarta Hari ini delapan tahun lalu, FiveThirtyEight memproyeksikan Hillary Clinton memiliki peluang 71% untuk menang di pilpres, sementara Donald Trump hanya 29%. Clinton diramalkan tidak saja mengalahkan Trump di Pennsylvania, Michigan dan Wisconsin --negara bagian Blue Wall-- dengan marjin keunggulan +3,7%, +4,2% dan 5,7%, tapi juga memenangkan Nevada (+1,2%), North Carolina (+0,7%) dan Florida (+0,7%).
Pada hari yang sama, The New York Times memproyeksikan Clinton unggul dengan peluang 84% vs Trump 16%. Menurut The Times, Clinton akan memenangkan Pennsylvania, Wisconsin dan Michigan dengan marjin masing-masing +7%, +6% dan +5% serta Florida (+2%), Nevada (+2%) dan North Carolina (+1%).
Baca Juga
Selain FiveThirtyEight dan The New York Times, mayoritas Lembaga-lembaga dan analis poling AS meramalkan Clinton akan mengalahkan Trump di pilpres 2016. Hasilnya? Clinton kalah di semua swing states saat itu, kecuali Nevada!
Advertisement
Kegagalan prediksi secara 'berjamaah' di pilpres 2016 menjadi salah satu skandal terbesar di dunia poling politik AS. Dalam evaluasi pasca-pilpres ditemukan bahwa penyebabnya antara lain adalah jumlah pendukung Trump dari kalangan white voters without college degree atau pemilih yang tidak mengenyam bangku kuliah kurang representatif dalam sample responden. Padahal, menurut data Pew Research Center, kelompok ini merupakan segmen pemilih terbesar di pilpres 2016 yaknii 44% dari total pemilih.
Di luar itu, kekalahan Clinton juga dipicu tingkat kesukaan (favorability) yang rendah yakni -12,6% dan keretakan partai pasca-primary melawan Bernie Sanders sehingga sebagian pemilih Partai Demokrat memilih capres lain seperti Jill Stein dari Green Party atau golput.
Harris Menjadi Capres di Masa Sulit
Delapan tahun sejak kekalahan yang menyakitkan itu, Partai Demokrat kembali mengusung capres perempuan, Kamala Harris. Harris berasal dari kelompok minoritas Afrika-India yang hanya mewakili 20% pemilih, sementara hampir 62% pemilih berasal dari kalangan kulit putih.
Seperti di 2016, menurut data CNN, kelompok white voters without college degree masih dominan, yakni mencapai 40% secara nasional dan 51% di Michigan, Wisconsin dan Pennsylvania.
Bagusnya Harris tidak menghadapi perpecahan di tubuh Partai Demokrat seperti delapan tahun lalu. Seluruh faksi partai kompak mendukung Harris dan pemilih pun lebih antusias. Terbukti sumbangan uang ke komite kampanye Harris dan Partai Demokrat mengalir deras.
Yang menjadi persoalan, pada hari-hari terakhir daya saing Harris anjlok tajam dibanding pasca-Konvensi Nasional Demokrat pada Agustus 2024. Berdasarkan data berbagai lembaga dan analis poling, Harris hanya unggul tipis di Michigan dan Wisconsin dan ketinggalan di lima negara bagian lainnya, termasuk Pennsylvania.
Apa pemicunya? Menurut, chief political analyst The New York Times, Nate Cohn, Harris dihadapkan pada persoalan yang saat ini menimpa para pemimpin partai berkuasa negara-negara maju: Rakyat menginginkan perubahan. Cohn menunjuk pada jatuhnya partai berkuasa di Inggris, Jerman, Italia, Australia dan Jepang, yang kemungkinan juga akan segera disusul oleh Kanada dan Perancis. Menurut Cohn, pencetusnya adalah naiknya harga-harga dan merosotnya kondisi perekonomian masyarakat pasca-pandemi.
Di dalam negeri AS, poling-poling menujukkan, masalah ekonomi, imigrasi, inflasi, dan lapangan kerja menjadi empat isu utama di pilpres kali ini. Aborsi dan layanan kesehatan, yang menjadi andalan Partai Demokrat, bukan isu prioritas bagi pemilih.
Tapi apakah nasib Harris yang seperti Rishi Sunak di Inggris, Mario Draghi di Italia atau Scott Morrison di Australia?
Belum tentu. Pertama, transisi capres dari Joe Biden ke Harris sendiri memiliki nuansa perubahan. Kedua, pesaingnya, Trump, adalah tokoh politik kontroversial yang akrab dengan figur-figur ultra-nasional seperti Nick Fuentes, Tucker Carlson dan Laura Loomer yang tidak kalah kontroversial. Trump juga terkenal mudah terdistraksi dan sulit untuk fokus pada isu-isu penting.
Tim Trump Membuat Blunder Fatal di Hari-Hari Terakhir
Kampanye akbar Trump di Madison Square Garden, New York, delapan hari lalu seharusnya menjadi arena terpenting untuk penyampaian pesan-pesan politik akhir guna memobilisasi pemilih. Tapi malah menjadi acara bernuansa rasisme. Bahkan pembicara selingan, komedian Tony Hinchcliffe, mengeluarkan kata-kata yang merendahkan ras kulit hitam, menyebut kelompok Hispanik "hobi membuat anak" dan menjuluki Puerto Rico sebagai "pulau sampah terapung." Padahal, jumlah kaum Hispanik keturunan Puerto Rico di swing states mencapai hampir 1 juta jiwa, terutama swing state paling krusial, Pennsylvania, yang mencapai 473.000 orang.
Warga AS keturunan Puerto Rico marah besar. Sejumlah figur berpengaruh keturunan Puerto Rico seperti Bad Bunny, Jennifer Lopez dan Marc Anthony mengajak pengikut mereka di media sosial untuk ramai-ramai mendukung Harris.
Blunder yang terjadi dalam kampanye di akbar di Madison Square Garden mengikis dukungan kelompok minoritas kulit hitam dan Hispanik, terutama keturunan Puerto Rico, terhadap Trump. Menurut poling final NBC News, 87% pemilih kulit hitam mendukung Harris dan 9% mendukung Trump. Perolehan ini lebih baik dari Biden di 2020 yang didukung 87% pemilih kulit hitam dan 12% memilih Trump, berdasarkan exit poll CNN.
Sementara itu poling ABC News terbaru mengungkapkan, 64% pemilih Hispanik memilih Harris dan 32% memilih Trump, yang mendekati dukungan Hispanik terhadap Biden di 2020 yakni Biden 65% dan Trump 32%, berdasarkan exit poll CNN.
Di Pennsylania, poling YouGov-Univision mengungkapkan, 64% Hispanik mendukung Harris dan 30% mendukung Trump. Di kalangan Hispanik keturunan Puerto Rico, dukungan terhadap Harris mencapai 67% vs Trump 27%!
Harris Menang dalam 'Ad War' dan Perang Lapangan
Penggalangan dana Trump di pilpres kali ini tidak sesukses pada pilpres 2020. Empat tahun lalu, Trump meraup US$1,088 miliar yang meliputi US$774 juta untuk komite kampanye dan sisanya US$314 juta diterima organisasi pendukung. Pada pilpres 2024, Trump secara total mengumpulkan US$$1.078 miliar, tapi yang diterima komite kampanye hanya US$$382 juta dan sebagian besar, US$694 diterima oleh organisasi-organisasi pendukung.
Sedangkan Harris yang mulai menggalang dana setelah mendapat dukungan dari Joe Biden pada 21 Juli, sukses besar dengan mengumpulkan US$1.589 miliar yang sebagian besar, US$$1.003 milar diterima oleh komite kampanye dan US$586 juta masuk ke organisasi-organisasi pendukung.
Dengan dukungan dana yang besar, Harris dan Partai Demokrat memiliki keleluasaan untuk belanja iklan di tujuh swing states dan mendanai aksi lapangan (ground game) yang sangat masif. Menurut data AdImpact, dari 22 Juli hingga 15 Oktober, Partai Demokrat menghabiskan US$921 juta untuk iklan, jauh di atas Partai Republik yang membelanjakan US$569 juta.
Tidak heran jika The New York Times mengakui Partai Demokrat sebagai pemenang dalam 'ad war'. Menurut data Comscore, iklan Harris saja bisa menghasilkan 11,8 miliar ad view, lebih tinggi dari iklan Trump yang hanya menghasilkan 8,5 miliar ad view. Iklan Harris juga dominan di lima dari tujuh swing states.
Untuk aksi lapangan, Harris dan Partai Demokrat menggaji 2.500 staf di 353 kantor di swing states yang bertugas mengetuk jutaan pintu dan melakukan jutaan panggilan telepon terhadap pemilih pontensial. Kekuatan ini masih ditambah oleh ratusan ribu relawan dengan dukungan dana dari sejumlah organisasi seperti America Votes, BlackPAC, Somos PAC, Unite Here dan Future Forward dengan dukungan dana yang juga luar biasa besar. Dengan dana yang besar, tim Harris dan organisasi pendukung mampu menggelar beragam pertunjukan atau konser musik guna menggaet pemilih baru dari kalangan Gen Z.
Sebaliknya, dengan dana yang terbatas, Trump dan Partai Republik hanya bisa menggaji beberapa ratus staf di 300 kantor di tujuh swing states, serta mempercayakan aksi lapangan kepada beberapa organisasi seperti America PAC dan Turning Point Action.
Tapi aksi lapangan secara outsourcing ini ditandai dengan sejumlah drama seperti pemalsuan data kunjungan, penggantian perusahaan pemasok staf lapangan atau gugatan hukum oleh staf lapangan yang merasa ditipu dalam hal upah dan penugasan.
Aksi lapangan masif dan tersetruktur yang dilakukan tim Harris dan Partai Demokrat membuahkan hasil. Hal ini terlihat dri hasil exit poll early voting yang di beberapa negara bagian sudah dimulai 45 hari sebelum 5 November. Exit poll pencoblosan dini yang dilakukan oleh Marist, CNN, Fox News dan USA Today-Suffolk University dan dipublikasikan The Washington Post pada 31 Oktober mengungkapkan bahwa Harris mengungguli di kalangan pemilih yang sudah mencoblos di Arizon (9-12 point), Georgia (7-10 point), Michigan (26-39 point), North Carolina (2-6) point, Pennsylvania (17-35 point) dan Wisconsin (22-60 point), tapi ketinggalan di Nevada (6 poin).
Yang unik di pilpres kali ini adalah Partai Republik secara aktif menyerukan agar para pemilihnya melakukan pencoblosan awal sehingga marjin keunggulan Harris di swing state pada fase ini tidak bisa diimbangi oleh marjin keunggulan Trump di pencoblosal langsung pada 5 November.
Advertisement
Kamala Harris Kemungkinan Menjadi Pemenang Pilpres
Beberapa poling final menjelang pilpres seperti yang dirilis NBC News, NPR/Marrist dan The Times of London/YouGov menunjukkan dukungan pemilih terhadap Harris meningkat di tiga swing states terpenting, Pennsylvania, Michigan dan Wisconsin, sehingga memastikan Harris bisa meraih minimal 270 suara elektoral. Di beberapa poling lain, Harris ketinggalan atau sama kuat dengan Trump di negara bagian Blue Wall tersebut.
Prediksi dan simulasi yang diungkap Silver Bulletin, FiveThirtyEight, Economist dan Decision Desk HQ mengunggulkan Trump 54% vs 46% (Decision Desk HQ) atau menunjukkan Trump dan Harris sama kuat 50% - 50% (Economist). Sementara tujuh pasar taruhan yang dipantau RealClearPolitics (BetOnline, Betfair, Betsson, Bovada, Bwin, Polymarket, dan Smarkets) kompak mengunggulkan Trump dengan peluang rata-rata Trump56% vs Harris 42,9%.
Meski tidak diunggulkan dalam prediksi dan pasar taruhan, Harris memiliki fundamental yang kokoh berupa keunggulan dalam iklan kampanye, aksi lapangan yang masif dengan dukungan relawan militan dan dana yang kuat, serta disiplin dalam penyampaian pesan-pesan kampanye.
Harris juga sukses memobilisasi dukungan dari berbagai sisi—kalangan selebitis, tokoh senior partai termasuk mantan presiden Bill Clinton dan Barack Obama serta para politisi Partai Republik dan mantan pejabat di pemerintahan Trump dan Bush—sehingga memiliki basis dukungan yang lebih luas dari sekadar pemilih Partai Demokrat dan independen yang condong ke Partai Demokrat.
Trump memiliki momentum kuat berupa tren anti-kemapanan yang menyebar di seluruh dunia, serta mengusung empat isu yang menjadi concern utama pemilih AS saat ini: ekonomi, imigrasi, inflasi dan lapangan kerja. Tapi di hari-hari terakhir, Trump gagal untuk fokus pada empat isu tersebut, membuat blunder fatal, semakin temperamental dan kerap mengeluarkan kata-kata vulgar sehingga mengalienasi sejumlah konstituen penting seperti kelompok minoritas, segmen pemilih perempuan dan kaum kulit putih berpendidikan.
Dari pemaparan di atas, saya memperkirakan Kamala Harris akan menjadi presiden AS ke-47 dan mengukir sejarah baru di Amerika, tidak saja menjadi presiden Perempuan AS pertama, tapi presiden perempuan dari kalangan minoritas campuran kulit hitam dan Asia.
Sejumlah pollster masih khawatir bahwa poling-poling kembali underestimate Trump seperti di 2016 dan 2020. Tapi menurut senior data reporter CNN, Harry Enten, dalam lebih dari 50 tahun tidak pernah ada satu partai yang understimated dalam tiga pilpres berturut-turut.
Mungkinkah Trump kembali menjadi perkecualian di pilpres 2024 ini? Siapa tahu. Kita tunggu saja perolah suara elektoral final Harris dan Trump dalam beberapa hari ke depan!
Infografis Joe Biden Mundur dari Pilpres AS 2024
Advertisement