Sukses

Langkah Pelaku Aftermarket Agar Dianggap Pemerintah

Puluhan produsen aftermarket membentuk asosiasi agar dianggap oleh pemerintah.

Liputan6.com, Jakarta - Kelancaran industri otomotif dirasa seringkali tersandung regulasi dari pemerintah. Padahal, agar bisnis lancar, harus ada sinergi dari semua pemangku kepentingan.

Masalahnya, pelaku industri aftermarket jumlahnya sangat banyak. Sehingga kalaupun mau ada sinergi, sulit memilah mana partner yang paling tepat. Pelaku industri sulit berkoordinasi dengan pemerintah.

Latar belakang itulah yang akhirnya membuat 23 merek aftermarket membentuk asosiasi bernama Gabungan Aftermarket Otomotif Indonesia (Gatomi). Harapannya, dengan membentuk asosiasi ini, mereka bisa lebih dianggap pemerintah.

"Kalau satu orang (pelaku industri) datang ke pemerintah, tidak akan dianggap. Tapi kalau asosiasi, saya rasa tidak ada alasan pemerintah menolaknya," ujar Ayong, CEO Kramar Motor, produsen car audio, yang didapuk menjadi ketua Gatomi.

Sementara Merisca, Sekjen Gatomi, menyoroti pentingnya asosiasi karena pemerintah sejauh ini kerap membuat regulasi yang merugikan, tanpa mempertimbangkan hal-hal di luar dirinya, misalnya kelancaran bisnis pelaku industri.

"Saya buat alarm secara OEM. Kalau OEM punya struktur cost yang jelas. Tapi kalau dari pemerintah buat aturan, misalnya ada pajak 15 persen, cost kami jadi mahal. Padahal itu tidak bisa kami bebankan ke APM," terangnya.

"Dukanya yang saya lihat karena selama ini kami tidak punya organisasi," tambahnya.

Gatomi, lanjut Ayong, juga dibuat agar pelaku industri bisa berbagi masalah dan menyelesaikannya bersama.

"Kami pengusaha aftermarket terpecah banyak sekali. Dengan banyaknya itu pasti punya masalah yang sifatnya sama. Sehingga kita perlu kumpul bersama, +menyelesaikan masalah bersama," tambah pengusaha gaek ini.

Sejauh ini anggota Gatomi ada 23 perusahaan, di mana semuanya telah berbadan hukum (PT). Selain bazaar, salah satu kegiatan terdekat mereka adalah memberikan pelatihan praktik kepada siswa-siswa sekolah menengah.